Bernando J. Sujibto *
(saya merasa bingung ketika hendak menuliskan catatan ini harus menggunakan judul bahasa Inggris. Apalagi bulan dan tahun ini adalah bulan dan tahun kebangkitan ke-Indonesia-an. Semua ini seperti menekan saya. Namun saya merasa bahasa Indonesia (tetap) kurang mumpuni. Saya tidak tahu kenapa demikian. Mungkin kalau terpaksa di-Indonesia-kan menjadi ‘menulislah untuk tulisan [itu sendiri]’…).
Write it all down, just the truth, no rhymes, no embellishments, no adjectives…. Kalimat pendek ini adalah salah satu dialog yang saya ambil secara mentah dari sebuah film, yang menurutku cukup baik ditonton, Atonoment. Dari film itu kemudian melahirkan kegelisahan baru seperti dalam tulisan kali ini.
***
Seringkali, yang dilakukan kita adalah ’karena (oleh) orang lain’ atau ’karena (untuk) orang lain’. Untuk pekerjaan itu sendiri, ataupun karena tugas dan tentu karena panggilan yang di luar semua kepentingan (beyond the thing), sangat jarang kita temukan dalam sekian kesibukan kita sebagai mesin pekerjaan. Bisakah kita melakukan sesuatu untuk pekerjaan itu sendiri? Sejenak, ayo melakukan sesuatu untuk ’hanya demi melakukan’ itu sendiri. Di sini tentu tidak ada engkau, aku dan siapa-siapa selain ’aktivitas’ itu sendiri. Aktivitas lahir dan melakukan sendiri….
Manusia seringkali melakukan sesuatu untuk orang lain karena tuntutan sebagai homo politicon (mahluk sosial); melakukan sesuatu untuk ’yang bermanfaat’ bagi kehidupan orang lain. Memang luar biasa orang melakukan ini. Karena hal itu menjadi semacam filantropi, semua orang pun berlomba melakukannya. Padahal ada yang dilupakan di atas semua itu: bahwa ’pekerjaan’ yang dilakukan itu belum tentu mau dan ’ikhlas’ juga melakukannya. Karena ’pekerjaan’ manusia tunggangi demi tujuan ego manusia itu sendiri. Kali ini saya mau melakukan sesuatu—bukan untuk orang lain, tetapi untuk pekerjaan itu sendiri. Menuliskan sesuatu yang lahir dari kegiatan yang saya jalani.
***
Terimakasih film Atonement, nominasi dan best picture Orcar 2008 garapan Joe Wright. Engkau di antara sekian impulse yang datang menyapa dan menaburkan keyakinan demi keyakinan, dari sejumlah jalan yang saya lalui hingga detik ini: tentang menulis yang seringkali pasang dan surut, seperti air di lautan itu. Engkau seperti menuntunku kepada sebuah keyakinan bahwa yang ’ditulis dengan sebenarnya’ akan melahirkan gairah dan kebenaran di baliknya akan datang bersambut gayung. Semua orang akan mengamininya. Semua orang akan mengenangnya….entah ludah yang keluar dari mulut mereka atau senyum prestasi. Kenangan tidak harus manis, bukan?
Dan, saya pun percaya bahwa saya harus menuliskan apapun yang harus saya tulis—mengikuti jalur linear imaji yang acap kasatmata, ataupun melupakan siapa saja yang ada di samping saya yang sering memaksa dan membatasi. Saya percaya bahwa jalur imaji yang datang itu akan memungkinkan tulisan itu/ini menjadi sebuah peristiwa pada masanya, lepas dan bersaksi kepada siapa saja. Saya ingin sekali melakukan itu, bahwa yang datang dan pergi memang seringkali menyisaan yang tak biasa, menjadi prasasti ataupun hanya sekedar tawa yang sebenarnya akan menjadi saksi untuk peristiwa berikutnya.
Di saat seperti ini saya ingat sebuah nama, Donatien Alphonse François de Sade (atau lebih dikenal Marquis de Sade (2 June 1740-2 Desember 1814), seorang yang telah melakukan sesuatu sebelum engkau melahirkan film ini. Penulis berdarah Prancis abad 18 yang telah mengikuti hatinya, sebagai medan terkaya dari kehidupan, menuliskan apapun untuk memenuhi panggilan imaji yang saya sebutkan di atas. Karena pada waktu itu porno dan semua macam yang berbau seks harus dilenyapkan dari kehidupan masyarakat Prancis, maka dia pun harus menanggung akibat sebagai penulis yang senang mengeksplorasi kesadisan seksual (sexual sadism) dalam bentuk novel ataupun catatan-catatan berai. Panggilan hati yang dia lakukan bukan hanya selesai pada selembar kertas—atau apapun nama media untuk menuliskan sesuatu pada masa itu—tetapi jauh petualangan yang dia lakoni, demi hasrat kebebasan itu, dengan melakukan skandal seks dengan gundik. Ini luar bisa bagi seorang yang mau membuktikan dirinya hidup.
Saya tidak hendak memuja apalagi mengkultuskan seseorang atau apapun. Saya hadirkan Sade karena sisi ’keunikan’ dia dalam melakukan risalah kehidupannya dengan total dan pasti. Untuk menyubutkan dari kalangan penulis dari bangsa ini adalah Pram yang cocok sebagai wakil dari bayangan imaji saya. Karena dialah orang yang—atas nama penulis—telah mempertaruhkan semuanya demi totalitas yang telah dia buktikan ke tengah kehidupan.
Saya yakin bahwa dari sekian pekerjaan yang baik Sade atau Pram lakukan adalah menjalankan pekerjaan yang lahir dari hati nuraninya. Mereka tidak tahu pada akhirnya kalau karya yang mereka hasilkan akan menjadi sampah atau mutiara.
***
*) Bernando J. Sujibto lahir di Sumenep, 24 Februari 1986. Menulis puisi, esai, cerpen, artikel dan resensi di berbagai media massa lokal dan nasional. Karya-karyanya dapat ditemukan dalam beberapa antologi bersama. Aktif di sejumlah komunitas seperti Komunitas Kutub dan Teater ESKA UIN Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi sarjananya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Selcuk, Turki. Saat ini ia tercatat sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: Aku Mendengarmu, Istanbul (Diva Press, 2018), Harun Yahya Undercover (Ircisod, 2018), Turki Yang Tak Kalian Kenal! (Ircisos, 2017), Seribu Warna Turkiye (Ircisod, 2018), dan Rumbalara Perjalanan: Kumpulan Puisi (Diva Press, 2017).