HAH

AS Sumbawi

Hah. Aku tersentak. Bangun dari tidur. Buru-buru kuraba dada. Hah. Tanganku berlumuran darah. Ternyata bukan hanya mimpi. Benar. Aduh, bagaimana ini?! kataku sendiri. Pikiranku kelam mendung. Bingung.

Kulihat jendela terbuka dengan tirai yang tak tergerai. Sinar rembulan menerobos ke dalam kamar. Sementara udara terasa cukup dingin.

Seperti tersadar, aku bergegas menuju jendela dan melongokkan kepala ke luar. Mataku menangkap sesosok bayangan berkelebat. Aku berlari ke ruang depan. Seseorang telah berdiri di pinggir jalan depan halaman. Kemudian ia membalikkan tubuhnya, memandang ke dalam rumah sembari tersenyum.

Hah. Dia?! pikirku setelah tahu bahwa dia adalah perempuan yang baru saja hadir dalam mimpiku. Menyobek dadaku dan mengambil hatiku. Buru-buru aku membuka pintu.

“Hai, Awik. Menyambut kedatanganku?” kata Bondan ketika memasuki halaman dengan tas ransel di punggungnya. Baru datang dari rumah. Ia salah seorang teman satu rumah kontrakan denganku.
Aku melihat ke sana ke mari, mencari-cari wanita itu.

“Kenapa, Wik?” kata Bondan heran setelah berada tak jauh dariku.
“Ndan. Apa kau melihat seorang perempuan di sana?” kataku menunjuk ke jalan.
“Nggak. Nggak ada.”
Aku berlari ke jalan. Lantas melihat kanan kiri. Ke ujung jalan. Namun, perempuan itu tak kutemukan. Hilang lenyap. Datang dan pergi seperti hantu.

Aku kembali, dan kulihat Bondan sudah masuk ke dalam rumah.
“Memangnya ada apa, Wik?” kata Bondan ketika aku melewati pintu. Aku memperlihatkan telapak tangan kananku kepadanya.
“Darah!?” katanya.
“Gadis itu baru saja mengambil hatiku,” kataku sembari mencari tempat duduk di depannya.
“Gadis?! Gadis yang mana?”
“Gadis yang berdiri di pinggir jalan tadi,” kataku.
“Tapi, aku tak melihat seorang pun di luar sana?”

Aku mengangkat kaos dan memperlihatkan dadaku yang berlumuran darah. Tanpa segumpal hati.
“Bagaimana kejadiannya?” katanya. Aku kemudian bercerita tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
***

Aku diam. Kulihat Bondan tampak mengiya-iyakan kepalanya setelah mendengar ceritaku. Kemudian ia menghisap sebatang rokok yang baru saja disulutnya. Sementara derak jarum jam dinding menunjukkan pukul 02.48. Hawa dingin menyelusup lewat pintu yang setengah terbuka.

Aku mengambil sebungkus rokok milik Bondan dari permukaan meja. Mengeluarkannya sebatang, dan menyulutnya. Kemudian asap keluar berhamburan dengan sekali semburan kuat.

“Ehm,” tenang saja, Met. Hal ini tidak akan sampai membunuhmu?? kata Bondan.
“Benarkah?”
“Ya,” katanya singkat.
Ia kembali menghisap rokoknya. Sementara aku merasa belum puas dengan apa yang dikatakannya.

“Coba kaupikir! Berapa banyak orang yang hatinya bukan hati lagi?! Menjadi Batu?! Berapa banyak orang yang sengaja membungkam hatinya? Membunuhnya? Tapi, mereka tidak mati. Dan tampaknya mereka begitu menikmati hidup ini. Entah, palsu atau tidak?!” Bondan diam sejenak. Sementara aku merasa bahwa apa yang dikatakan Bondan benar juga.

“Karena itulah, kau tidak akan sampai mati hanya gara-gara segumpal hatimu dicuri oleh seorang wanita. Gadis itu. Kecuali jika kau merasa tak kuat menanggungnya. Menyerah. Lalu bunuh diri,” lanjutnya.

Ia kembali terdiam. Menghisap rokoknya. Begitu juga aku. Tak lama kemudian ia mengangkat suara lagi.
“Cuma?..”
“Cuma apa, Ndan?” kataku.
“Kau akan merasakan ada sesuatu yang sedikit janggal dalam hidupmu.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Ehm, karena aku pernah mengalami kejadian seperti itu. Begitu juga dengan semua lelaki. Dan semua orang,” kata Bondan setelah menghisap rokoknya.
“Semua orang mengalaminya?”
“Ya. Semua orang mengalaminya. Bahkan ada yang sampai berkali-kali. Dan sekarang adalah giliranmu.”
“Giliranku?”
“Ya.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” kataku.
“Menemuinya.”
“Gadis itu?”
“Ya. Bukankah dia yang telah mencuri hatimu?!”
“Tapi, untuk apa?”
“Kehidupanmu. Apakah kau mau hidup dalam bayang-bayang gadis itu? Penasaran?!” kata Bondan.
“Aku belum mengenalnya,” kataku pelan.
“Kalau begitu, pagi ini kau harus menemuinya. Berkenalan dengannya. Kemudian menanyakan kabar hatimu itu.” Bondan diam.

Tak lama kemudian, Bondan mulai mengangkat suara. Ia menceritakan suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupnya setahunan yang lalu. Saat itu kami belum satu kontrakan.

Suatu hari dalam remang malam, seorang wanita diam-diam menyelinap dalam kamarnya. Mengambil segumpal hatinya. Dan wanita itu adalah temannya sendiri. Kemudian ia mencoba menemuinya. Bertanya tentang segumpal hatinya. Namun, wanita itu tak mengaku bahwa dirinya yang mengambil. Ia tak percaya. Karena dirinya yakin bahwa wanita itulah yang benar-benar telah mencuri hatinya.

Dan suatu hari, ia melihat wanita itu melemparkan segumpal hati ke atas. Sementara tangannya siap menangkap kembali. Elisa,?. jangan dilempar-lemparkan!, katanya. Wanita itu terkejut. Kemudian berlari. Dan, hati itu. Hati itu jatuh ke tanah. Moncrot.
***

Bondan terdiam dengan air muka yang menampakkan kesedihan. Aku merasa bersalah. Kuperhatikan ia menghisap rokoknya kuat-kuat. Dan menyemburkan asapnya sembari tangannya mematikan bara rokok di asbak yang ada di permukaan meja.

“Kau tahu apa yang kemudian terjadi?!” katanya.
“Apa yang terjadi?” kataku balik bertanya.
“Tiba-tiba aku roboh tak sadarkan diri.” Ia diam sejenak. “Tak lama kemudian, aku tersadar. Namun, tubuhku terasa kaku. Aku merangkak, mencoba menggapai hatiku yang telah hancur. Mengumpulkannya dan menempatkannya kembali di dadaku. Kurasakan kondisiku agak membaik. Meski langkahku terseok-seok dengan rasa perih di dada.”

Bondan diam sejenak. Kemudian menyulut sebatang rokok.
“Sampai saat ini, masih kurasakan perih. Meskipun hanya sesekali saja,” katanya selepas menyemburkan asap rokok ke udara. Kemudian :
“Dan aku yakin ini pasti akan berakhir ketika ada seorang yang mencuri hatiku lagi.”

Kami cukup lama terdiam. Udara masih terasa dingin. Buru-buru aku beranjak menutup pintu. Sementara derak jarum jam dinding menunjukkan pukul 03. 36.
“Kapan Mamat dan Anto datang?” kata Bondan.
“Barangkali nanti sore,” kataku.
***

Tiba-tiba aku teringat ibu yang berpesan agar aku selalu berhati-hati. Dan pesan ini kuartikan “baik-baiklah menjaga hati”. Aku menyesal telah alpa. Kini, entah di mana wanita yang membawa pergi segumpal hatiku itu. Gadis itu.

“Sudah, Met. Jangan melamun terus,” kata Bondan yang berjalan dari kamar mandi mengambil air wudlu, kemudian masuk ke kamarnya. Beberapa menit yang lalu, ia berkata ingin menjama’ ta’khir shalat maghrib dan isya’. Aku pergi ke belakang, membersihkan noda darah di dadaku, kemudian masuk ke kamarku. Membalutnya.
Di atas punggung kasur aku rebah, menerawang jauh menembus langit-langit kamar. Gadis itu menari dalam khayalanku. Dari mana dia datang” pikirku.

Udara menyelusup lewat jendala kamar yang terbuka membuat hawa terasa dingin. Barangkali lewat jendela, kataku. Ah, tidak mungkin. Memang selama ini aku sering lupa tak menutup jendela ketika hendak tidur. Tapi, baru kali ini aku kemalingan. Tidak. Tidak mungkin gadis itu menyelinap dalam remang lewat jendela. Masuk kamarku dan mencuri hatiku.

Aku bangkit, dan beranjak menghampiri jendela. Menutupnya dan menggeraikan tirainya. Kemudian kembali rebah di punggung kasur. Menerawang jauh.
Hah, ini dia, pikirku. Kutemukan jejak-jejak gadis itu dalam bawah sadarku. Rupanya dia telah cukup lama tinggal di sana, dan malam ini dia keluar setelah menyobek dadaku. Mengambil hatiku. Memasuki kesadaranku.
***

Sudah tiga hari aku mencari gadis itu. Namun, belum juga aku bertemu dengannya. Kurasakan dadaku kosong tanpa segumpal hati, dengan debaran-debaran yang terasa nyeri. Dan ini selalu membuatku tak bisa konsentrasi. Tiap malam, bayangan gadis itu selalu mengganggu. Merusak malam-malamku. Waktu tidurku. Mimpiku. Dan siang itu aku masih mencari.

Aku menunggu gadis itu di halaman kampus tempat biasa aku sering melihat dirinya. Sementara alroji di lengan kiriku menunjukkan pukul 09.36. Cuaca terasa hangat bersama mentari dalam perjalanan memarak siang.

Hah. itu dia, kataku sendiri. Kulihat gadis itu berjalan dari arah ruang tata usaha. Pandangannya lurus ke depan. Kurasakan dadaku nyeri oleh debaran-debaran. Ia lewat di depanku, kemudian belok mencari tempat duduk tak jauh dariku. Aku masih ragu apakah benar dia adalah gadis itu?! Gadis yang telah menyobek dadaku. Mencuri segumpal hatiku.

Aku harus kenalan dengannya. Harus. Paling tidak aku bisa memastikannya, kataku sendiri. Sementara debaran-debaran di dadaku semakin kencang. Kuperhatikan ia tersenyum padaku. Seperti sebentuk senyum yang pernah kulihat pada malam itu. Kemudian ia tampak mencari sesuatu di dalam tas hitamnya. Ayo, cepat dekati dia. Sebaris kata terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku menyulut rokok sebatang. Biar sedikit tenang, kataku.
“Hai, boleh kenalan?!” kataku setelah sampai di dekatnya. Ia tersenyum. Aku menyodorkan tangan kanan sembari menyebutkan nama.
“Maria,” katanya menyalamiku.
“Maria?!” kataku.
“Maria Shofia.”
Aku duduk di sebelah kanannya. Kemudian memulai sebuah percakapan.
***

Maria menuliskan alamat kostnya di sesobek kertas. Begitu juga denganku. Kemudian kami saling memberikan kertas tersebut. Kemudian ia berkata bahwa dirinya akan masuk kuliah lagi.

Hah. Aku tersentak ketika ia memasukkan pulpen dan sesobek kertas berisi alamatku ke dalam tasnya. Tanpa sengaja aku melihat segumpal hati ada di dalam tasnya. Benarkah, benarkah itu hatiku? kataku sendiri. Maria beranjak pergi. Kuperhatikan langkahnya yang begitu anggun.

“Maria!!!” sapaku tiba-tiba. Ia menolah padaku, tersenyum.
“Boleh aku main ke tempatmu nanti malam?” kataku. Ia tak menjawab. Namun, anggukan pelan kepalanya sudah cukup bagiku siang itu.

2004

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *