Aku Tak Rela Ia Mati Terhormat

AS. Sumbawi

Ia telah kubunuh. Kuceraikan anggota tubuhnya bagian perbagian. Kemudian potongan-potongan yang masih mengeluarkan darah itu kumasukkan ke dalam kantong plastik hitam.

Puas sudah hatiku. Plong. Apa yang selama ini menjadi obsesi terbesarku telah tercapai. Ia sudah tak berdaya. Tidak menakutkan lagi. Mampus oleh tanganku. Ya, aku tak rela ia mati dengan cara terhormat. Ia tak layak untuk itu. Maka, aku sendiri yang harus membunuhnya. Semua tahu, bahwa mati oleh tangan anaknya sendiri adalah jalan kematian paling hina. Aku yakin semua akan beranggapan bahwa ayahku bejat. Dan aku senang dengan hal itu, karena ia memang bejat.

“Yap, kataku seusai mengikat kantong plastik hitam.

Di kamarnya, darahnya berceceran. Tidak hanya di lantai, tapi juga di dinding, di kasur, di tubuhku dan pakaianku. Ah, nanti saja kubersihkan, pikirku. Ya, aku harus segera menyingkirkan potongan-potongan tubuhnya sebelum ada yang tahu.
*

Aku terkejut ketika kembali. Kulihat ibu duduk di kamar. Kepalanya bertumpu pada lengannya yang menyilang di atas sandaran kursi. Dan jari-jari tangan kanannya memegang sobekan pakaian bajingan itu. Aku mendekatinya.
Ibu mendongakkan kepala. Menatapku tajam. Matanya berkaca-kaca.

“Apa yang terjadi?” katanya. Aku diam.
“Kau membunuhnya?” Aku tetap diam. Ia berjalan mendekat.
“Jadi benar kau membunuhnya?”
“Hei…”

Tiba-tiba ia melayangkan tangannya ke mukaku. Aku hanya diam. Kulihat matanya bertambah merah. Kemudian ia buru-buru pergi.
*

Aku sedang menggulung seprei yang berlumuran darah ketika ibu kembali dengan setimba air dan kain pel. Ketika kutatap matanya, ia buru-buru melengoskan tatapan matanya dariku. Kemudian ia membersihkan darah di lantai tanpa berbicara serangkai abjad pun kepadaku. Sementara aku hanya berdiri menatapinya.

“Cepat. Sebelum adikmu tahu,” katanya tanpa memandang kepadaku.
Segera kubawa seprei dan setimba air yang telah berwarna merah kehitaman itu ke belakang. Kemudian aku kembali dengan setimba air bersih.
“Di mana jenazahnya?” katanya. Ia tak juga menatapku.
“Telah kusingkirkan.”
“Di mana?”
“Tempat yang aman. Ibu tak usah khawatir.”
*

Kamar telah bersih dari darah. Kini, aku tengah memasang seprei. Sementara ibu ada di belakang. Entah, apa yang dilakukannya. Sebenarnya, aku sudah menduga bahwa ibu akan shock dengan apa yang telah kulakukan. Membunuh bajingan yang ditakdirkan sebagai ayahku itu. Aku cukup maklum. Namun setelah lewat sehari-duahari, aku yakin ibu akan kembali bersikap baik kepadaku.

“Yap, selesai sudah,” kataku. Kupandangi kasur sejenak. Tiba-tiba wajah bajingan itu tergambar di benakku. Meronta-ronta kesakitan. Dalam hati aku tertawa. Ya, rasakan.
Aku berjalan keluar. Namun, sebelum mencapai pintu, mendadak aku ingin melihat sekali lagi tempat di mana aku menghabisinya.

Sebenarnya, sudah lama aku ingin membunuhnya. Namun, aku tak pernah mendapatkan kesempatan yang layak. Dan tadi pagi, ketika melihat bajingan itu tidur dan Suasana rumah cukup sepi, tiba-tiba aku merasakan bahwa semuanya seakan mendukungku untuk mewujudkan obsesi terbesarku. Buru-buru aku mengambil sebilah pisau yang cukup besar dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku menghujamkan pisau ke dadanya. Ia tersentak. Meronta-ronta. Matanya menatap taja kepadaku. Aku panik. Segera saja kuhujam pisau ke dadanya sebanyak-banyaknya. Aku tak ingin ini gagal. Dan aku sangat lega ketika ia tak bergerak lagi.

Kemudian kuseret tubuhnya yang kaku bersimbah darah itu ke lantai. Tiba-tiba aku teringat kembali dengan apa yang selama ini sering aku pikirkan. Aku ingin menginjak-injak wajahnya. Menendang kepalanya seperti dalam sepakbola. Membanting kedua tangannya yang kerap memukulku dan memukul ibu. Menghantamkan kedua kakinya yang kerap menendang kami itu ke tembok. Mengodol-odol perutnya yang membuatnya tak peduli pada kehidupan keluarga. Memotong kemaluannya yang sering digunakan dengan pelacur. Menyakiti hati ibu. Dan sebagainya.
*

Sore itu, ibu menyuruhku pergi ke ruang makan dengan perantara adik perempuanku. Di meja makan, Ibu tak pernah menghadapkan wajahnya ke arahku.
*

Sudah dua hari bajingan itu tidak tampak di mataku, di mata ibu, di mata adikku. Tentu saja. aku telah membuatnya mampus. Ya, ia kini tak bisa lagi menyakiti kami. Ia tak bisa lagi memukul kami, menendang kami. Ia juga tak bisa berjudi lagi, menghabiskan uang hasil kerja ibu, tak bisa masuk lagi, dan membawa seorang pelacur ke rumah. seperti yang biasa dilakukannya. Aku cukup senang karena aku telah membebaskan keluarga dari duri dalam daging. Membebaskan ibu dari bajingan itu. namun kini, aku kecewa dengan ibu. Ia selalu melengoskan pandangannya dari tatapan mataku setiap kali kami bertemu. Entahlah. Padahal dulu, aku membayangkan ibu akan bergembira ketika aku menemuinya dengan membawa kabar bahwa aku telah membunuh bajingan itu. ibu akan mengucapkan ribuan terima kasih dan ribuan pujian. Seperti seorang putri yang diselamatkan oleh seorang ksatrian berkuda putih yang gagah berani. Tapi, tak apalah. Barangkali ibu masih perlu waktu.

Ya, seringkali kulihat ibu melamun ketika sedang melakukan pekerjaan. Matanya menerawang jauh. Entah, ke mana pikirannya plesiran. Tapi, aku yakin tak jauh-jauh dari peristiwa itu.

Pernah suatu kali kulihat ibu melamun ketika sedang mengiris bawang merah. Tanpa sadar, ia mengiris jarinya sendiri.

“Ibu!” ingatku. Ibu tersentak melihat jarinya berlumuran darah. Matanya nampak merah. Aku buru-buru mendekatinya dan memegang tangannya. Namun ketika aku hendak menghisap darah di jarinya, ibu mengibaskan tangannya lantas pergi.

Sementara adik perempuanku sering menanyakan perihal ayah kepada ibu. Namun, ibu selalu mengatakan bahwa ayah pergi karena urusan penting. Memang, adik perempuanku itulah yang selama ini yang menjadi kesayangan ayah ketika berada di rumah. ayah kerap mengajak adik perempuanku pergi. Dan ketika pulang, di tangan adik perempuanku pasti ada oleh-oleh.

Sebenarnya, aku tidak setuju dengan jawaban ibu kepada adik perempuanku itu. aku berharap ibu akan berterus-terang kepadanya bahwa bajingan itu telah mampus. Dan sudah sepantasnya ia mati dengan cara tidak terhormat. Mati oleh darah dagingnya sendiri.
*

Kini aku mendekam di penjara. Beberapa hari yang lalu ibu melaporkan perbuatanku kepada polisi. Ia telah menyakiti hatiku. Padahal, ia berhutang budi padaku. Seharusnya ia lebih menyayangiku karena aku telah menyelamatkannya. Karena itulah aku sangat membencinya. Apalagi ia juga maju menjadi saksi dalam persidangan kasusku. Sementara jenazah bajingan itu telah ditemukan oleh polisi dan kini sedang dalam pemeriksaan tim forensik.

Aku juga membenci para wartawan yang seenak udel-nya menuduhku sebagai pembunuh berdarah dingin. Padahal, apa yang mereka tahu. Kehidupan keluarganya sendiri pun mereka barangkali tidak tahu. Apalagi keluargaku. Dan aku yakin palu hakim ada di pihakku. Namun jika sebaliknya, maka palu hakim telah semena-mena kepadaku. Karena aku berbuat kebaikan dengan membunuh bajingan itu.
*

Tadi setelah persidangan, ibu membesukku. Tak seperti biasanya, tiba-tiba saja aku mau menemuinya. Aku tak tega melihat ibu bersedih. Aku sangat menyayanginya. Namun, lagi-lagi aku kecewa padanya. Katanya bahwa ia tak mau aku menjadi buronan dan hidup sengsara dalam pelarian. Makanya ia melaporkanku. Ia berharap setelah keluar dari sini, aku bisa menjadi orang baik. Sembuh. Katanya lagi, semua ini dilakukannya karena ia sangat saying kepadaku.

Ah, bajingan. Mereka semua menganggapku sakit seperti anggapan para dokter jiwa dan psikiater yang tidak valid itu. Psikopat. Namun, aku berharao cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *