Perempuan Teluk yang Karam

Marhalim Zaini
Solopos, 14 Juli 2002

Setiap hari, perempuan itu mandi bersama senja. Sebab ia demikian mencintai senja. Senja di teluk Dara yang sederhana. Tidak senja yang lain. Tidak senja di pantai Selat Baru yang sendu. Tidak senja di sungai Siak yang beraroma kenanga. Tidak juga senja di danau Bangau yang mempesona. Apalagi senja di pelabuhan Bengkalis yang erotis dan menawan. Perempuan itu hanya mencintai senja di teluk Dara. Hatinya begitu menyatu, seperti bunga dengan tangkainya. serupa laut dengan pantainya.

Setiap kali matahari mulai memerah di ufuk barat, perempuan berusia duapuluh lima tahun itu seperti tak mampu menahan diri untuk segara berlari menyusuri jalan setapak penuh semak menuju ke teluk. Seperti ada yang memanggil-manggil namanya. Seperti ada magnet yang menarik seluruh energi dalam tubuhnya, dalam sukmanya.

Sesampainya ia di tepian teluk, matanya berbinar-binar memandangi sekujur teluk yang terbujur, seolah pasrah tengadah penuh gairah. Bibirnya merekah dan memerah menyambut semburat senyum di langit senja yang ranum. Ia seketika seperti tergila-gila untuk segera menghambur ke pelukan teluk, dan takluk bersama senja. Lalu, Kebaya songket yang melekat di tubuh indahnya, perlahan satu persatu ia lepas. Ia seperti benar-benar ingin mempersembahkan lekuk tubuhnya dengan ketulusan yang sederhana. Membiarkan semilir angin memilin lembut seluruh pori-pori kulitnya. Tak ada sangsi di hatinya. Tak ada bimbang yang menghalanginya. Yang ada hanya keinginan untuk berbagi. Sebuah hasrat untuk menikmati kesederhanaan yang sempurna.

Perempuan itu pun mandi bersama senja.
Gemericik air yang jatuh dari celah-celah lantai bambu, tempat di mana perempuan itu bersimpuh, semakin menegaskan bunyi sunyi. Matanya terpejam. Ada beribu bayangan peristiwa berkelindan di bola matanya yang gelap. Peristiwa-peristiwa itu seperti menari-menari, mengajaknya mengurai setiap gerak waktu yang mengalir dalam setiap degup jantungnya. Mengajaknya membaca pertanyaan demi pertanyaan yang senantiasa menyembunyikan jawaban.

Barisan teratak bambu dengan atap rumbia tua. Inilah bayangan yang muncul pertama kali setiap ia memulai memejamkan matanya. Sebuah kampung murung, dengan gundukan akar-akar batang nyiur yang berbaris mengelilingi setiap rumah. Ia ingat benar, ketika masih kanak-kanak betapa ia sangat senang bermain di atas gundukan akar nyiur itu, gundukan yang telah ditinggalkan gambut yang menyusut ke laut. Ia juga masih ingat betapa ia sempat takut dan bertanya, “Kalau tanah gambutnya menyusut ke laut, berarti kampung kita ini lama-lama akan tenggelam. Lalu di mana kita akan tinggal?” Abah ketika itu hanya menjawab singkat, “Kita semua akan tinggal di surga.” Dan sampai sekarang, ia tak pernah tahu di mana tempat yang bernama surga itu.

Mungkin demikianlah juga gambaran nasib kampung ini, kampung tempat ia dilahirkan, yang semakin lama semakin kurus dan tak terurus. Sebab tak ada yang merasa memiliki, tak ada yang merasa peduli. Apalagi dapat dipastikan, setiap anak yang beranjak dewasa mereka akan pergi merantau. Sebab mereka merasa tak betah dan merasa tak bermasa depan kalau tetap menyuruk di kampung. Tapi, apakah setiap yang pergi harus tak kembali? Atau setiap yang pergi pasti berarti? Perempuan itu seperti terpukul dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Ia kembali mengguyur kepalanya dengan air teluk. Membuang bayangan kampung dan mengalirkannya bersama teluk. Lalu hanyut ke laut.

Namun segera bayangan lain hadir di kelopak matanya yang terpejam. Silau gemerlap lampu-lampu kota. Bangunan-bangunan menjulang angkasa. Suara-suara hingar-bingar. Dan sederet bayangan lain tentang metropolitan. Ia menyadari, lengking peluit kapal-kapal di dermaga itulah yang merayunya untuk pergi ke kota. Ia tak hirau ketika Abah dan Emak berkata, “Perempuan tak elok pergi jauh-jauh. Perempuan itu rawan. Apalagi engkau masih perawan. Di kampung sajalah, bantu emak nganyam tikar pandan. Pagi hari engkau kan bisa menyadap pohon karet di belakang rumah. Siangnya engkau bisa belajar menjahit sama Ucu Tipah. Nah, malamnya engkau bisa meneruskan belajar ngaji sama Wak Salmin. Sedikit tambah umur nanti, engkau kawinlah.”

Di sudut matanya yang terpejam, ada bulir air leleh di lekuk tirus pipinya, mengalir ke bibir merahnya, dan jatuh ke air teluk yang tenang, membuat gelombang kecil, lalu mengembang. Di ruang telinganya, ada bisik angin yang membawa suara orang-orang mengaji. Suara isak tangis yang miris. Ia tak tahu, kenapa Tuhan begitu cepat mengambil kedua orang tuanya, sebelum sempat ia pulang dan bersujud di kaki mereka. Sembari mengatakan kepada mereka, bahwa hidup memang lebih pahit ketika kita mencoba untuk melangkah. Tapi, aku tak pernah mampu untuk setia pada kepahitan hidup yang tak sempurna. “Maaf Abah, atas gelisahku yang selalu kalah. Maaf Emak, atas langkahku yang selalu salah.”

Perempuan itu kembali mengguyur kepalanya. Melarutkan bayangan kekalahan dalam gemericik air. Matanya semakin merapat. Seketika bayangan lain seperti mendesak-desak. Ia tak mampu membendung bayangan beribu wajah lelaki tak bernama, satu persatu menjilati dan menciumi tubuhnya. Satu persatu menindih tubuhnya. Satu persatu membuang benih kepuasan dalam rahimnya. Ia tak bisa menghapus dengus nafas beribu lelaki yang mengalir dalam setiap tarikan nafasnya. Ia tak bisa melupakan lenguhan panjang beribu lelaki di atas tubuhnya. Ia hanya mampu mencatat bahwa asin peluh mereka yang bersabung di sekujur tubuhnya adalah saksi bagi perjuangan hidupnya melawan kekalahan. Agar kelak, ia bisa mengatakan bahwa untuk menang orang harus banyak belajar dari kekalahan.

Tapi, sampai kini, saat ia kembali mendatangi kampung halamannya, ia tak bisa sepatahpun mengatakan kepada orang-orang bahwa ia telah meraih kemenangan setelah sekian waktu di kampung orang bertarung melawan kekalahan. Sebab ia memang merasa belum bisa mengakhiri pertarungan. Namun, justru ia sedang merasakan betapa nikmatnya sebuah pertarungan mengalahkan hasrat untuk menang.

Tersebab itukah, maka ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Ia sendiri tak pernah mempertanyakan kenapa setiapkali senja datang ia seperti orang yang kasmaran. Ia seperti baru bertemu dengan seseorang yang dirindukan setelah sekian lama ditinggalkan. Tapi yang pasti, sepulang ia dari kota, setahun yang lalu, ia dianggap orang yang tak waras oleh orang-orang kampung. Sebab, tak biasanya orang mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam. Orang-orang mengira perempuan itu telah gila sebab tak mampu lagi menahan derita. Derita karena ditinggal mati kedua orang tuanya dan tak punya warisan harta. Derita karena rupanya di kota ia hanya menjadi musuh masyarakat, menjadi pemuas nafsu para lelaki hidung belang. Lalu ia menyesal, merasa berdosa, dan tak mampu mengendalikan diri lagi. Orang-orang pun kemudian memanggilnya sebagai Perempuan Penunggu Teluk atau Perempuan Teluk. Perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam.

Apakah karena gila, lalu ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Perempuan itu tak pernah merasa bahwa dirinya telah menjadi gila. Atau, apakah jika ada seseorang yang begitu mencintai senja lalu ia dikatakan sebagai orang gila? Bukankah tak ada larangan untuk mencintai siapapun dan apapun? Ah, perempuan itu tak pernah menghiraukan pergunjingan orang kampung. Apapun yang dikatakan orang kampung terhadapnya, ia hanya diam dan terkadang tersenyum. Ia tetap saja mendatangi teluk Dara untuk mandi bersama senja. Dalam hatinya ia berkata, “Mandi bersama senja, aku merasa lebih jujur sebagai manusia.”

Perempuan itu pun kembali mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan angin mulai mendingin di kulitnya. Hitam di matanya yang terpejam semakin memekat. Ia tahu, bahwa senja mulai tenggelam. Bahwa malam segera menjelang. Itu tandanya ia harus segera menyudahi prosesinya. Ia harus segera beranjak dari teluk. Sebab, baginya hanya senjalah kekasihnya. Ia tak boleh berselingkuh dengan malam.

Tapi, seketika ia merasa seperti ada bandul besar yang menggantung di kelopak matanya. Ia tak mampu membuka kedua matanya. Ada apa? Apakah senja tak mau berpisah dengannya sehingga menggelayut di kelopak matanya? Atau apakah ada yang salah dalam prosesi ini? Atau, jangan-jangan malam cemburu pada senja, sehingga ia menutupi matanya dengan selimut hitamnya yang tebal? Perempuan itu tak mampu menjawabnya, atau mungkin tak perlu menjawabnya. Sebab yang ia rasakan justru kenikmatan yang sempurna. Dingin angin seperti pelukan hangat seorang kekasih, hembusannya seperti membisikkan sesuatu yang merdu. Ia merasa seolah dibelai oleh jemari yang menari di seluruh tubuhnya.

Bibirnya perlahan tersenyum. Rekah. Ada dua wajah singgah. Dua wajah itu bercahaya. Duduk bersimpuh dihadapannya. Ia seperti pernah mengenalinya. Tapi siapa? Biasanya ia tak pernah lupa pada siapapun yang terlintas dalam bayangan matanya. Ia selalu mengingat setiap nama yang pernah singgah dalam sejarah perjalanan hidupnya. Tapi dua wajah ini, siapa? Ia seperti sepasang manusia yang bersahaja tapi penuh kharisma. Lalu perempuan itu seperti mencium bau bunga. Ya, bau bunga. Bunga yang sangat ia kenali baunya. Bunga kamboja…..
***

Sudah satu minggu, orang-orang tak lagi melihat Perempuan Teluk itu mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara itu. Orang-orang kampung tertanya-tanya. Kemana perginya perempuan yang tak waras itu? Di rumahnya jelas tak ada, sebab sudah seminggu ini pintu dan jendela rumah itu tak terbuka. Apakah ia kembali pergi ke kota? Tak mungkin. Sebab Hamdan, supir angkutan satu-satunya di kampung, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat perempuan itu menumpang di opletnya. Kalaupun ia bunuh diri terjun ke teluk Dara, tak mungkin orang-orang bersampan yang lalu lalang di sana tak melihatnya. Atau paling tidak para perempuan yang mencuci pakaian setiap pagi di sekitar teluk itu, pastilah membaui mayatnya.

Sampai satu bulan, orang-orang tak menemukan di mana Perempuan Penunggu Teluk itu. Orang-orang akhirnya mengira bahwa perempuan itu disembunyikan hantu Bunian. Sebab, kata orang-orang tua di sana hantu Bunian muncul ketika senja, dan ia sangat senang pada perempuan yang telanjang dan suka termenung sendirian. Orang-orang pun percaya, dan tak lagi mencoba mencari di mana hantu Bunian membawanya pergi. Yang pasti, mata orang biasa takkan bisa mengetahui keberadaannya.

Dan sebenarnya bagi orang kampung sendiri, perempuan itu tak lebih hanya seorang perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara. Lain dari itu, hanya Perempuan Teluklah yang tahu, betapa ia begitu mencintai senja. Betapa ia karam bersama senja.

Yogyakarta, Maret 2002.

Leave a Reply

Bahasa »