Moch. Fathoni Arief
kabarindonesia.com
Kekeringan hebat melanda desa antah berantah. Sebuah desa yang terletak di daerah perbukitan. Saat Tuhan menunjukkan tanda kekuasaan apalah daya manusia-manusia yang lemah ini. Musim hujan yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Bencana bagi semua mahluk yang ada. Lahan kering, tanah retak-retak, bongkahan-bongkahan yang begitu keras sehingga tak mungkin untuk digarap. Air menjadi masalah tersendiri. Untuk memasak, dan kebutuhan masak-memasak dan minum saja sulit apalagi untuk mandi. Air baru bisa didapatkan setelah berjalan kaki sejauh lebih dari tiga kilometer dari desa ini. Itupun sangat sulit membawanya dalam jumlah volume banyak. Sulitnya medan membuat tiap-tiap orang hanya mampu membawa satu jerigen ukuran besar air bersih.
Permasalahan warga, hal penting yang turut dihadapi oleh Tardji. Anak asli desa ini yang telah lama merantau menimba ilmu hingga menjadi seorang sarjana dari kota. Hampir lima belas tahun ia meninggalkan desanya. Dulunya ia dibawa oleh seorang sanak kerabatnya. Ia meninggalkan desa semenjak kedua orang tuannya meninggal akibat bencana tanah longsor lima belas tahun yang lalu.
Sekarang Tardji bukanlah anak desa yang biasa. Ia kini seorang sarjana jika dipasang namanya biasa ditulis Sutardji. ST. Seorang sarjana teknik jurusan Sipil dari sebuah Universitas yang konon katanya tertua di negeri ini. Kini Tardji kembali, sebagai seorang pelaksana lapangan dalam pembangunan check dam didesa yang mengalami kekeringan itu. Rencananya akan dibangun beberapa bangunan yang fungsinya sebagai pengendali erosi dan konservasi air. Dana pembangunannya sendiri murni dari APBD. “Sore mas Tardji!” Sapa orang demi orang sepanjang perjalanannya hari ini menuju rumah Pak Kepala Desa.
“Lik Man tahu kan dia itu mas Tardji orang pinter yang dulunya juga berasal dari desa ini?” Sugiono menunjuk Tajdi dari kejauhan.
“Wah ya jelas tahu dia itu Tardji anaknya Suminten sama Kardiman yang dulu ketimbun tanah longsor lima belas tahun yang lalu itu kan”. Lik Man nampaknya tahu benar tentang Tardji.
“Kabarnya dia itu orang yang sakti dan pemberani. Kemarin dia itu sendirian malam-malam didekat sungai pinggiran desa yang terkenal angker itu”. “Ya lho Lik kemarin aku lihat didepan rumah pondokannya dia ngajari anaknya pak bacaan-bacaan yang katanya agar bisa segera turun hujan”. Dari belakang muncul Yu Sunarti yang sedari tadi mengikuti pembicaraan keduanya.
Dipundak Tardji lah masyarakat bergantung. Anggapan warga Tardji sarjana kota itu mampu mengatasi segala masalah yang ada. Beban berat yang harus dihadapi oleh seorang yang baru saja lulus dari jenjang kesarjanaannya.
“Sore Bu, Pak Kades ada dirumah?” Tanya Tardji pada bu Kades yang membukakannya pintu. “Mas Tardji to, oo..silahkan duduk dulu mas!” Bu Kades mempersilahkan sang sarjana itu duduk.”Mas Tardji, bagaimana kabarnya, darimana saja?” Pak Kades keluar dari depan menyambutnya.
“Pak Kades saya ingin cerita sesuatu pada anda. Kegelisahan yang saya alami, terutama akhir-akhir ini setelah kedatangan saya di desa ini”.
“Memangnya ada apa nak Tardji?” Tardjipun segera ceritakan semuanya pada Pak Kades. Ada banyak hal yang dia paparkan diantaranya tentang anggapan warga desa tentang dirinya sebagai orang linuwih hal lain adalah sedikitnya jama’ah yang pergi ke Masjid satu-satunya di desa ini. Hati Tardji begitu terusik, meronta melihat tiap kali sholat Jum’at tak lebih dari empat puluh orang yang datang ke masjid.
“Maaf nak saya mengerti kegelisahan yang anda rasakan. Sebagai orang yang lama tinggal disini saya sepenuhnya mengerti sangat sulit mengatasi permasalahan yang ada”. Pak Kades hanya menarik nafas dan kemudian menghisap rokok kreteknya.
Ada-ada saja masalah yang terjadi didesa ini akhir-akhir ini. Beberapa hari sebelum kedatangan Tardji sempat terjadi pemutusan listrik didaerah desa itu. Warga yang telah terpasang listriknya tetapi tidak mau melunasi biaya pasang, lagi-lagi pak kadesnya yang harus turun tangan.
“Tapi minimal ada satu hal yang saya minta pak! Warga desa jangan berprasangka macam-macam terhadap saya. Saya hanya manusia biasa sama seperti mereka”.
Pembicaraan diantara Tardji dan Pak Kades terputus oleh datangnya Bu Kades yang membawa singkong goreng dan minuman. “Nak Tardji ini dinikmati dulu, ayo jangan malu-malu! Maklum orang desa bisanya cuma menghidangkan seperti ini”. Bu Kades mempersilahkan Tardji dan pak Kades menikmati hasil olahan singkongnya.
Singkong merupakan salah satu hasil utama dari desa ini. Terbatasnya air membuat ladang-ladang disini sebagian besar hanya ditanami oleh singkong. Daerah desa yang terletak didaerah perhutani ini sebenarnya dulunya banyak ditumbuhi tanaman pinus. Karena penebangan liar, perbukitan inipun menjadi gundul. Penggundulan yang pernah mengakibatkan bencana banjir bandang dan tanah longsor lima belas tahun lalu. Keluarga Tardji adalah salah satu orang yang menjadi korban tewasnya.
“Rencananya nak Tardji akan tinggal sampai kapan didesa ini?” Tanya Pak Kades “Sebenarnya sampai selesai proyek pembangunan check dam kira-kira sampai tiga bulan kedepan”.”Saya turut dukung saja. Kalau ada masalah dan butuh bantuan saya mas Tardji bisa langsung berhubungan dengan saya”.
Tardjipun berpamitan dengan Pak Kades. Sang insinyur kebanggan desa inipun segera menghilang diantara jalanan berbatu yang kanan kirinya ditumbuhi semak-semak. Dari kejauhan Pak Kades tersenyum dia terlihat bangga melihat putra asal daerahnya itu.
“Aku turut bangga bu dengan orang seperti Insinyur Tardji itu!”
“Ya Pak seandainya kita masih punya anak gadis tentunya pingin punya menantu seperti dia”. Sunyi, sepi perasaan itulah yang tengah dirasakan oleh Tardji saat ini. Meskipun dulunya berasal dari daerah ini hampir dari dua pertiga usianya dihabiskan dikota.
“Tugas berat ini harus bisa kuselesaikan. Tak hanya proyek pembangunan chek dam itu saja. Hal-hal yang mengusik pikiranku selama ini harus juga bisa kuselesaikan”.
Tardji terduduk di bawah pohon didekat sungai yang kering. Rencana disitu termasuk lokasi pembangunan. Esok hari sesuai jadwal pembangunannya sudah dimulai. Disaat sang sarjana Teknik itu termenung seorang penduduk desa mendatanginya. Diantara mereka akhirnya terlibat pembicaraan.
“Rencananya mau dibangun apa mas?” Mas Katijo penduduk yang rumahnya disebelah Barat Pak Kepala Desa.
“Ini mas nantinya akan dibangun namanya check dam. Tujuannya nantinya masalah kekeringan tak akan dialami lagi oleh warga ini. Nanti partisipasi warga sangat dibutuhkan seperti mas Katijo nanti juga sangat saya harapkan kontribusinya”.
“Orang-orang bodoh seperti saya ini cuma manut saja mas. Kalau itu bener dan masuk akal ya saya ikuti”.
“Mau rokok mas ini silahkan ambil!” Tardji tawarkan rokok kreteknya pada mas Katijo.
“Suwun mas”. Dengan sedikit malu-malu Mas Katijo mengambil rokok kretek yang ditawari Tardji. Keduanya terus terlibat pembicaraan sesekali mereka hisap rokok kreteknya.
“Mas Tardji ada yang mau saya tanyakan! Apa benar yang selama ini dikatakan oleh warga?”
“Memangnya ada apa mas Katijo?”
“Katanya mas Tardji punya ilmu yang bisa manggil hujan dan tahu kapan hujan akan terjadi”.
Sebuah pekerjaan yang lebih besar bagi Tardji. Sebuah pelurusan terhadap kepercayaan yang salah kaprah. Namun Tardji tak ingin membuat warga tersinggung nampaknya ia ingin perlahan-lahan.
“Mas Katijo benar-benar pingin belajar caranya?” Tanya Tardji.
“Ya mas mbok saya diajari ilmunya!”
“Mas siap-siap saja nanti waktunya saya kabari”.
Proyek pembangunan itupun dimulai. Ternyata partisipasi warga sangat membantu. Tiga buah bangunan yang direncanakan selesai dalam dua bulan ternyata hanya satu setengah bulan telah mendekati selesai. Berita tentang Tardji yang akan menurunkan ilmunya terus saja tersebar. Warga tak pandang tua atau muda terus menunggu kapan dilaksanakannya. Setiap hari Katijo menagih janji pada Tardji untuk mengajari doa tersebut.
“Mas Katijo sudah dapat kabar dari mas Tardji belum? Kapan waktu pelaksanaannya aku juga pingin ikut” tanya Lik Man pada Mas Katijo
“Ngga tahu Lik tapi kata mas Tardji dua hari lagi. Katanya pelaksanaannya dilapangan desa ini”. Jawab mas Katijo Dari kejauhan mereka melihat Tardji dengan sepeda motornya. Lagsung saja keduanya memanggil Sarjana Teknik itu menagih janjinya.
“Mas Tardji bagaimana katanya mau ngajari ilmu memanggil hujan?” Tanya mas Katijo.
“Ya mas kami sudah tak sabar lagi menunggu datangnya hujan”.Desak Lik Man.
“Nanti Lik Man sama Mas Katijo ajak warga disini ya nanti kita kumpul di lapangan depan balai desa”.
“Bawa apa saja mas?” Tanya Lik Man.
“Nanti jangan lupa bawa alat sholat sama tikar”. Jawab Tardji.
“Maaf mas, saya belum bisa sholat bagaimana?” Lik Man dengan malu-malu tanya lagi pada mas Tardji.
“Pokoknya bawa tikar. Kalo yang laki-laki pakai celana atau sarung dan yang perempuan bawa mukena”. Tardji memperjelas kembali.
Selepas itu hebohlah desa itu. Deg-degan menunggu, dan melihat Tardji yang mau menurunkan ilmu pemanggil hujannya.Sebagian besar warga sudah bersiap-siap sesuai dengan yang diperintahkan Tardji. Diantara mereka ada yang mengobrak-abrik isi lemari sambil mengeluarkan mukena yang telah berwarna kekuning-kuningan sudah lama sekali tidak diapakai.
Sampailah pada hari yang dijanjikan. Siang itu didepan balai desa sudah berkumpul banyak sebagian warga desa itu. Ada diantara mereka yang membawa peralatan sesuai dengan yang diperintahkan Tardji tapi ada juga yang hanya sebagai penonton saja.
Sesudah banyak orang berkumpul Tardji mulai memberi komando. Menyusun mereka dalam barisan-barisan seperti shalat jama’ah sedemikian rupa. Mereka semua menurut apa yang dikatakan Tardji.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan saudara-saudara kita akan menjalankan sholat Istisqa. Nanti bagi yang belum pernah ikuti saja gerakan saya”. Sholat Istisqa’ pun dimulai dan beserta khutbah dan doa’anya. Diakhir khutbah Tardji sempat menyampaiakan pesan singat “Insya Allah sebentar lagi akan datang hujan setidaknya dalam minggu ini”.
Benar apa yang dikatakan oleh Tardji kira-kira empat hari setelah melaksanakan sholat datanglah musim hujan. Kejadian hujan itu semakin menguatkan pandangan warga tentang bukti kesaktian dari Tardji. Sesuatu yang sangat menyiksa bagi Tardji usaha peluirusan keyakinan yang dia usahakan ternyata belum berhasil. Sempat Tardji menjelaskan dengan gamblang bahwa apa yang dikatakan tentang hujan bukanlah hal yang bersifat mistik semuanya berdasarkan data dari Badan Meteorologi Dan Geofisika, sesuatu yang ilmiah. Tentang yang dilakukan dilapangan itu hanyalah sholat Istisqa semua bisa melakukan tak ada yang spesial.
Setahun sudah kejadian itu berlalu. Masih juga ada warga yang menganggap hal yang tidak-tidak pada Tardji. Terakhir setelah dibangun check dam dan usaha pengananan konservasi air desa itu tak lagi mengalami kekuarangan air. Kontan saja kini Tardji dianggap sebagai Imam Mahdi sang penyelamat desa Tardji sebenarnya menangis hatinya diantara persepsi dan keyakinan dari warga. Diantara semuanya kini ia sudah agak lega mengingat tiap kali sholat Jum’at sudah ada lebih dari lima puluh orang yang datang dan tiap kali jama’ah sholat wajib tak lagi terdiri dari satu imam dan satu makmum.
***