BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII

Bait-bait Persembahan
(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Bait-bait Persembahan” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper

Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=229

Istirahlah perempuan agung, sambut mentari esok lewat sedenyar fajar
dan tunjukkan wajah berserimu di hadapan cahaya (III: I).

Bila berjaga, dekaplah kantuk berselimutkan mesra,
akan tetapi lebih terpuji, mengupas berbathin ketenangan (III: II).

Sebab tatapan setia, sepenantian terbangunnya mimpi
selepas pulas mendengkur, atas tegukan anggur kelelahan (III: III).

Penjagaannya tanpa membuatmu serba salah,
dia tidak bodoh menciptakan cermburu,
atau terpenggal pengamatan was-was (III: IV).

Perhatian lembutnya tak sampai merobohkan
yang sedang kau bangun dalam genggaman (III: V).

Jika kekagumannya merepotkanmu, dia rela meninggalkan dirimu
sambil membawa sebuah arti-kata terima kasih (III: VI).

Kalau tentrammu oleh mekarnya payung sekalipun pergi jauh,
tudung itu meneduhkan di kala terik-hujan menimpa (III: VII).

Ia kejadiannya, sedang kau berkas-berkasnya,
ia peniup angin, sementara kau pelukisnya (III: VIII).

Asalnya waktu dari kesadaran usia
dan tidak manusiawi jikalau tak inginkan lebih (III: IX).

Takdir dirinya diperjodohkan, lalu masa berbeban jikalau dikenai denda,
seekor burung mengambili secarik-carik rumput, meringankan masa silam (III: X).

Kau mencari kegunaan sarang ruh selain tempat berteduh,
manakala buih di laut centang-perenang mencapai maknanya,
insan menarik hikmah kendali, belajar kepada alam berkali-kali (III: XI).

Kesempatan itu sepotong pengertian sekilas bayangan,
ulurankan tanganmu ke hadirat kekasih, yang tersampaikan
tak melukai sisi lain, atas segala manfaat nalar bertujuan (III: XII).

Ia tak sekadar bahan perbincangan, telah melewati ondakan penelitian,
kau cendekia menggali siratan, manakala hijab terungkap laksana para utusan
membawa cerlang berbeda, sekiranya mutiara berpahat seribu rupa (III: XIII).

Ia bukan golongan filsuf tulen atau kawanan penyair mapan,
namun sorot matanya jelas berdekatan, tariklah penafsiran darinya,
kau akan kenyang, atas kepribadianmu berdaya magnit (III: XIV).

Jadikan wengi berhias warna berpeluk melodi jiwa dalam percakapan renyah,
semua berlangsung ceria, yang melewati dinding bisu tak sabar menunggu (III: XV).

Jangan menunggu di saat sebagai waktumu,
masa-masa hilang bukan berarti tidak bersamamu, kau berbeban gelisa
membawa ingatan waspada, menjadikan kau sang ratu waktu (III: XVI).

Semenjak itu kau menyambut benderang kedatangannya,
damai tanpa memendam keganjilan, dan petuahnya mengendapkan sikapmu,
jikalau dalam gurauan pesta berangsur, menuju peraduan (III: XVII).

Terimalah kesunyian tak asing, masa menginginkan perhatian serupa,
adillah tersebab kau tahta di kerajaan tidak terhingga, dan kajilah berlahan
sebelum semuanya berlalu sia-sia oleh terlena (III: XVIII).

Ciptakan mimpi-mimpimu berasal kantuk lelah gerilya,
ia bagian terikat, keluar-masuk potongan masa yang terlipat;
lihatlah pekerja di sungai, menimbun pasir mencari bijian emas,
sesekali turunkan bebanmu agar harapan ringan terasa (III: XIX).

Yang sekian waktu berkeringat kepanasan akan baik di kala senja,
meski gerah bersenyumlah di gerbang istirah, ia gandul penunggu pintu (III: XX).

Sengaja berkirim surat tidak sekali itu hilang, berkali-kali insan mengeja
tetembangan ranum menenangkan bayi, yang tampak menderu tangis (III: XXI).

Ia jelajahi kemurnian letih, sekian masa ditinggal demi mencapai makna
persembahan atau pilihan manusia, ditentukan diyakini perjalanannya (III: XXII).

Ia memahami bahasa hempasan gelombang diayun layar bathinmu
membentangi suara kedalaman, berhias bintang berjajar awan (III: XXIII).

Masihkah ingat bintang mana yang kau pilih?
Lantas ia berlalu lenyap dalam gelap malam (III: XXIV).

Anggaplah ia datuk kepercayaanmu
walau dulunya kau membatin di setiap perjamuan (III: XXV).

Belajarlah kepenuhan, agar keraguan terlempar keluar
dari kebencian hukum cincin pernikahan sepenggal (III: XXVI).

Ia menelisik corak cemberutmu lalu memperoleh manisnya, dan merindu
tamparan kedua, ciptakanlah tamparan serupa agar saat bayar hutang tidak
berkeadaan bimbang, ia mencintai harapanmu akan keabadian (III: XXVII).

Telah sampai hasrat bertujuan kepada pipimu kemerahan,
ia membelai rambutmu lalu lekat lembut kulitnya-kulitmu
saat senja berbisik gerimis seusia dedaun bambu,
derai-derainya persembahkan menuju pembaringan (III: XXVIII).

Akrabkan kembali alunan tembang kenangan semilam,
ia meniupkan ruh kehidupan bagi beranjak ke gerbang abad,
bentangan kebiruan berkaki hijau, ditelusurinya jejak gembala (III: XXIX).

Ketersipuanmu menghuni celah-celah kamar beraroma mayang,
kehadiranmu belum cukup dimengerti kekasih jika tak yakin (III: XXX).

Jemari manisnya terlingkar janji menghitung waktu kian misteri,
sudahkah temukan tongkat pencapaian? Timur-barat pecah gelap-terang,
dengan kaki-kaki lincah melangkah meninggalkan firasat salah (III: XXXI).

Siapa menghantuimu? Apakah kau masih bersahabat?
Seiring gamelan terhenti, keheningan menguasai, kau terpejam
antara ganjil nan terus cari penentu dalam goa khalwat (III: XXXII).

Asalnya tanah kita berlangitkan malam benderang gemintang,
beling-bening-hening terjaga kumpulan padat batu, api awan rindu,
lalu gelombang angin mengitari gulungan waktu membeku (III: XXXIII).

Di mana palung karang naik menjebol bibir pasir pesisir,
lantas deraian gerimis memberi lobang ribuan pada logam (III: XXXIV).

Deretan lembut memasuki kodrat alam dari rengkuhan kata
yang rapat berbaris merambat ke pegunungan kelir wayang (III: XXXV).

Terciptanya bentukan mendasar membumi periuk kehidupan,
kelopak-kelopak kembang betebaran, sedang putik-putik petikkan dawai,
tercampur di kanvas semesta jiwa melewati telinga rindumu (III: XXXVI).

Wewarna lempung hati manusia, bergejolak mengikuti irama hujan,
lalu pulung berpindah dari telatahnya semula (III: XXXVII).

Yang mengendap matang menyusuri atmosfer besar,
telaga memantulkan cahaya kasih; kehendak hidup sepoi basah menabur pagi,
bergesek turun menyulami pegunungan purbani (III: XXXVIII).

Rumput ilalang berseri bunga mentari di ketinggian dada segar pemudi
melafalkan serat Centini yang dituliskan pandita sekti (III: XXXIX).

Kenyangkan menghirup perbendaharaan harum kembang
sebab insan tak mampu melukis purnanya keagungan,
menampung lagi mengalirkan anak-anak sungai kehidupan (III: XL).

Bangsa-bangsa asing yang bertambat di kepulauanmu
mendapati semak bakau kesegaran kicauan camar,
bersahutan laguan gelombang, mencipta cikal-bakalnya langgam (III: XLI).

Rindu jiwamu memuncak gemunung berlembaran kabut
merambati sapuan kuas sesayap kekupu mengepak pergi
memikat jemari tangan mata para peri (III: XLII).

Waktu awan menyungkup menjelajahi badan bengawan,
perahu kayu para penjala ikan mengapung kelelahan, sedang para petani
membajak tanah di ketinggian bukit, melihat lembah surga penanti (III: XLIII).

Kawanan bangau berbondong melewati malam kemarau
mencari tanah hujan bagi menetap dan setia (III: XLIV).

Burung-burung pemakan bebiji menaburkan benih
pada belahan semula kosong takdir,
inilah hikayat menundukkan ladang-ladang purbawi (III: XLV).

Perkawinan burung-burung menjaga benang lestari, jikalau sayapnya sakit
terawat kibasan dedaun pagi, dirinya sesekali berlompatan pada bebatuan kerikil,
di saat awan berganti-ganti mengarungi keabadian (III: XLVI).

Melewati jalan kecil, kekuncup mungil berjatuhan seiring dentingan hujan
kepada sulur tubuh rimba kebijakan (III: XLVII).

Merunduk pepadian berisi atas hawa lereng berkisah sejati,
tiada pernah lekang kurun masa dalam percintaan (III: XLVIII).

Segenggam semangat setia pada lengan tembaga pekerja,
mendayung perahu jaman ke matahari di setiap paginya menabur kehangatan,
ia setubuhi bulan setujui bumi dilanda malam (III: XLIX).

Kala musim kelabu tempaan hayat, berulang jiwa meninggikan kenangan
meminum air degan, senyawa perjuangan tidak berhenti bertarian abadi (III: L).

Ia menjejakkan sukma hitam merangsek daya tampan,
kala khotbah dikumandangkan berpuja-puji kekinian (III: LI).

Pada kedalaman gerak, sambaran petir ke pohon membelah gamang,
lalu bintang terjatuh dikecupnya tubuh sungai memanjang di bawah jembatan
yang dilahirkan fajar sedari rimba wengi paling menawan (III: LII).

Jika sepotong roti menyisakan untuk semut sedekahmu
bersinambung putaran terkira ke hulu, serupa mati suri
melewati padang marabahaya dihampiri (III: LIII).

Walau getir ikhlaslah terdampar merestui pengembaraan
atas terdengarnya tetembangan sejauh memikul tandu gerilya,
dan setiamu ditimbangan berkah rindu merdeka (III: LIV).

Di atas tandu ia berseru, apa kalian mencari tubuh-tubuh gentayangan di
bumi sakit? Mereka diam, saling menafaskan angkasa dihempas ke bumi (III: LV).

Menyedot wewarna-keharuman dari altar hening,
bergerak nasib penuh arti, serupa batuan retak di seratnya
oleh air mengalir melewati kelembutan menguatkan jiwa (III: LVI).

Bulan menawan setiap khusuknya mata ke langit terdukung,
inikah nyanyian dijanjikan? Di atas angin bukan melupakan bumi
dan di bawah malam berkeindahan pagi (III: LVII).

Hari siang memberi kematangan, air melepas rantai dahaga,
tanah menyatukan tekad udara bertempat masa, terus melangkah berseri
sedangkan hantu-hantu murung terpenjara ambisi kerdil sendiri (III: LVIII).

Padang tandus dipandangnya menawan, bilamana meraja mengisi jejiwa
sunyi bertembangan, yang terbentuk bernilaikan puji dilestarikan alam (III: LIX).

Sayup-sayup terdiam lenyap memasuki ruang temaram, sukma berbisik;
simaklah kedalaman, jangan perjelas degup jantungmu (III: LX).

Dengarlah nyanyian kalbumu berpukulan genta menenangkan telinga,
sedang pancaran fitroh akan melahirkan jiwamu (III: LXI).

Sapuan kain putih melambai lembut menyiratkan lelaku,
di atas turangga kepakannya menuju gunung kebajikan (III: LXII).

Kepurnaan tekat atas tudingannya, sedang perbedaan drajad
berasal bau keringat kembang perjuangan (III: LXIII).

Tuluslah menyetiai seperti nyawa kembang, tetangkai yang terputus
tampak tersenyum molek kelopak-kelopaknya (III: LXIV).

Perempuan-perempuan itu membawanya ke pasar bukanlah kekejian,
di letakkan karangan bunga itu pada makam raja-raja (III: LXV).

Kembang kering dalam keranjang menanti pembeli sedalam pengabdian,
sekar tercampakkan jemari, merana di kegelapan, pilunya menjelma mulia (III: LXVI).

Seiring panggilan seruling gembala menuntun perindu,
bunyi nyaringnya mengalungkan kalbu bernilaikan merdu,
pertapa merasakan aliran sungai puja-puji matahari
akan meneguhkan bathin berkiblat semesta abadi (III: LXVII).

Kaki-kaki melangkah mata memandang gunung berjajaran batang kabut,
dedaun hijau berperasaan dewasa,
membangunkan rumput menggoyang hening embun (III: LXVIII).

Melewati pepohonan menelusup ke kulit rerimbun,
carang bekas unggun semalam menyisahkan asap membumbung
mengisyaratkan puncak kangen seawan mengembang di ubun-ubun (III: LXIX).

Aroma bunga pada tanah pebukitan diguyur hujan ketinggian,
pekabutan sejuk melampaui kehangatan dan embun mencair
dalam muka senyum menggugurkan keraguan (III: LXX).

Rerumputan masa silam merambati cahaya keyakinan,
kelopakan padma terbuka, kekupu kembara lemas di tangan penanti,
dielus sayap tipisnya dan diciumi tubuh cantiknya (III: LXXI).

Kecupan di bibirnya melahirkan kejernihan fikiran,
sukma meranggeh hening yang didamba bulu lembut perhatian (III: LXXII).

Bau kembang melati wanginya ke sudut-sudut jaman, kuncupnya
sedari kurungan semesta, tatkala dada meledak di pusaran asmara (III: LXXIII).

Angin panggung menarikan dedaunan bambu berjemari lentik
pada lengkungan alis matamu menggayuh purnama (III: LXXIV).

Bila membuktikan gairah, merdekalah jiwa-jiwa terpenjara
sebab sketsa sebatas mata dan ruh tak tertangkap olehnya (III: LXXV).

Obor nurani menjilati uluhhati dan hasrat tumpah,
jikalau mengasah pedang dalam warangka hikmah (III: LXXVI).

Tapak kuda menebah kencang berlari kepada pasir pesisir memutih,
seterbangnya elang diterjang angin pantai menuju gugusan mengagumkan,
mengejawantah bebijian melekat di taman pengertian (III: LXXVII).

Cahaya mahatari memanggang hujan demi kelestarian, memudahkan tali
-temali kendali turangga sembrani, disentak ke tanah keabadian (III: LXXVIII).

Di taman pengetahuan kekasih, kita fahami aroma kembang,
tetangkai belia menyebarkan putik-putik ke pelosok desa sejati rasa
karena hasrat tertumpah digerakkan alam sekitarnya (III: LXXIX).

Taman bunga kata-kata mengikuti angin kalimat memuara,
sedang bebatuan mulia hanyut ke dasarnya (III: LXXX).

Ikan-ikan di telaga berpandangan tanpa hempasan bimbang, andai pun ada
dedahan patah terjatuh, hanya pusaran kecil beda pendapat lemparan (III: LXXXI).

Lihatlah sejauh mana lingkaran ombak saling bertemu,
bercumbu sedalam ikatan setuju putaran waktu (III: LXXXII).

Matahari memperindah bulan sabit menyetiai wewaktu
mengisi rindu melewati perbincangan membisu (III: LXXXIII).

Kelahiran kasih sayang sakit atas perut ketabahan,
berbuncang guyup kesadaran (III: LXXXIV).

Hari-hari atas percikan air dan api, udara juga tanah-hati,
serta yang tak tertangkap indrawi (III: LXXXV).

Gerak di bawah sadar ketaklumrahan terjangkau realita,
inikah senggolan nasib manusia? Kesadaran tak mencapai mutlak! (III: LXXXVI).

Apalah hebat mengundat, mencampur aduk perkara, sebab kau kehausan,
timbalah sumbur berkah, dan gerimis mempercepat nafas doa (III: LXXXVII).

Menuju awan membumbung merayu batinmu kayungyung
segala uap membebaskan bayangan menghilangkan cinta bentuk
pula suara-suara penolakan (III: LXXXVIII).

Awan-gemawan terkikis gerimis, sekilat itu doa-doa ditimbang,
ruh hayat gentayangan menelusuri dedaun waktu ke pucuk-pucuk semesta rindu
abu tertimbun tungku, matilah bara oleh gelembung air nafas bayu (III: LXXXIX).

Tunggulah terhempas di bebatuan rela,
dentingan air ketabahan memadukan nada di tepian jiwa (III: XC).

Alam atas sadar itu tarikan benang layang-layang, sedangkan terlalu memberat
di bawah kesadaran, dan di antara keduanya, kelanggengan irama terjaga (III: XCI).

Kuda tersengat kulitnya bersemangat diarahkan larinya kepada bayu nurani,
dulu terdorong,
namun kini kemuliaan fungsikan tali-temali, demi laju masa depan nanti (III: XCII).

Sedang kecenderungan melamun itu sederet keindahan
yang melahirkan senyum tanpa mengetahui muasal-jawaban (III: XCIII).

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Leave a Reply

Bahasa ยป