Ssst, Nama Gadis Itu Kriti?

Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan, 04/27/2003

Sosok tubuh kecil dan ringkih itu berusaha berpacu cepat di atas sadel sepedanya menembus jalan berbatu dan sempit di tegalan sawah. Gadis kecil nakal, walau di beberapa tungkai lutut kaki dan tangannya telah terlihat bekas kecil luka bagai koin logam, tetap saja dia naik sepeda di atas permukaan tanah yang sempit untuk ukuran ban sepeda.

Kriti Puspita namanya, bocah perempuan kecil yang lincah. Sepedanya terus saja meliuk di antara rambutnya yang panjang bergoyang diterpa angin. Embusan angin semakin kencang, meniup roknya yang panjang hingga hampir ke mata kaki. Angin mempermainkan poninya. Hatinya terbuai dan mengayuh sepeda lebih kencang. Tampak kawan-kawan karibnya yang lelaki duduk di pinggiran tegalan sawah. Sebagian ada yang berdiri sambil memukul-mukul kakinya ke lubang tanah, seekor yuyu dia lihat jadi rebutan para anak lelaki.

Wajahnya masih polos. Khas lugu gadis desa yang mulai merekah. Dadanya belum lagi ranum namun setiap pemuda sudah mulai melirik dan berani memastikan kalau dia kelak menjadi seorang wanita dengan buah dada yang padat dan berisi. Wajahnya tidak bisa dikatakan terlalu cantik, namun tetap menarik. Hidungnya agak pesek tapi matanya bersih. Bicaranya lancar.

Dia sering bermain di kolam dan empang sepanjang tegalan sawah Lamongan. Dia juga sering mandi di bak tepat di belakang rumah neneknya. Waktu itu musim panas, sehingga kolam kering dan tidak bisa untuk mandi dan membersihkan diri di pinggirannya. Apalagi kalau mandi di empang atau kolam, biar orang desa kulitnya tetap merasa gatal kalau kena air empang kecoklatan. Di musim kemarau, airnya sama sekali tak dapat curahan hujan atau kiriman dari sungai sehingga air jadi sedikit dan bercampur lumpur dan tanah.

Di bak mandi nenek, si gadis kecil yang entah kenapa merasa jadi nakal itu mandi bersama kawan-kawannya. Mereka tertawa dan baru berhenti ketika terdengar teriakan nenek yang memanggil namanya. Teman-temannya tertawa, ekspresi wajahnya menyiratkan ketakutan, namun suaranya tetap terkekeh sekadar untuk tidak menyurutkan kebahagiaan yang lain.

Dia bukan anak dari keluarga terpandang. Di desa ini memang tak banyak orang yang terpandang. Desa yang kerap mengirim anak-anaknya sekolah di kota besar sehingga hampir tak berpikir lagi untuk menumpuk harta dan membeli perabotan rumah. Televisi masih jarang, satu televisi cukup untuk mengundang beberapa tetangga setiap malam.

Dia memang bersekolah di tempat ini. Bahkan, hingga sekolah lanjutan atas pun dia masih berada di desa ini. Walau tubuhnya tidak begitu tinggi, pendek seperti gadis Lamongan lainnya, orangtuanya cukup bangga dengan perangainya yang masih bisa diatur dan tak banyak neko-neko.

Saat masih sekolah lanjutan pertama dia menolak saat diajak orangtuanya untuk menari. Katanya, tubuhnya kaku dan dia tak mau harus dipaksa. Untuk mengaji, dia bisa saja karena memang orangtuanya sejak kecil mengharuskannya ikut Pondok TPA yang ada di setiap desa. Selain itu, dia juga orang yang suka menulis diary- orang kadang menyebut tulisannya itu puisi sehinga dia merasa juga punya potensi untuk menjadi penyair.

Di tempat ini, dia sempat terkagum-kagum pada para santri yang mengaji. Suara-suara mengaji terdengar di sepanjang surau dan pondokan, setiap dia mengayuh sepedanya dan melintas di sana.
***

Tapi entah mengapa, dia tak pernah tertarik pada para lelaki yang ada di tempat itu. Ya, dia sudah remaja. Ketika dia katakan dia tak suka pada para lelaki yang berada di asrama itu, itu wajar saja. Hanya, bagaimanapun dia harus jujur kalau dia pun sebenarnya juga punya sosok ideal yang dia sukai.

Entah kenapa juga bila dia malah menyukai seorang lelaki yang berkuliah. Usianya saja jelas jauh lebih tua ketimbang dirinya. Mahasiswa semester lima sebuah universitas di Lamongan.
Sayangnya walau lelaki itu jadi cinta pertamanya, si pemuda yang juga tak disangkanya ikut dalam grup kesenian itu, tidak merasa dicintai olehnya sama sekali. Akh, lelaki selalu pura-pura. Bisa jadi itu praduga perempuan yang pertama kali dialami sepanjang hidupnya. Nyatanya, dia kini memang perempuan. Kata ibu, kalau seseorang sudah haid berarti dia sudah akil baliq.
“Karena sudah akil baliq kamu harus jaga dirimu baik-baik ya, Nduk. Sikapmu harus njawani. Jangan macem-macem,” ujar ibunya.

Kala itu dia hanya mengangguk, sambil balas memandangi Nyi yang ikut-ikutan nimbrung, ingin tahu apa yang dibicarakan kedua anak-beranak, para penerusnya itu. Nyi memang orang yang kuat, setua ini masih saja bekerja dengan rajin dan tepat waktu. Menyapu halaman dengan sapu lidi waktu matahari belum muncul. Tangannya yang berkeriput senang merasakan dinginnya embun subuh. Suara azan baru saja selesai menghilang di telinga.

Nyi sudah salat subuh, tidurnya saja lebih cepat dari anak dan cucunya. Dia sangat rapih kalau hendak berangkat tidur, seprai, selimut dan sarung bantal harus dicuci rutin beberapa kali seminggu. Kalau ada debu sedikit, dia segera mengambil sapu lidi yang khusus untuk menepiskannya. Kata Nyi, agar tidurnya bisa tenang.

Si cucu cepat-cepat membantu kalau dilihat neneknya sudah kerepotan di atas tempat tidur. Kadang, si cucu sekadar membantu dengan satu tangan agar kelihatan dia ikut sibuk, dan batinnya agak tenang tak membiarkan neneknya yang tua bekerja sendirian. Biar sudah begitu, si nenek yang mengerti akal bulus cucunya, segera menarik tubuh yang kini mulai menampakkan kemolekannya itu ke pangkuannya. Tawa cucunya yang terpingkal-pingkal segera terdengar saat tangannya menggelitiki pinggang dan leher si cucu dengan tangannya yang tua dan keriput. Ibu dan bapak hanya tersenyum saja melihat ulah nenek dan cucu itu.
“Dasar kamu itu, tolong nenekmu saja pakai malas-malasan. Terus saja, Nyi. Biar dia kapok,” kata Ibu, pura-pura marah.

Bapak hanya tersenyum saja sambil menyalakan rokoknya. Dia masih saja duduk di beranda dengan rokok lintingan sambil menatap pohon nangka dan jambu yang sebentar lagi berbuah. Walau begitu, suara di belakang punggungnya selalu dijawabnya dengan raut wajah yang berubah.

Rumah kecil ini memang memberikan kesempatan setiap penghuninya untuk bisa akrab. Dari beranda, pintu depan yang berjendela dua, ruang tamu dan pintu tempat tidur hingga ke dapur terlihat lowong dan memberikan celah buat setiap orang untuk berdialog dari depan ke belakang. Itulah yang kerap diingat si gadis pada kelebihan dari rumahnya itu. Di depannya ada pelataran, lebih tepatnya halaman kebun yang cukup luas, pohon nangka, pohon jambu dan ada beberapa pohon yang tak begitu diketahuinya dengan jelas bertumbuhan di tanah beberapa meter itu. Di samping ada kandang ayam peliharaan bapak.
***

Cinta pertamanya itu memang cinta tak berbalas. Lelaki itu orang yang pendiam dan acuh tak acuh- barangkali dia menganggap dirinya cuma anak kecil. Namun sebagai kakak, lelaki itu perhatian sekali padanya. Gayanya yang luwes baru akan kaku bila dia balas memandang “si kakak” dengan tatapan mata yang berbeda.

Nama lelaki yang selisih delapan tahun dari dirinya itu Ihromi. Orangnya pintar, kuliahnya saja di IAIN. Melihat penampilan fisiknya pasti setiap orang akan menyukai dia. Tubuhnya tegap, dadanya bidang. Kesan alim terlihat dari rambutnya yang selalu dipotong pendek, geraknya yang tak sembrono dan terburu-buru, dan memakai kopiah setiap senja. Mulai dari maghrib hingga masuk kembali ke kamar di pondokannya, kopiah itu baru dilepas.

Namun, tak ada yang menyangka kisah romantis itu harus lepas karena ketidakpedulian lelaki yang ternyata menganggap dirinya sebagai adik. Aku tahu banyak tentang Kriti, sejak mulai cinta pertamanya itu hingga perjalanan dia selepas SMA dan bekerja di kota besar. Aku sering mengamatinya baik dari dekat atau jauh. Bahkan hingga Kriti bekerja di sebuah pabrik di areal industri kota Surabaya.
***

“Tahu tentang mas Ihromi, Mas Bayu?”
“Tahu, Dik Kriti,” kataku sambil menatapnya.
“Ingat kan?”
“Ingat, lelaki yang kamu ingat hingga sekarang itu kan? Ke mana dia sekarang, Dik Kriti?”
“Sudah tiada, Mas. Kabarnya kecelakaan”
“Kenapa?”
“Katanya saat menyeberangkan istrinya yang lagi hamil. Waktu itu dia mau check-up kali,” ujar Kriti. Lalu kami pun berbincang tentang kisah masa kecil dan kenangan tentang lelaki baik itu. Aku cemburu, tapi bagiku kenangan adalah kenangan. Dia bukan lagi berupa masa depan. Semuanya jelas berbeda.
***

Begitulah perjalanan cinta seorang gadis kecil. Bayu namaku. Akulah teman Kriti di masa kecil itu. Kriti Puspita, perempuan ini akhirnya memang semakin dewasa. Semakin mekar, seindah namanya. Seringkali kita menganggap kalau wajah dan tubuh indah, maka semuanya akan indah, sampai namanya pun harus indah. Atau kalau nama indah, maka wajahnya akan indah juga.

Begitu juga dengan Kriti saya kira, di balik nama indahnya, orang akan menuntut si Kriti itu harus cantik. Tapi? ya syukur, kebetulan wajahnya lumayan juga. Namun, di balik kesempurnaan nama dan wajahnya itu, dia tetap saja bukan apa-apa. Dia tetap Kriti, gadis polos yang bersahaja.

Kriti memang wanita biasa?ups, jangan sebut wanita, akan lebih halus kalau dibilang perempuan- ya betul, Kriti memang seorang perempuan biasa. Dia kini menjadi buruh di sebuah pabrik. Tidak beda dengan yang lainnya, bau keringatnya pun pastilah seperti buruh kalau pulang kerja. Amis, apek, keringatnya berleleran sebelum mandi sore.

Dari Ihromi, dia sempat juga mencintai lelaki lain yang dinas di dekat tempatnya bekerja. Tapi dia segera menjauhi lelaki itu karena kecewa si lelaki ternyata bukan tipe orang yang setia. Jadilah kenangan pahit kedua. Baru pada kekasih lainnya, aku terpilih juga sebagai orang yang beruntung. Bermula dari curhat, aku menyatakan perasaanku, yang ternyata tak ditolaknya. Aku begitu bahagia.

Buruh ketemu tukang parkir, ya kloplah. Apalagi yang dipikirkan kecuali kerja dan pacaran begitu kami selesai bertugas, pada shift sore. Di antara gerobak sampah, di pinggir kali, di sela alunan lagu dangdut, di tengah riuh cekikikan para buruh yang juga berasal dari berbagai kabupaten di Jawa Timur, kami telah punya dunia sendiri.

Sekali-sekali, nonton bioskop yang paling murah harganya di kota ini. Yah, agar uang buat nasi dan tabungan jadi tak terkurangi. Kadang malah Kriti ketemu aku dengan pakaian kerjanya, tidak pakai parfum atau bedak. Polos, ngobrol ngalor-ngidul, saling menatap, saling melirik.

Tapi dia tetap menarik bagiku. Menarik, itu saja cukup. Tak perlu cantik-cantik sebab wajahku pun sama sekali tidak ganteng. Memang dia cuma buruh dan aku tukang parkir. Waktu kerjanya delapan jam tiap hari dengan berganti shift setiap minggu. Kerjaku di antara terik matahari siang.
Namanya saja buruh, Kriti juga tak punya jadwal cuti kalau dia mens, atau barangkali cuti khusus melahirkan dan cuti punya anak.

Tidak ada itu. Mana mau sih perusahaan ngomong soal cuti-cutian. Lha wong yang diomongkan cuma untung melulu. Mana punya perhatian buat Kriti, seorang buruh yang kerap diperas seperti tenaga sapi.
Tapi syukurlah, Kriti tidak pernah minta waktu buat cuti melahirkan, atau cuti punya anak, atau sekadar cuti mens. Sebab dia masih lajang, masih gadis atau setidaknya dia masih sendirian.

Aku tahu semuanya, sebab si Kriti itu kini akan menjadi calon istriku juga. Akh, Kriti. Setiap menatap dia, pasti akan kembali terbentang kenanganku tentang gadis kecil, yang bersepeda, main air di bak mandi atau suara dia mengaji di sebuah TPA Lamongan. Kenangan masa kecilnya itu seringkali juga menyentuh kerinduanku untuk pulang. Menjenguk makam emak dan bapakku. Menjenguk calon mertua lelaki yang sebatang kara. Ayah Kriti sendirian di sana, sebab mas Kriti banyak yang merantau dan Kriti anak paling bungsu. Sedangkan Ibu Kriti sudah tiga tahun tiada. Nyi, nenek Kriti yang lembut itu, bahkan telah berpulang sejak kami bocah.

Rencanaku, kalau menikah di depan penghulu nanti, aku akan mengontrak rumah di pinggir kali dekat pabrik Kriti itu. Bapaknya akan kami boyong. Tak usah dulu pikir anaklah. Krisis ekonomi ini, dosa rasanya membiarkan bayi hidup ke dunia tanpa nafkah yang kecukupan.

Surabaya, 1997.

Leave a Reply

Bahasa ยป