(Interpretasi puisi Nurel Javissyarqi yang bertitel
“Ruang-ruang Mengabadikan” dalam “Kitab Para Malaikat”)
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Tahun: 2013, Ukuran: A4
Media: Crayon on Paper
Nurel Javissyarqi *
http://pustakapujangga.com/?p=227
Suara gending-gending masih megalun dalam jiwamu,
walau tetabuhannya telah dihentikan, merasakan diamnya ke puncak membiru
lalu sukma berbisik, mengetuk jendela perempuan-perempuan abadi (IV: I).
Ketukan tembang mengalun ke tangga pesawahan wewaktu,
ia membuat minuman yang paling kau sukai sehabis berlatih lama
pepohon kehidupan itu menggeraikan tetangkai usiamu (IV: II).
Masuklah kemari wahai jiwa-jiwa yang berada di luar
laksana awan-gemawan membukakan pepintu,
singgahlah wahai kau, dan tetaplah di kedamaiannya (IV: III).
Istirahlah di ketinggianmu, biarkan mereka memandang kesulitan
sebab cinta-kasih penglihatannya terawat
walau nafasnya hampir memupus kepada sulur rimba angkasa (IV: IV).
Perbaikilah tarianmu, sebelum panggung wengi persembahkan purnama,
masa-masa dinanti mata bening embun sang keheningan sejati rasa (IV: V).
Lambaian sampurmu, murni bahasa lain gemulai jiwa,
sedang lautanmu mengaduk-aduk dasar kemanusiaan, tetapi mereka masih terdiam
seumpama karang bodoh oleh isyarat gelombang (IV: VI).
Meminjam pena dari lautan tak berdasar,
wewarna berubah sulit menangkapnya, hanya penglihatan jiwanya menjadi pengertian
sedangkan tubuh sama mayanya, saat bayangan diartikan getaran semata (IV: VII).
Ia tak bosan berucap, jagalah dirimu wahai perempuan abadi
sebab takdirmu seharum pamor sejarah padma dalam telaga kasih (IV: VIII).
Ciptakan sakit hati mereka atas cemburu,
dengan itu akan mengerti wewarna bebatuan di dasar kali (IV: IX).
Semakin ditunjukkan kemarahan, teringat masa silam pernah tenggelam,
aku pemandu, mengangkat tubuh pena sebagaimana kali ini (IV: X).
Kenapa tak lagi dalam jiwamu? Jasadmu menari bukannya memanggil,
pelajarilah keteguhan fajar menanti terbangnya burung bangau
menuju pesawahan lembah, ngarai petilasan (IV: XI).
Teruskanlah, meski langit masih menggeliat manja atas kokok ayam jantan,
jadikan matahari penerang jalan bagi domba ke padang rumput bebunga (IV: XII).
Mengapa memilih tidur bersama pengembala dungu di antara mekar puja?
Kemarilah, wahai yang mengendap dekat daun jendela di balik selambu (IV: XIII).
Usah menjangkau kedalaman curiga mengusung prasangka,
lepaskan seluruh beban ruang-waktu, datanglah berwajah renyah-ringan
sebab kecantikanmu sesegar gunung tropis di layar langit membiru (IV: XIV).
Kau ingat bersama angin mengibas untaian rambutmu,
kelembutan menjuntai kubur kebosanan dan tariklah pengertian
kepompong mencipta sayap kekupu terbang di bunga penampilan
kepada kebun pandanganmu seorang (IV: XV).
Jika terasa gelisah, hakikat kebenaran mendekatmu,
ruang-waktu mengabadikan dirimu menerangkan senyuman (IV: XVI).
Ia tak menyia-nyiakan pengalaman membimbing,
menuntun alirannya kepada muara sentausa (IV: XVII).
Sebongkah batu menyumbat mata air menerobos nalar ketabahan,
kehendaknya memecah bebatuan kerikil menjadikan bermakna (IV: XVIII).
Barangsiapa lahir berkekuatan, akan menghadang memukul lawan,
merindu pemekaran, itulah watak lapang menerima pengaduan (IV: XIX).
Jurang terjal karang cadas berkilau memantulkan sinar
tak hanya menerima tidak berdasar ceruk kesungguhan nurani
kalau ditimba, walau bersimbah maut berdarah juang (IV: XX).
Nikmatilah keganjilan, esok bakal tersadar kebenaran kini
menemukan limpahan ruh hakikat madunya kembang (IV: XXI).
Yang berjalan sering terlupa jemarinya lentik berlambaian
serupa syair tubuh para penari menuju batas-batas keheningan
semakin memperjelas benteng kesadaran kerajaannya (IV: XXII).
Kau keraton di segenap dirinya, semua tiada canggung,
lebur menguap bersama sukma-sukma jatuh cinta (IV: XXIII).
Biarkan keganjilan memandu ke perkampungan terpencil,
melewatinya kian mengakrabkan ayunan kaki terlahir (IV: XXIV).
Tidak perlu berjalan menghindari sebab rasa malu,
biarkan pertemuan bernadakan takdir memberi-terima
sebagai bahasa mencari tidak berjarak (IV: XXV).
Buang jauh-jauh perasaan mual terhadap tinta menghitam,
percayalah sebelum catatan ini kau simpan, esok bakal terkenang
dan kajilah dengan batin sesederhana nantinya (IV: XXVI).
Dia merasa lega kau merawat kedekatan saudara, apabila menjemukan
ambillah persembahan ini, mengartikan senggang tak hanya bagimu (IV: XXVII).
Dia sangatlah bahagia di tengah-tengah limpahan doa
merawat jari-jemari mewujudkan tari-tarian puja (IV: XXVIII).
Wahai kelembutan, rapikan kukumu bergunting kearifan,
aku ingin memandangmu rapi di segenap hal
tidak terkecuali pribadimu, begitu santun maha peramal (IV: XXIX).
Kau merawat diam di antara bola-bola matamu,
dirimu tahu sedang kembara jauh ke dasar kewanitaanmu
sepadan ruang kehidupan menerima pengajaran (IV: XXX).
Setiap perintahnya tiada mencederai cemburu melukaimu,
ia tandas kasih perhatian menyayangi sungguh (IV: XXXI).
Rawatlah sungai jemarimu
yang mengalir murni dari sela-sela keheningan (IV: XXXII).
Tubuhmu serupa bambu yang ditarik bayu atau jangan-jangan
angin tertarik goyangan daunmu, menuju pantai harapan (IV: XXXIII).
Kesengajaan tulisan ini menjadikan bacaan takdirmu,
kehidupan membuka ketika lelangkah ke muka (IV: XXXIV).
Terimalah penantianmu sebab kau dewi ditunggu-tunggu,
laksana mendung menghitam dalam musim kelabu (IV: XXXV).
Berilah senyuman ke hadapan saudara-saudaramu,
hatimu bukan pertama sebab semuanya telah dikodratkan
tetapi kehadiranmu bermakna baru pada giliran itu (IV: XXXVI).
Kelebihanmu dapat merasakan coretan bathin kesungguhan,
ia tengah memahat relief di bangunan candi hatimu (IV: XXXVII).
Selamilah perasaannya, ia di kediamanmu paling rahasia
ketika kau mengangguk lewat semilir bayu
dihempaskan nafasnya ke dalam nafasmu (IV: XXXVIII).
Ini kekekalan yang berkumandang di pebukitan, lantas ia berseru,
cintailah perempuanmu seperti kau meyakini masa-masa abadi (IV: XXXIX).
Usahakan menguasai ruang-waktunya,
keluar-masuk dunia hampa menuju kelanggengan,
ia seakan berkata, di atas pebukitan nasib memiliki makna (IV: XL).
Kalam pembuka sangatlah berhimpitan serupa coretan terakhir
maka biarkan waktu senantiasa hening memaknai diri, perawan bukan kosong
seperti ladang digali hayati, menjelma perjamuan kasih paling manusiawi (IV: XLI).
Yakinlah telah diatur pemilik Kehendak,
lama memahami keberadaan benang-benang jiwa,
menatap pandang dalam gulungan setia (IV: XLII).
Terimalah tumpahan wedang dentingan gelas penghormatan, nasib si putri
mendengarkan katupan sayap kekupu dalam pesta musim persemaian (IV: XLIII).
Kehalusan budi kembara melebihi kangennya kupu-kupu pangeran
yang mengepak sedari jarak sangat lama (IV: XLIV).
Hanya demi memberikan semilir salam seharum ilalang
serupa fitroh semak belukar di hutan tropis dekat jalan (IV: XLV).
Apabila kelelahan dia mengobati dengan senyumnya sendiri,
tubuhnya pun pulih dalam telaga jiwa seharum kesturi (IV: XLVI).
Kala malam sepi, memintalah pengajaran pada gemintang,
lalu amati kerling mana yang paling kau sukai (IV: XLVII).
Rasakan keberadaanmu lantas ambil isyarat mendoa,
agar kejora senantiasa bersemayam dalam dada (IV: XLVIII).
Ingatlah kau bintang itu tetapi janganlah dijawab
sebelum keterasinganmu susut akrab, kau memberi lebih sebelumnya
atau itulah hipotesamu paling perawan yang pernah ada (IV: XLIX).
Ruh suci hayat mengunjungimu, kelepak sayapnya perkasa
menjagamu dari jarak tidak kau ketahui nan kau inginkan (IV: L).
Bukankah dambamu memberi jalan kedamaian, yang
kanan-kirinya dihiasi bebunga dan tiada bebatuan curiga
sebab nafasmu berhasrat ketulusan (IV: LI).
Yang sanggup melewati tapakan sunyi sebab tahu tingkatan ketabahan
menjadikan dirinya penentu di mata waktu; setiap perempuan tersadar sebagai
pilihannya sendiri, itu awal kepercayaan dalam jiwa segera damai abadi (IV: LII).
Sayap-sayap nyawa menggodamu dari kekhusyukan menggebu,
kembalilah kepada pengertian utama, pilihanmu sesungguhnya
bukan sekadar sungguh-sungguh tanpa keyakinan (IV: LIII).
Warisilah kepribadian ibumu, santun mempelajari
dan tekun menyempurnakan yang sudah ada (IV: LIV).
Jika menembangkan satu pengertian kan bercabang berduri,
berserat lagi bergetah, kau keturunan pohon berakar kokoh (IV: LV).
Ia tak menyebut berwibawa tetapi sosok anggun manusiawi,
membuat mereka sungkan oleh cahayamu berkilauan penuh
kepada memandang, niscaya nikmat tiada tara (IV: LVI).
Yang menyisir naungan malam demi sepenggal dunia lain,
permukaan siang berputar cepat tiada terpegang, hanyalah cahaya
sedang bayangan bukan penghalang (IV: LVII).
Hadirmu menambah magnit selagi alam di balik hijab
di tengah pengelanaan malam menumbuhkan cahaya fajar,
ditiup bayu membuka dedaun telinga perindu (IV: LVIII).
Ingatlah rimbunan pohon bersyair, rintik gerimis di hutan jati
saat purnama ditindih awan ditiupkan angin tempaan masa silam (IV: LIX).
Inilah gerakan musim-musim di bumi yang diikuti anak-anaknya,
kokok ayam mengetuk palu membuka gerbang dini hari, lagu serangga
bersahut-sahutan menyatukan irama katak seuntai sembahyang
seakan tak mau melewati wengi tanpa makna (IV: LX).
Sepi-sunyi berbunga mekar-hening-harum khusyukkan pena,
kembang teratai berkelopakan putih menerima takdir nyata (IV: LXI).
Ia bersila di antara bayang bergetar ditajamkan cahaya,
sesekali menjenguk ketenangan di luar,
tangan mega-mega terdiam merasakan kesendirian (IV: LXII).
Serpihan kabut samar-samar menyapa hasrat pendaki,
nikmatnya menambah bilangan tiada ragu memperbesar rindu
pada kau seorang, penghibur keengganan terpisah (IV: LXIII).
Gemerincing air pegunungan ke lembah semedi
pada kaki-kaki pemuda menjangkau tepian (IV: LXIV).
Mentari esok kekupu betina singgah di depan mata,
sayapnya mengepak berwarna senyum menggoda jiwa (IV: LXV).
Dirinya menanti pemakmur ladang jiwa yang lama kering,
hijau laut biru perindu, siapa menemukan pasangan kerang di pantai
demi sempurnakan tembang persembahan (IV: LXVI).
Jadikan ini kisah berharga pengisi ranum kalbumu,
kala langgam pagi diabadikan dunia, ruh lembutnya ditiup pedesaan
menuju kota-kota yang penghuninya mabuk berat keagungan (IV: LXVII).
Layang ini setangkai sekar merekah, jagalah serupa merawat tubuhmu
demi masa lanjut mengidungkan hikayat purbani bernilaikan pekerti (IV: LXVIII).
Lengking suara malammu seperti pernah teralami, tetembangan serangga
melewati masa dingin-tenang berlaksa-laksa langgam manusiawi (IV: LXIX).
Anggaplah bayangan teman pengganti, menghidupi kesendirian sunyi,
setelah deras hujan menyirami tlatah ke-adiluhung-an para leluhur (IV: LXX).
Ia memperlihatkan wajah paling terang,
kau melewatinya dikunjungi malam-malam silam (IV: LXXI).
Yang ia jalankan dikokohkan cahaya fajar,
ribuan kelelawar mencicipi buah bulan menggantung kemerahan (IV: LXXII).
Suara klenengan menyambut puja melebur sayapnya bagi kepakan abadi,
ia menjangkau pebukitan pada lereng-lereng terjal pedalaman waktu (IV: LXXIII).
Seluruh makhluk menghampiri, ada merayap, mengendap, melesat,
ada pula yang melaju laksana perahu (IV: LXXIV).
Terimalah pengajaran tiada habisnya,
lagi kekalkan dirimu kepada kehadiran seterusnya (IV: LXXV).
Kereta kencana lewat di sampingmu, menantilah sekembali dari perigi,
di mana setiap gelombang itu gerbang kerajaannya terbuka (IV: LXXVI).
Cahaya dan gelap ombak menyenangkan perasaan pasangan,
jiwamu-jiwanya merasakan pula tetesan sisa-sisa gerimis menyapa,
tercatat di lembaran dedaunan dikumpulkan masa (IV: LXXVII).
Pun demikian mereka borbondong sebab tertinggal,
yang telah tiba di tempat tujuan, menyantap hidangan tuan rumah
yang menyuguhkan wewangi kembang kesegaran peribadatan (IV: LXXVIII).
Buah ranum terasa manis dan harum kemboja menambah rangsangan,
senantiasa dahaga madu lebah tersimpan lama di kedua pundak sayap cinta,
ini bukan persengketaan, tetapi penebaran kasih berluap sayang (IV: LXXIX).
Setiap tarikan nafasnya memulihkan kesegaran,
kau teguk penuh khusyuk dengan datang tidak terlambat
atau menanti kereta hadir selanjutnya (IV: LXXX).
Tubuh bidadari harum mendekat penuh gairah cinta telah disucikan,
ambillah daya sekeliling wengi-mu,
bagi yang sekadar lewat, tidak perlu diberi jawab (IV: LXXXI).
Tidakkah banyak bersyukur bakal menimba kedalaman, kau mendapati
yang tidak terbayangkan, ini telah menjadi aturan sebelumnya (IV: LXXXII).
Irama kesemutan kaki-kaki setia lebih dulu sampai,
ketimbang yang pulas mendengkur atau perjalanan ngelantur (IV: LXXXIII).
Siapa sanggup mencapai tumpukan batu menstupa dengan keberadaan langit,
kecuali seekor burung elang telah ditakdirkan berkuasa terbang (IV: LXXXIV).
Wahai saudaraku, selamatkan kekupu yang terkulai di halamanmu
tanpa merontakkan sayapnya, merontokkan bedaknya, dan elus bebulu lembutnya
agar senantiasa setia menjaga di pangkuan tangan mesra penuh rela (IV: LXXXV).
Sekali tiupan sayang membangunkan tenaga kembali, dan
taruhlah beban sekarat, tidakkah kekupu bertelur lalu menetas,
seperti bayi-bayi merayap, dirimu laksana ulat (IV: LXXXVI).
Balutan tinta di kertas ketakutan mencoreng kulit wajah,
jadilah kau serupa dirinya, tidak sekadar bersinggah (IV: LXXXVII).
Badan kentungan berhenti bergoyang, kenapa masih ada bimbang?
Dan kenapa pula menyimpan kecurigaan? Apa pahalanya? (IV: LXXXVIII).
Mataair tetesan hujan abu-abu mendendangkan dedaun gugur
selaksa bayangan ditinggal terbang, kau dengar lelangkah ingin pulang,
tidakkah jalur di wilayahmu belum semuanya terlewati? (IV: LXXXIX).
Di waktu hening benar-benar membutuhkan,
teruskan tapakan usia bertambah lengang, dekatkan suaramu
pada gema kesendirian, ia merestui perjalanan mengagumkan (IV: XC).
Boleh kau cepat merasa kenyang, menganggap enteng persimpangan,
asal pedangmu melebihi tajamnya batu yang didatangkan dari gunung tertinggi,
tempat di mana burung-burung tiada pernah sanggup beranak-pinak (IV: XCI).
Pebukitan Ngerempak kayu putih desa Ngelipar, batang-batangnya
cemerlang berhutan cahaya, bebatuan kerikil memantulkan sinar bulan,
menggantikan kulit tubuh-tubuh perempuan (IV: XCII).
Seyogyanya lebih dulu menikmati seperti biasa
daripada memandang kegilaan sementara (IV: XCIII).
Akrabkan ketakutanmu serupa perasaan jatuh cinta,
lalu kau terbiasa oleh hawa paling ganjil sekalipun (IV: XCIV).
Tajamkan seluruh indramu biar peka merekam pengabdian
yang menyerupai lintasan angin menapak tilas jejak kembara (IV: XCV).
Yang berusaha keluar bergandengan
demi menemukan hakikat kebersamaan (IV: XCVI).
Tidakkah praduga menyerupai seringai singa?
Sebagaimana tiga gelombang suara angsa menegur ingatan,
bangau mengajarkan terbang menyelusupi pekat malam (IV: XCVII).
Sungguh yang patuh pantas dinamakan setia, petuah ini rawatlah
serupa fahami jagad diri, kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya
kepada kalian, kumpulan tersebut terselimuti kegelapan terjaga (IV: XCVIII).
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.