PEMECAH BATU

Kusprihyanto Namma
http://www.republika.co.id/

Namanya Sidin. Tubuh pendek kekar. Kulit hitam terbakar. Rambut merah kusam. Jarang bicara. Apalagi tersenyum. Kerjanya buruh-memburuh. Bukan buruh tani. Tapi buruh pemecah batu.

Ia bekerja pada seorang juragan yang amat ia patuhi perintahnya. Ketika seorang kerabat juragan memenangkan tender pembongkaran gedung persidangan membutuhkan tenaga bongkar profesional, Sidin langsung diusulkan. Sidin tak bisa menolak. Akhirnya ia diboyong ke ibukota. Waktu Sidin sampai di gedung persidangan, bangunan itu sudah ambruk. Tinggal puing-puing.

“Tugasmu membersihkan puing-puing bangunan itu. Sampai bersih!” perintah kerabat juragan.

Sidin tak menjawab. Cuma menatap. Penuh ketakmengertian.
“Bila bertemu dengan tembok-tembok atau beton yang belum hancur, tugasmu juga untuk menghancurkannya dengan palu!”

Sidin mulai tahu apa yang harus dikerjakan. Dipandu seorang mandor, Sidin pun bekerja dengan pekerja-pekerja lain yang jumlahnya cukup banyak. Namun, belum ada seahad, satu demi satu pekerja itu rontok. Hingga akhirnya tinggal Sidin sendirian. Mandor pun lenyap.
“Kalau kamu ingin selamat, tinggalkan tempat ini!” begitu pesan pekerja-pekerja yang rontok itu pada Sidin.

“Ada apa sebenarnya?” Sidin tetap tidak tahu.
“Tempat ini banyak hantunya!”
Sidin tertawa getir. Di saat sulit mendapatkan pekerjaan, setelah ada kerja harus ditinggal karena masalah hantu. Dan lagi, bukankah hantu itu tempat tinggalnya di hutan, gunung, dan kali. Mana mungkin tempat seramai ibukota ada hantunya. Orang-orang itu hanya mengada-ada, pikir Sidin.

Sidin tak peduli sas-sus. Yang penting ia bekerja sebaik mungkin. Emaknya di rumah jangan terlalu lama ditinggal. Secepat mungkin Sidin ingin merampungkan pekerjaan itu. Tak peduli tak ada tenaga baru untuk menggantikan tenaga yang keluar. Seperti biasanya, Sidin bekerja sambil tetembangan.

Hingga pada suatu kesempatan Sidin mendapatkan suatu hal yang tak terduga. Adalah ketika mendongkel lantai, Sidin menemukan berpuluh-puluh tangan batu. Anehnya tangan-tangan itu mirip tangannya. Tangan manusia sekarang. Bukan tangan manusia-manusia dahulu yang sering dipahat di candi-candi.

Mula-mula Sidin mengira itu hantu. Tapi mana mungkin hantu muncul di siang hari. Paling itu tangan-tangan palsu yang disimpan di situ. Karena berpikiran seperti itu, Sidin dengan tenang mengambil satu.
“Jangan sentuh aku!” bentak si tangan batu.

Sidin kaget. “Mengapa?”
“Jangan banyak tanya. Bisa-bisa kugampar mulutmu. Ayo lepaskan aku!”
Karena takut akhirnya tangan batu itu diletakkan kembali. Sidin masih belum juga mengerti terhadap apa yang baru saja terjadi. Hari itu, Sidin tak meneruskan bekerja. Rasa jerihnya mengalahkan keinginannya untuk mendapat imbalan kerja.

Kejadian bertemu tangan batu itu membuat Sidin gelisah bukan main. Kelebat bayangan bengisnya si tangan batu tak hilang begitu saja. Kegelisahan itu dibawanya dalam tidur.

Dalam tidur, Sidin bertemu kakeknya. Dengan segala hormat, Sidin mengadukan apa yang baru saja ia alami. “Kek, apa mungkin sebongkah batu bisa berkata-kata?”

“Bila yang Maha Hidup berkehendak, di dunia ini tak ada yang tak mungkin. Bukankah telah ada bukti, laut pun terbelah menjadi dua. Bulan juga pernah terpecah menjadi dua. Semuanya, serba mungkin!”
“Kek, ada yang datang menghampiriku!”

“Tangan-tangan batu itu? Bersabarlah. Karena sabar itu pakaian takwa!”
“Aku tak bisa. Cacing pun takkan diam bila diinjak!”
“Itu cacing. Beda dengan kamu. Diam bukan berarti kalah. Menang tidak berarti harus mengalahkan. Meski kamu dikubur hidup-hidup, tetaplah menetapi sabar. Kelak akan ada yang melahirkanmu kembali!”
“Aku tak paham!”

“Sebenarnya, bukan cuma tangan mereka saja yang batu. Mereka juga berkepala batu. Berwajah batu. Berhati batu. Adigang adigung adiguna. Sapa sira sapa ingsun. Itulah perangai mereka. Ingin menjadi penasehat. Tapi tak mau dinasehati. Ingin memimpin, tapi tak mau dipimpin. Mereka menganggap dirinya adalah pusat kebenaran!”

“Begitu buruk!”
“Budaya malu tak ditumbuhkan adalah bukti mereka berwajah batu. Padahal siapa yang tidak mempunyai rasa malu sesungguhnya ia telah kehilangan iman. Hatinya jadi batu. Tak penting baginya mana hitam mana putih. Tak ada suara Tuhan. Hatinya seluruhnya setan!”

“Apakah mereka juga makan batu?”
“Telah tiba waktunya, makanan orang tidak cuma nasi dan roti. Tapi juga besi dan batu. Bukan cuma itu. Mereka, sebenarnya penyembah batu!”
Sidin tersentak. Waktu Sidin terjaga dari tidurnya, malam masih panjang. Udara bertuba-tuba di sekelilingnya.

Keesokan harinya Sidin bekerja lebih awal. Ia ingin membuktikan apakah di bekas puing-puing itu terdapat pula: kepala batu. Ternyata, tidak terlalu lama mencari, apa yang dicari Sidin telah ditemukan di antara reruntuhan.

Sebuah kepala batu yang bagus. Licin dan menawan. Sangat jelas, kepala batu itu gemar bersolek.

Didorong rasa marah, Sidin memukulnya. Namun kepala batu itu sama sekali tak bergeming. Malah mulutnya yang manis menyungging senyum. Sinis. Sidin penasaran mencoba memukulnya lagi. Tapi tak pecah juga. Malah palunya terlepas dari pegangan. Bersamaan dengan itu, si kepala batu meludahinya. Sidin sangat marah, namun belum sempat berbuat apa-apa, mendadak bermunculan kaki batu. Langsung menendangnya.

Tepat di ulu hati. Jidat. Pantat. Perut. Dada. Punggung. Kaki. Tangan.. Seluruh tubuh Sidin kena tendangan.

Sidin terhuyung-huyung. Matanya nanar. Tak sanggup menahan tubuhnya yang mulai limbung. Ketika kekuatan berdirinya benar-benar goyah, sebuah tamparan batu menghantam kepalanya. Sidin tak kuasa berdiri. Langsung ambruk. Nyungsep di antara reruntuhan gedung.

“Sidin!”
“Kakek!”
“Kamu datang terlalu cepat, Nak!”
“Apa yang sebenarnya terjadi terhadap diriku, Kek?”
“Kamu semestinya tahu, puing-puing itu bekas gedung persidangan. Di tempat itu banyak sidang didirikan untuk melahirkan undang-undang. Hukum demi hukum ditetapkan dari gedung itu. Banyak kepentingan yang bicara di situ. Maka sangat wajar kalau di situ kamu menemukan tangan batu, kaki batu, kepala batu. Karena di tempat itu kekuasaan dengan segala kerakusan, kebusukan, dan kejahatannya berlindung!”

“Gedung itu, karena letaknya sedemikian strategis, membuat koalisi konglomerat tertarik untuk memanfaatkannya. Dengan lobi-lobi jitu mereka berhasil meyakinkan petinggi bangsa untuk menggusurnya.

Demikianlah, gedung itu hendak dipindah ke pinggir kota, dengan alasan lebih sejuk, lebih tenang, lebih jernih untuk menimbang-nimbang permasalahan bangsa. Dan di bekas gedung itu akan dibangun pusat perbelanjaan, perbankkan, dan perhotelan bertaraf internasional!”
“Cuma yang paling aku sesalkan, meski zaman telah mencapai teknologi jet dan nuklir, namun kebudayaan zaman batu tak juga ditinggalkan. Untuk membangun sebuah mega-proyek mereka masih saja mempersembahkan tumbal!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *