Matahari

Imam Muhtarom
Jawa Pos, 28 Sep 2008

Aku duduk dekat jendela. Jarum jam melorot ke bawah, tepat di angka tiga. Kuhabiskan sisa sore yang berkabut menatap langit menggenang. Aku ambil sebotol bir hitam dan sebotol vodka. Kugerojok ke tenggorokan. Aku rasakan cairan itu turun dan tak lama aku rasakan bagaimana napas semakin melemah, tubuh mulai kosong, mati.

Apakah mati begitu mudah? Aku banting gelas di atas meja. Pecahannya memburai ke segenap ruang. Terasa sisa alkohol menyeruak di syaraf-syaraf otakku. ”Apakah aku besok tetap berdiri tegak ketika kematian itu datang?” tanyaku. Suaraku menggema. Tapi, tak ada jawab.

Aku ingat ibuku pergi ketika usiaku baru sembilan tahun. Ibuku keluar dari rumah belakang dengan tas menggembung. ”Aku ikut, Bu?” tanyaku. ”Jangan, Ibu cuma sebentar. Ibu mau ke pasar,” jawab ibu.

Aku lupa kapan aku ingat bahwa ibuku tidak kembali. Mungkin pada usia delapan belas tahun ketika ayahku bermimpi dikejar matahari. Ayahku ketakutan hingga tubuhnya menggigil. Napas ayah mengeras seperti leher ayam terputus dari badannya. Suaranya mengerikan. Aku ketakutan. Ayah mati. Ayah kukubur di belakang rumah dekat pintu. Aku ingin bayangan ayah tidak cepat luntur. Bila suatu pagi aku tidak tahu apa yang kukerjakan, kuambil puisi usang peninggalan PKI. Aku bahagia. Aku bahagia? Jika aku terus-menerus didera pertanyaan itu, aku duduk kembali di kamar dekat kotak jendela dengan botol bir dan vodka.

Tapi, ayahku mungkin orang yang paling beruntung sepanjang hidupnya. Ayah pasti mengalami apa yang oleh para pendeta alami. Sebelum mati, tubuh kurus keringnya menggigil seolah matahari dalam otaknya membesar sampai menelan tubuhnya. Ayah mati. Ayah: tak ada yang lebih indah dari mimpi ditelan matahari. Hari-hariku berjalan tak ubahnya mimpi. Aku berputar sekisaran ruang tamu, ruang makan, dan kamar mandi. Aku berak di ruang makan. Aku makan di kamar mandi. Duduk di atas jamban seraya kutelan sendok demi sendok nasi. Bau sisa tahi kering serasa jadi pendorong nafsu makan. Jika aku bosan, aku kembali duduk di pinggir jendela dengan dua botol di tangan. Di luar sana kulihat daun-daun mencintai kuncupnya sendiri. ”Beri aku tahu tentang manusia!!!” Tapi teriakanku membentur gendang telingaku sendiri.

Mungkin ketika bulan ketiga ditambah empat puluh tahun pertama, aku adalah puing. Aku telah menjadi sesosok manusia dengan tubuh kering. Berjalan tertatih dengan tongkat kayu dengan pegangan kepala ular terbuka. Aku suka. Aku ingin aku seperti ayahku. Aku berusaha merebahkan tubuhku di atas halaman rumah tepat jam 12 siang. Cahaya matahari menyergap setiap pori kulitku. Kau mesti sabar, pesanku pada tubuhku. Kita akan ditelan matahari seperti ayah. Aku lakukan dengan telaten. Setiap hari. Setiap jam 12 siang. Jika mulai gosong aku akan menelepon dokter kulit untuk memeriksa kulitku yang gosong. Bila ada penglihatanku mulai berubah, aku telepon dokter mata. Semua dokter sudah pernah mendatangiku. Empat bulan aku memanaskan tubuhku di halaman rumah. Aku sabar. Aku tahu aku cukup sabar untuk bisa ditelan matahari. Persis di hari terakhir bulan keempat, aku yakin matahari itu akan kasihan dan siap menelanku. Matahari, ayolah telan aku. Aku sudah tak tahan matahari. Ayolah, kenapa kau pilih-pilih orang untuk bisa kautelan. Bukankah aku telah mempersiapkan diri dengan baik agar kau bisa mendapat santapan terbaik? Siapa di dunia ini ada orang sebaik aku? Ayo, jawab matahari. Bahwa ayahku kautelan, dia dalam ketakutan seperti anjing. Kau tahu itu. Aku yakin kau bukan orang tua yang diserang amnesia. Kau kan abadi? Atau, paling tidak, kau telah berusia jutaan tahun dan akan bertambah jutaan tahun lagi.

Sore yang kutunggu-tunggu itu aku benar-benar putus asa. Matahari itu dengan tak acuhnya melorot ke ufuk barat tanpa mengindahkanku. Matahari itu terus melorot seolah ada orang yang lebih baik dari aku di sebelah barat jauh sana sehingga matahari itu tak menoleh sedikit pun kepadaku. Kenapa aku begitu malang, ya? Aku bangkit dengan tenaga terakhir ke arah pintu. Aku merayap seperti tentara takut peluru di halaman rumahku sendiri. Kenapa aku merangkak di halaman rumahku sendiri yang kutinggali tujuh puluh tahun lebih ini? Aku ambil kursi yang telah menjamur di sudut kamar. Kudorong-dorong ke arah jendela. Aku berdiri dengan sekuat tenaga. Ah, lupa. Aku kembali merangkak untuk meneelpon si penjual bir dan vodka terbaik. Aku pesan satu kardus besar untuk bir dan satu kardus ukuran sedang untuk vodka. Baiklah matahari kau memang dengan sengaja meninggalkanku. Akan kupanggil matahari lain agar menelanku.

Aku gerojokkan sebanyak mungkin cairan alkohol ke dalam tubuhku. Sebanyak yang lambung bisa tampung. Aku hampir menghabiskan cairan itu sebelum aku melihat dalam pikiranku cahaya benderang dari ufuk timur. Yah, kaukah matahariku? Kau memang lebih baik daripada matahari siang tadi. Kau pasti matahari yang menelan ayahku. Baik, aku telah siap. Kautelan diriku dan aku ikut ke mana pun kau pergi. Matahariku aku cinta padamu!
***

Para kontraktor bangunan barat kota dekat rawa becek tak lagi berkantor di kota itu. Mereka pindah jauh dari sana ke gedung bertingkat 200 di negara seberang. Mereka sangat lelah, kata redaktur senior koran kota itu kepada walikota. ”Cuma sekian persen dari apa yang diharapkan,” katanya dengan dua jarinya terarah ke walikota.

”Bukankah proyek telah kuberikan semuanya?” kata si walikota.
”Boleh Pak Walikota semua telah Anda berikan,” kata si redaktur senior, ”tapi Anda lupa sesuatu ….”
”Katakan apa itu, cepat!” kata walikota bersama tubuh gendutnya maju sampai ujung kursi.
”Penduduk kota ini perlu matahari. Mereka tidak memerlukan rumah bagus, tidak kantor bagus. Taman kota bagus. Gedung film bagus..”
”Lalu apa?”
”Matahari!”
”Matahari?”
”Matahari!”
”Matahari?”
”Ya, matahari!”
”Kenapa matahari?”
”Tidak tahu.”
”Oke, kita anggap, benar matahari. Tapi, kenapa kontraktor yang kufasilitasi sampai perlu tipu-menipu ini malah melenggang seperti cecurut?”
”Tidak tahu. Mungkin ….”
”Tidak tahu. Kau ini digaji untuk tahu. Kau ini wartawan!” sergah si walikota menarik pantatnya ke belakang. Ia menyandarkan punggungnya seraya menatap mata si redaktur senior.
”Aku digaji untuk menuliskan hal-hal yang masuk akal. Bukan matahari sialan itu. Aku bekerja dengan fakta-fakta. Bukan imajinasi!” katanya dengan mata menghindar dari tatapan si walikota.
”Bukankah perilaku warga itu nyata, bisa dipotret, bisa ditanyai, bisa bicara, kan, mereka?”
”Iya, tapi untuk apa? Anda sebagai walikota mestinya tahu bahwa warga kota ini waras, bukan gila. Apakah ada kekeliruan identifikasi oleh psikolog yang Anda sewa bahwa warga Anda sesungguhnya gila?”
”Tak tahu aku. Sekalipun tahu, aku tidak peduli. Mereka hanya kuperlukan mencoblos kertas untuk memilihku, bukan aku harus tahu apakah mereka waras atau tidak.”
”Terus?”
”Terus apa?”
”Fungsi walikota?”
”Baca sendiri sajalah di panduan kantorku, masak belum kaudapat? Apa pula pekerjaanmu?”
”Pekerjaanku memberitakan kejadian di luar omong kosong matahari gila itu.”
”Lalu kenapa kontraktor cecurut pergi?”
”Tak tahulah. Mungkin juga terobsesi matahari juga. Mereka berkantor di pucuk gedung setinggi satu kilometer. Apa alasannya? Kontraktor itu, kan, tidak banyak uang. Kelas mereka bukan dunia. Mereka itu kelasnya kota ini. Coba?”
”Mungkin sudah ada virus yang disemburkan teroris agar wargaku keracunan keyakinan purba itu.”
”Mungkin saja Pak Wali ….”

Kedua orang itu akhirnya tidak meneruskan pembicaraan. Mereka menelepon penjual bir dan vodka terbaik. Mereka minum sebanyaknya di kantor walikota. Mereka memilih duduk di ruang atas dekat jendela. Dua orang itu perlahan menggerojokkan cairan alkohol ke lambung masing-masing sampai benar-benar penuh rongga tubuh mereka. Mereka menatap matanya ke luar ke daun-daun yang bergoyang. Lama. Sampai kemudian mereka melihat cahaya terang dari ufuk timur.

Ah, indah sekali cahaya itu. Matahari. Matahari yang paling indah yang pernah kulihat. Terasa muncul dorongan kuat mereka untuk masuk ke dalam matahari itu. Mereka akan masuk ke mahacahaya itu hingga mereka adalah bagian cahaya segala cahaya itu.

Sebelum matahari menelan kedua lelaki itu, samar-samar dalam gendang telinga mereka terdengar percakapan dua anak kecil dalam nyanyian merdu bersaut-sautan:

”Kita cari Tuhan!”
”Di mana?”
”Di sana!”
”Tepatnya?”
”Di sini!”
”Di mimpi?”
”Bukan. Di sana-sini!”
***

Surabaya-Bogor, 1996 & 2008.

Leave a Reply

Bahasa ยป