AS. Sumbawi
Sejujurnya, barangkali kita akan membawa lari ketakukan kita saat mengetahui seseorang berdiri di pinggir jalan dengan membawa senapan yang siap mengambil nyawa manusia. Apalagi dandanan seorang itu begitu menyeramkan. Bermata tajam elang yang memburu mangsa dan bertubuh besar seperti raksasa.
Kemudian setelah berada dalam radius yang aman darinya, barangkali juga sebagian di antara kita ada yang menelepon atau datang langsung ke kantor polisi guna melaporkan bahwa ada seorang gila yang membikin kerusuhan di tempat umum. Melanggar hukum dan meresahkan masyarakat. Lantas buru-buru raungan sirine menembus gendang telinga, mengabarkan bahwa sekompi petugas segera datang demi menenangkan keadaan. Memang, sebagai pelayan masyarakat sudah seharusnya seperti itu.
Akan tetapi, keadaan sebenarnya tidak seperti itu. Orang-orang bersikap biasa saja menanggapi keberadaan raksasa bersenjata senapan yang siap mengambil nyawa manusia itu. Mereka lewat di depannya tanpa terganggu dengan keberadaannya. Mungkin hanya orang-orang yang belum pernah melihatnya saja yang memberikan tatapan dengan tanda tanya. Misalnya, orang-orang yang dalam perjalanan dari luar kota yang tengah menaiki kendaraan pribadi atau kendaraan umum yang melintasi jalanan di depannya, dan menaiki gerbong-gerbong kereta api yang melaju dengan bertumpu pada rel yang terpasang di belakangnya. Hal ini membuktikan bahwa kenyataannya, sekarang ini kehidupan kita telah benar-benar aman, tentram, dan damai. Atau mungkin juga, kehidupan telah membikin kita menjadi acuh tak acuh. Namun yang lebih melegakan hati, adalah seorang yang bersenjata senapan dan bertubuh raksasa itu hanyalah sebuah patung yang berdiri di jantung kota kabupaten ini.
Dulu ketika masih kecil, saya pernah bertanya kepada ayah setelah mengetahui keberadaan patung itu yang berdiri tak jauh dari rumah kami.
“Dia seorang pahlawan. Namanya Surendra. Dia berjuang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah Belanda dan Jepang,” ayah diam sejenak. “Makanya, kita harus menghargai jasa-jasa para pahlawan yang gugur demi bangsa dan negara. Juga berjuang mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya. Membangun bangsa dan negara.”
“Bukankah setiap hari senin di sekolah, kamu mengikuti upacara?”
“Iya.”
“Ikutilah dengan sungguh-sungguh. Mengingat perjuangan para pahlawan. Dan mendoakan mereka. Termasuk Surendra.”
*
Setelah lulus sekolah dasar, setiap hari, kecuali hari libur saya selalu mengawasi patung Surendra. Maklumlah, untuk mencapai sekolahan SMP, saya harus menyusuri jalan berkerikil yang ada di sebelah kanan patung tersebut. Di saat seperti itu, pikiran saya mencoba membayangkan begitu besar perjuangannya. Kepahlawanannya. Sehingga di kota ini mesti dibangun patung dirinya. Monumen.
Suatu hari dalam pelajaran sejarah, seorang guru menyuruh saya untuk menyebutkan beberapa nama pahlawan nasional. Kemudian saya menjawabnya dengan lancar. Guru tersebut tersenyum bangga dengan jawaban saya.
“… dan Surendra,” jawab saya.
Tiba-tiba seluruh kelas tersentak memandang saya. Begitu juga guru sejarah itu. Beberapa teman tertawa mendengar saya menyebut nama patung tersebut.
“Mohon tenang,” katanya kemudian menatap saya.
“Dia bukan pahlawan nasional, Nalia. Memang Surendra adalah pejuang bangsa. Akan tetapi, dia bukan termasuk pahlawan nasional.
“Kenapa, Bu Guru? Bukankah dia seorang pahlawan besar?! Karenanya di kota ini didirikan patung dirinya. Dan siapa sebenarnya yang menentukan masuk atau tidaknya seseorang sebagai pahlawan nasional?”
“Nalia. Memang dia seorang pahlawan negeri ini. Pejuang kemerdekaan yang gagah berani. Namun, Surendra hanya dikenal di kota ini saja. Tidak meluas secara nasional. Barangkali karena itu, dia tidak termasuk pahlawan nasional.”
Saya diam. Hanya diam hingga pelajaran sejarah selesai. Namun, dalam hati saya belum sepenuhnya bisa menerima perkataan guru sejarah itu. Sementara beberapa teman laki-laki yang kerap mengganggu saya, menjadikan Surendra sebagai bahan olok-olok.
“Nalia. Apa dia itu kakek-buyutmu?” kata Nurel yang disambut dengan tawa oleh anggota gengnya itu.
Saya mencoba tak menghiraukan mereka.
“Lantas kalau tidak, buat apa kau bela seperti itu?”
Saya hanya diam.
“Ee, teman-teman. Jangan-jangan Nalia nggak naksir sama kita-kita sebab dia mencintai Surendra,” kata Haris yang kembali membikin mereka tertawa.
“Jancuk,” umpat Saya. Mereka terdiam, lantas serentak tertawa kembali. Barangkali karena saya yang tak pernah misuh, sehingga kata yang saya umpatkan terdengar lucu.
Sementara teman-teman yang lain hanya tersenyum kepada saya.
Sebentar terdengar olok-olok dari mereka:
“Nalia misuh, Nalia misuh….Nalia naksir patung…”
Sejak saat itu, perasaan saya tambah dekat dengan Surendra. Meskipun saat itu pula, saya pertama kali mengucapkan kata kotor: jancuk! Saya tak rela pahlawan besar itu dijadikan bahan olok-olok.
Dan diam-diam dalam hati saya berkata, kalau sudah besar nanti, saya ingin mempunyai suami seperti Surendra. Tidak seperti Nurel, Haris, dan anggota gengnya yang suka mengganggu itu.
*
Ketika SMU, perasaan saya masih dekat dengan patung pahlawan besar itu. Setiap hari, kecuali hari libur, saya selalu mengawasinya ketika berangkat sekolah. Yah, sungguh gagahnya. Dengan celana dilipat sebetis, kaos polos, senapan, dan ikat kepala, tegak berdiri dipayungi langit yang cerah, pikir saya.
Dalam keseharian seperti itu, tiba-tiba terbersit di benak saya untuk mengetahui siapa sebenarnya Surendra. Kapan dan di mana dia lahir dan wafat? Bagaimana sejarah hidupnya? Perjuangannya?
Kemudian dalam beberapa kesempatan, saya berkunjung ke perpustakaan kabupaten untuk mencari literatur tentang Surendra setelah di perpustakaan sekolah saya tidak mendapatkannya. Akan tetapi sampai berkali-kali kunjungan, saya tak juga mendapatkannya. –Hingga kini, yang saya tahu tentang dirinya hanyalah seperti kata ayah ketika saya kecil dulu—.
Sore yang cerah itu saya mengawasi patung Surendra sekali lagi. Sementara siang tadi saya menyudahi kunjungan ke perpustakaan kabupaten. Saya putus asa.
Saat mengawasinya itu, dalam benak saya mengatakan bahwa dia tidak hanya gagah, tetapi juga tampan.
Dalam hidupmu, selain berjuang mengusir penjajah, apa kau pernah menikah? Punya keturunan? Kalau saja aku hidup pada saat kau masih hidup, sungguh bahagianya diriku, bila kau menjadikan aku sebagai istrimu, pikir saya kepada patung itu.
“Hei, Nalia…”
Saya tersentak. Saya lihat Lisa tersenyum, mendekat dengan sepeda motornya.
“Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Haris waktu SMP dulu, bahwa kamu naksir dia…” katanya melirik ke patung itu.
“Sialan,” kata saya tersenyum. Yah. Dulu, saya dan Lisa teman sekelas di SMP. Namun sekarang, kami beda SMU. Begitu juga dengan Nurel dan Haris.
Kami kemudian bercakap-cakap.
*
Malam itu malam musim penghujan. Di pelataran langit, rembulan disaput awan. Tidak jauh di sebelah timurnya, kilatan petir keperakan membelah awan. Sementara di lokasi patung itu, hanya tiga pasangan muda-mudi duduk di sana.
Memang, sejak beberapa tahun terakhir ini, lokasi patung itu dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Saya kerap menemukan mereka ketika pulang dari kegiatan kampus. Apalagi kalau malam minggu, wah, ramai sekali. Para pedagang kaki lima pun tak mau melewatkan kesempatan untuk mengais rejeki di sana. Begitu juga dengan umbul-umbul iklan produk rokok yang terpasang di kanan-kirinya.
Dan malam itu, sungguh saya bahagia. Seorang yang diam-diam saya rindukan beberapa bulan terakhir ini mengungkapkan perasaan cintanya kepada saya.
“Aku juga mencintaimu,” kata saya memberi jawaban.
Kami tersenyum berpegangan tangan.
Sebentar langit meneteskan gerimis. Kami beranjak dan siap-siap pergi. Begitu juga dengan dua pasangan muda-mudi itu. Kemudian dia membawa saya dengan sepeda motornya. Meninggalkan patung itu dengan kesepian sejarahnya. Masa lalu yang senyap.
Aku mengeratkan pelukan ke tubuh Haris ketika angin mendera dan terasa begitu dingin.
2006