Muda Dipeluk Maut

Judul Buku : Mereka yang Mati Muda, Sekali Berarti dan Sesudah itu (bukan Berarti) Mati!
Penulis : Arifin Surya Nugraha dkk
Penerbit : Bio Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama) 2008
Tebal : 200 halaman
Peresensi: MG. Sungatno *
Media Indonesia, 22 Nov 2008

BUKU ini membicarakan delapan putra-putri bangsa yang dipeluk maut dalam usia muda. Lewat buku ini, Arifin Surya Nugraha dkk ingin membuktikan kebenaran konsep ‘ada’ meski orangnya telah tiada. Nama-nama mereka tetap hidup dan dikenang.

Dari delapan orang yang dibahas, pejuang HAM Munir Said menjadi sosok yang paling lama menghirup udara dunia. Penulis buku ini juga membicarakan Ahmad Wahib, Chairil Anwar, RA Kartini, Robert Wolter Mongunsidi, Soe Hok Gie, Jenderal Soedirman, dan Soeprijadi.

Senin, 7 September 2004, merupakan akhir hidup Munir Said. Usianya saat itu 39 tahun. Putra bangsa kelahiran Malang, Jawa Timur, itu saat menapaki perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, keracunan.

Hasil autopsi menyebutkan Munir meninggal akibat banyaknya racun arsenik di dalam lambungnya (hlm 104). Pollycarpus Budi Haripriyanto merupakan orang yang dituduh menaruh racun dalam jus jeruk.

Ahmad Wahib, putra bangsa kelahiran Sampang, Madura, 19 November 1942 menemui ajalnya dalam perjalanan dari Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta, menuju RS Pertamina. Pemuda yang memiliki pemikiran progresif-revolusioner itu menjalaninya dalam kondisi tubuh yang kritis akibat sebuah kecelakaan.

Ketika itu, Wahib keluar dari kantor majalah Tempo untuk melaksanakan tugasnya sebagai reporter pada 31 Maret 1973. Sesampainya di persimpangan Jalan Senen Raya-Kalilio, tiba-tiba ada sepeda motor berwarna biru berpelat B 2738 EE, meluncur dengan kecepatan tinggi dan menabraknya. Tubuh Wahib terpelanting dan berlumuran darah hingga pada akhirnya beberapa gelandangan menolong dan melarikannya ke RS Gatot Subroto (hlm 23).

Pada 14 Desember 1969, Indonesia juga kehilangan Soe Hok Gie. Pemuda yang aktif dalam dunia pergerakan dan demonstrasi itu mendekap kematian ketika berhasil melakukan pendakian di puncak Mahameru. Saat itu, usianya baru 27 tahun.

Jenderal Soedirman menghembuskan napas terakhir pada 29 Januari 1950. Pahlawan kelahiran 14 Januari 1916 yang pernah mengabdikan diri sebagai guru itu gagal menapaki usia yang sebentar lagi menginjak 35.

Sementara itu, Robert Wolter Monginsidi gugur ketika mempertahankan cita-citanya untuk melihat rakyat merdeka. Ia dieksekusi mati oleh kolonial Belanda pada 5 September 1969 di Pacinang. Dalam proses eksekusi, pahlawan yang lahir pada 14 Februari 1925 di Malalayang itu menolak mengenakan penutup mata.

Dengan tangan kiri memegang Kitab Suci dan tangan kanan mengepal, ia berteriak, “Merdeka!” Delapan peluru eksekusi pun langsung menyambar nyawanya.

Pada 22 April 1949, sastrawan angkatan ’45, Chairil Anwar meninggalkan kehidupan yang telah dilaluinya sejak 22 Juli 1922. Begitu juga Supriyadi, pemimpin pemberontakan PETA terhadap Jepang di Blitar. Sejak gagal melawan tentara-tentara Jepang pada 14 Februari 1945, ia menghilang. Menurut H Mukandar di Bayah, Banten, pejuang kelahiran 13 April 1923 itu gugur dan telah dimakamkan bersama sejumlah orang pada Juli 1945 (hlm 189).

RA Kartini merupakan pahlawan emansipasi perempuan dari Jepara. Setelah menapaki kehidupannya dengan jiwa penuh ‘pemberontakan’ sejak 21 April 1879, akhirnya ia berpulang pada 17 September 1904 setelah menjalani perawatan selama empat hari setelah melahirkan bayi pertamanya.

Dari kilas balik cerita perjuangan delapan pemuda itu, ada sebuah cerita yang membutuhkan penelitian dan kajian lebih mendalam. Ada sosok yang bernama Andaryoko Wisnuprabu di Semarang yang mengaku sebagai Supriyadi.

Terlepas dari itu, buku ini mengajak pembaca untuk menghargai, mengenang, dan melanjutkan perjuangan delapan pemuda tersebut. Mengajak mengambil spirit dan gagasan-gagasan mereka untuk menjalani dan menciptakan situasi yang lebih baik daripada sebelumnya. Selain itu, memantapkan pemahaman kita bahwa kemerdekaan dari ketertindasan adalah hak segala bangsa.

*) Anggota Tim Riset Kronik Kebangsaan Indonesia (1908-2008) pada Newseum, Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *