Novel : Kantring Genjer-Genjer; Dari Kitab Kuning Sampai Komunis
Penulis : Teguh Winarso AS
Penerbit : Pustaka Pujangga, Lamongan
Cetakan : I, 2007
Tebal : 120 hlm.
Peresensi: MG. Sungatno
cawanaksara.blogspot.com
Andaikan saat ini masih era pembasmian ideologi komunis di negeri ini, jangan sekali-kali anda menyenandungkan lirik Genjer-genjer. Sebab, sekali saja anda menyenandungkan lirik tua ini dan didengar oleh orang atau pemerintah, anda akan dituding sebagai antek-antek komunis. Anda akan dicekal, dibuang, disiksa hingga mati dan dibuang dalam gelapnya lobang; lobang buaya. Inilah kenyataan yang pernah terjadi di negeri bekas penjajah ini.
Dalam novel ini, Teguh Winarso AS terasa memiliki nyali yang cukup gede. Dari judul novel ini saja, Teguh telah memberikan rangsangan informasi bagi calon pembaca bahwa didalam novel yang tercover warna darah ini bergelantungan kisah kehidupan manusia yang senang dan atau takut terhadap komunis.
Pembaca akan diajak menyelami kehidupan rakyat kecil (ndeso) disebuah perkampungan di Jawa, yang kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Pada saat yang sama, sebagian penduduk juga menemukan dilema antara mempertahankan kepercayaan nenek moyang atau memeluk Islam. Dalam situasi yang lain, keadaan politik negara sedang mengalami transisi dari orde lama menuju orde baru.
Sebelum menikmati novel ini, pembaca akan menemukan pengantar dari Redaktur Jurnal Kebudayaan The Sandour Nurel Javissyarqi. Menurutnya, novel itu pengadaan yang pernah ada, dengan bobot ruang yang tidak sama. Ia mendiami suatu tempat berkemiripan dan bukan termasuk realita disaat telah menjadi kabut wacana. Lantas lebih meningkat, ternyata realitas juga bukan suatu ?realitas? ketika kemampuan rasa sudah melebur dalam katagorinya sebagai non realias?.
Yang perlu diperhatikan, novel ini memang berangkat dari realitas kehidupan yang pernah ada. Namun, pembaca tidak bisa menghakimi bahwa apa yang terdapat dalam gubahan cerita Teguh ini adalah benar semua adanya. Besutan cerita memang ?anak ruhani? dari realita, tapi tidak bisa dinobatkan sebagai realita. Antara reka dan realita itulah yang kemudian membedakannya. Bila dikemudian hari cerita ini anda yakini sebagai malihan dari realita, itu konsekuensi yang perlu pembaca pikirkan lagi.
Pembantaian Dewan Jenderal
Suatu malam menjelang fajar, telah terjadi penculikan sejumlah Jenderal yang dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Soekarno. Para Jenderal yang diantaranya adalah Menpangad Letjen. Ahmad Yani, dicekal oleh Letkol Oentoeng dan kawan-kawan serta orang-orang bawahan mereka. Selanjutnya, Dewan Jenderal itu ditembaki dan dijungkalkan dalam lobang boeaja (lubang buaya).
Nyoto, nama tokoh utama yang diangkat Teguh Winarso, merupakan salah satu oknum prajurit yang ikut melakukan pembunuhan malam itu. Pasca pembantaian Dewan Jenderal, Nyoto dan kawan-kawan yang lain merayakan pesta kemenangan disebuah hutan karet dan jati. Dengan menenggak minuman keras beramai-ramai, Nyoto dan kawan-kawan juga dimanjakan goyangan erotis sejumlah wanita yang sambil melantunkan genjer-genjer. Selanjutnya, saat pesta usai, mereka berlomba-lomba memuaskan nafsu binatang mereka dengan wanita pilihan mereka sendiri-sendiri.
Berbeda dengan yang lain, Nyoto justeru dihampiri seorang wanita, Lasmi, yang sebelumnya tidak dipanggil. Ia diajak menuju gubuk tua dan memuaskan nafsu seksual keduanya. Usai mengakhiri keperjakaannya, Nyoto kelelahan dan tertidur hingga sore hari.
Setelah bangun dan mandi, Nyoto pun kembali berduaan dengan Lasmi di kamar. Sebelum berduaan diatas ranjang lagi, Lasmi mulai memancing pembicaraan tentang kejadian yang dilakukan Nyoto, kawan-kawan dan juga dirinya. Menurut informasi yang diterima Lasmi, setelah tragedi yang menimpa Dewan Jenderal malam itu, Soekarno mengeluarkan instruksi yang intinya mengutuk keras kejadian tersebut, melalui radiogram. Usai mendengar hal itu, Pangkostrad Soeharto menjadi minder dan ketakutan. Padahal, Soeharto adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Sebab, ide penculikan yang kemudian dilakukan oleh Oentoeng, pada awalnya tidak lepas dari dukungan dan bantuan yang diberikan Soeharto. Realisasi dari dukungan itu, Soeharto mengirim bantuan pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (hlm.102).
Untuk meredam ketakutannya dan mencari muka, Soeharto memberikan perintah kepada anak buahnya untuk menangkap Oentoeng dan kawan-kawan. Selain itu, Soeharto juga menuduh bahwa gerakan yang patut disesalkan itu didalangi PKI. Pada saat itu juga, orang-orang Soeharto juga menggelendeng Aidit dari rumahnya, di Brebes, kemudian dihabisi. Sehingga, potensi penyangkalan pernyataan Soeharto dari Aidit itu tidak pernah terjadi.
Sebelum mengakhiri dialog, Lasmi mengingatkan Nyoto bahwa ia termasuk orang yang diburu dan akan dihabisi orang-orangnya Soeharto. Keduanya pun berduan lagi diatas ranjang reot.***