Teolog-Seniman, Aktor Pencerahan Budaya

Endri Y
http://www.lampungpost.com/cetak

PADA era global sekarang, di mana sekat politik-geografis bukan lagi hambatan informasi, kebudayaan bukan hanya ditentukan akal budi manusia saja. Namun, kapital, informasi, media, dan manusia, semua memiliki peran strategis-ketergantungan.

Sedangkan esensi peta posisi budaya berada hanya pada hasil penciptaan para manusia yang telah tercerahkan. Dalam lingkup mencipta gerak budaya “yang tercerahkan” itu adalah seniman dan teolog. Keduanya menjadi pendulum kesejarahan yang terus diproduksi dan mereproduksi diri dalam hadirnya untuk memandu arah zaman.

Telaah Martin Buber yang terkenal, I require a you to become, becoming I, I say you. Jika dikaitkan dengan relevansi keterbukaan masyarakat yang tecermin dalam ranah budaya yang include pada kedirian, menemukan kebenarannya. Masuk di dalamnya akulturasi-akulturasi pada hampir semua diri-budaya sebagaimana filosofi Buber itu, “aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau.”

Dapat dikatakan, napas semangat teolog adalah kemampuan untuk sejauh mungkin menembus medan-medan tersulit (fisik dan metafisik) untuk kemudian bersinergis “menjadi” manusia dengan dimensi watak ketuhanan. Sabar dan ikhlas.

Memberi tanpa pamrih. Menebar cinta kasih. Kehidupannya lebur dalam lika-liku jalan immaterial. Dan tentu, selalu larut dalam pengembaraan-pengembaraan intelektual.

Tidak jauh berbeda, seniman dalam ranah pengembara ke manifes mencerahkannya, senada dengan teolog. Ketika teolog bergerak pada ranah indrawi-batiniah ke ketentraman hidup “yang ada”. Seniman berjuang untuk mengantar estetika pada fisik-indrawi untuk eksis. Keduanya berkhidmat demi menjadi manfaat bagi manusia lain.

Adalah Gus Tf Sakai yang mengalirkan pembeda kategori, antara agamawan dan seniman sebagai dua kutub pengarah dengan keberbagaiannya. Dia membuat eksistensi kesenimanan terlegitimasi untuk berbuat sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia, mengarahkan dan mengantarkan. Bedanya terletak pada beban nilai yang terbatas dan tidak terbatas. Kontekstual-eksklusif dan universal-inklusif.

Dalam paham ini, kedua pencerah (teolog dan seniman) itu sekarang berusaha melingkupi dan melampaui nilai yang dibawanya untuk kontekstual dan universal sekaligus.

Bagi seniman, yang dikenal berkarya dalam kandungan nilai universal mulai digagas karya seni yang kontekstual untuk kalangan sendiri, intern, dan spesifik. Indikator utamanya, marak komunitas dan karyanya tersegmentasi untuk komunitasnya. Pun teolog, yang tanda kajian- nasehatnya dulu eksklusif dan hanya beredar untuk kalangan sendiri kini melangkah ke aksi sosial, praksis semakin peduli pada universalisme kemanusiaan. Misalnya, peran agamawan yang aktif dalam kampanye hidup sehat, memberantas kemiskinan, dan semacamnya. Padahal dengan usaha mendekonstruksi teologi awalnya.

Radikalisasi Peran
Terkait dengan teori pemberontakan dengan anjuran cinta kasih sebagai manifestasi watak ketuhanan para teolog dan seniman ini, terjadi radikalisasi perubahan peran atau sekedar penyelarasan peran sesuai tuntutan zaman. Albert Camus, membuat peta ziarah intelektual atas kontemplasinya terhadap filsafat Eropa (Pemberontak, 2000) terjemahan dari buku (The Rebel, 1956).

Salah satu hasil permenungan Camus adalah Sade, yang membenarkan kebinalan manusia dalam term libido terkejam. Di mana logika itu pada dasarnya dibangun oleh hasrat, nafsu kebalikan dari pemikiran tradisional. Sade, sebagaimana dianalisis Albert Camus, memberikan pembenaran terhadap fitnahan, pencurian, dan pembunuhan dan kita diharapkan sabar terhadap kejahatan-kejahatan.

Dari sini, pengarusutamaan kepasrahan diri adalah kemutlakan absolut. Ketika seluruh institusi pengelompokan pengatasnamaan “pemberdayaan” menjadi mitos, sekadar langkah- langkah dan celoteh utopis para agamawan atau seniman, rajutan kata- kata, teks- teks, karya- karya yang imajiner dan terkesan menipu.

Sangat dibutuhkan peran radikal teolog dan seniman dalam ranah gerakan tersebut di atas. Bukan hanya berkutat pada kontekstual, universal, tetapi lebih pada praksis sosial dari produk pemikirannya. Yaitu terwujudnya kebudayaan global yang tercerahkan itu. Yang tentram dengan keberbagaiannya dan kebebasan nilainya.

Budaya, dalam kacamata untuk mengejawantahkan visi nun jauh ke depan, baik dalam rentang 10, 20, dan atau 30 tahun mendatang tentang prospek berkebudayaan perlu ada pembongkaran. Meminjam bahasa dalam judul buku terbitan Kompas, (September, 2007); Membongkar Budaya, Visi Indonesia 2030 khususnya dalam rangka perancangan produk (product design) pencerahan teolog dan seniman, diperlukan rekonsiliasi dengan masa lalu.

Proyek rekonsiliasi berarti juga kesadaran untuk membangun spiritualitas. Dalam teori rekonsiliasi mempersyaratkan kesediaan memaafkan masa lalu.

Terkait dengan masa lalu, maka penting pula bagi kita untuk berjuang melawan lupa, meminjam bahasa Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting–perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa–sebab, “lupa” bagi para pencerah itu (teolog dan seniman) adalah musuh yang paling nyata. Baik itu dilupakan, terlupakan, atau bahkan melupakan. Kata sakral dalam peran pemegang mandat kultural.

Dilupakan, adalah penolakan atau peniadaan yang menjadi musuh sejati para seniman dan teolog. Sebab, karya seni dan teologi tujuan utamanya meng-ada-kan. Membuat prasasti, mengukir sejarah, meninggalkan jejak, monumen, dan untuk menegaskan ‘kehadiran’ sebagai zeitgeist zaman.

Persepsi Tubuh Kebudayaan
Adalah Maurice Merleau-Ponty (1908–1961) seorang filsuf besar perumus fenomenologi dan termasuk di dalam kajian filsafatnya ada pendedaran hakekat persepsi tubuh. Untuk sampainya pada pembacaan “persepsi tubuh kebudayaan kita” perlu diperhatikan bahwa, bagi Merleau Ponty istilah “persepsi” mempunyai arti lebih luas daripada mata mengamati suatu subyek. Sebetulnya, istilah itu meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi.

Dengan demikian persepsi secara langsung berkaitan dengan dunia, tubuh, dan intersubjektivitas. Bahkan lebih lanjut, persepsi digunakan untuk menunjukkan pertautan antara dunia dan tubuh, perpaduan tubuh dan dunianya. Persepsi dalam arti psikologis juga sebagai aktus kesadaran (pengamatan). Dari persepsi inilah kita dapat menyentuh langsung denyut nadi, sebagai penanda adanya kehidupan artefak dan karya pencerahan.

Denyut nadi itu adalah gerakan- gerakan lembaga, institusi, dan lain semacamnya yang menaungi atau dijadikan tempat bernaung karya seni dan teologi. Sedangkan tubuhnya adalah seniman dan teolog.

Maka, bagaimana persepsi itu bergerak, sebagaimana pula tubuh itu menggerakkan.
Persepsi tidak akan bergerak jika tubuh tidak pernah beranjak dari tempat berdirinya. Penggerakan persepsi adalah juga pergerakan tubuh, adiluhungnya matan nilai-nilai altruis, semangat membuat transformasi sosial, membangun tanda-tanda, sampai pada penyuguhan hiburan serta ketentraman adalah muatan kebajikan produksi karya seni dan teologi. Di ranah tubuh budaya yang mampu menggiring manusia ke pergerakan menuju kutub-kutub matrial di luar kesejatiannya sebagai manusia, sangat diperlukan basis pengembang nilai, pengumpul tatal-tatal altruis yang berserakan untuk mampu menegasikan budaya ke proses pencerahan paripurna. Dan tidak ada yang lebih mampu untuk tugas estetis seberat itu selain seniman dan teolog.

*) Koordinator Kajian Komunitas Tendean Tujuh, Lampung.

Leave a Reply

Bahasa ยป