BUAT J.W.V. GOETHE, I

Nurel Javissyarqi
https://pustakapujangga.com/2009/09/for-j-w-v-goethe-i/

(I) Ribuan gentayangan menjambak rambutku,
bersama matahari melewati tujuh harinya bumi,
duabelas purnama, gerimis dan terik menyengat.
Yang malam, menyaksikan bintang-gemintang abadi,
atas padang rumput ilalang, kala kabut menebar sangsi;
udara mulai terhirup pemikiran, keraguan ganjil tertelan.

(II) Kalung melingkari leher bidadari,
tak lebih lebar punggung belati; ditempa cahaya purnama,
berkilatan menyambar nyawa perhitungan. Darah muncrat
sesegar perut perawan, yang terhunus pedang sendiri.

(III) Pada Faustmu, kubelajar tujuh kerahasiaan alam,
segala ruh memesonaku, menuruti ke batas kota hening;
kita mengajarkan hembusan angin kencang pembebasan.

(IV) Sebab dinginnya cahaya mengendap,
kulit terdekat perapian, menjembatani kekuatan;
bertabrakan sebagaimana perang di altar nurani.

(V) Ini anak laba-laba memakan induknya; manusia,
dirayu mengenyam bahagia, serupa seribu pintu menawan.

(VI) Di batu hitam berlumut, percakapan hening suwung;
lembab merangsek dada perjuangan, dedaunan bergoyangan.
Embun topas terjatuh berguling, di tangan menjelma berlian.

(VII) Bersamaan fajar sesungguhnya, fajar semu tertelan,
kepada rimbun perut gua, relief terbaca, kesaksian tumpah.

(VIII) Salju meleleh di batang-batang sungai,
persetubuhi cahaya menjelma kaca;
ada bintik-bintik mutiara di pohon tua,
yang menyenangi menjerumuskan manusia.
Lewat sinar merah, biasnya limbung meragu,
berayun pada hati sebagaimana apel terbelah.

(IX) Teriak anak-anak di ladang perburuan,
tangisan ibunda di negeri penindasan;
api ganjil mencipta bayang tengah malam,
mereka sakit memandang gaib. Dan kalbu bergetar,
lahar memecah tulang mencabik daging mencabuti serat,
terkelupas kulit-kulit halus setelah hangus.

(X) Kesempatan penuh merampungkan karya,
berbeban sakit gelora membebas;
keringat dingin menderas setelah jaket mendung tebal
menutup tubuh langitan; demam bergejala keabadian.

(XI) Di perbatasan tidaknya, nyawa menggelantung,
menuruni tangga gelisah, membumbung uap batu nisan;
kekekalan terpahat, se-‘durung’ debu-debu mengubur jaman.

(XII) Darah mengalir ke sekujur hidup, gejolak api suci
melenturkan hawa pengap; gonjang-ganjing jiwa
menggedor pepintu, lalu gerbang alam terbaca.

(XIII) Pada titik tepian jurang ketentuan,
burung-burung gagak hinggap di dedahan;
saat kembang bermekaran memeluk tebing,
alunan tembang pujian melewati lembah pesawahan.

(XIV) Tugu kaca menancap di alun-alun tengah kota,
mereka bercermin melihat wajah masing-masing. Dan,
kelelawar beterbangan di ubun-ubun kantor pos tua,
sementara burung-burung kecil menggigil,
menelusupi barisan, terbirit keluar arena.

5 Juli 2000 Yogyakarta.

Leave a Reply

Bahasa »