Puisi Hening: Tradisi Liris R. Timur Budi Raja

Beni Setia
suarakarya-online.com

SELAIN Eliza Vitri Handayani, dengan novel Area X yang berlatarkan tradisi detektif bau science fiction, proyek lembaran sisipan “Kaki Langit” Majalah Sastra Horison itu melahirkan beberapa nama yang bisa disebut signifikan saat ini. Panggillah Faisal Kamandobat, yang selain menulis puisi juga menulis esei, dan makin terlihat potensinya sebagai eseis. Lalu, ada R Timur Budi Raja (selanjutnya Timur), yang dengan teguh hati mengujudkan obsesi jadi penyair.

Bisa dikatakan ia berkerja keras untuk menjadi penyair, dengan tak hanya bersuntuk di kamar dengan membuka buku dan berlatih menulis puisi. Ia mencoba memecah kebuntuan, dengan pergi ke luar rumah, dan belajar dari siapa saja yang bisa diajak berdiskusi, berbagi pengetahuan, dan sekedar membuka pengalaman. Dan berbeda dari kebanyakan keluarga biasa, keluarga Timur itu amat mendukung obsesinya untuk menjadi penyair.

Baca “Kartupos dari Sahabat Saya”, yang ditulisnya sebagai pengantar dalam kumpulan puisi R Timur Budi Raja, Aksara yang Meneteskan Api – Lingkar sastra Junok, Bangkalan 2006. Semacam deklarasi tentang ikatan batin antara penyair dengan teman-temannya, sekaligus berfungsi sebagai media buat mengucapkan terima kasih atas dorongan, motivasi dan bantuan. Dukungan yang menyebabkannya bisa menulis puluhan puisi, dan yang sebagian terkumpul dalam buku itu. Di sana disebutkan beberapa nama: ayah, ibu, dan penyair-penyair senior yang menjadi guru spiritualnya.
***

FAKTA itu sendiri melahirkan semacam perdebatan, apakah berpuisi tidak harus dilakukan secara mistis ritualistik, mengosongkan diri setelah mempersiapkan diri untuk menulis, dan menunggu sentuhan gaib ilham yang menggerakkan menulis. PJ Zoetmulder, dalam Kalangwan, mencatat model kepujanggaan macam itu dengan studi kasus sastra Jawa kuno. Atau tradisi dzikir dan khusuk yang menyebabkan seorang Jalaluddin Rumi mampu menulis berpuluh-puluh puisi dalam satu tarikan nafas. Sementara Li Po menikmati momentum liris di tengah alam untuk menulis berpuluh-puluh puisi, sebelum mengambil yang terbaik dan membuang yang tak sempurna.

Bagi Timur berpuisi adalah mencari model berpuisi yang pas dengan dirinya dengan pergi ke mana saja. Makna pengembaraan itu merujuk pada ziarah pada pengalaman dan kreativitas penyair lain, sebuah model komunikasi yang dilihat dan diamati untuk mengekspresikan penguasaan bahasa di satu sisi dan momen puitik atau pengalaman yang mengendap berdimensi batini yang minta diekspresikan sebagai puisi di sisi lain. Dalam beberapa segi yang dilakukannya itu sama romantisnya dengan para pujangga lama seperti yang disinggung oleh PJ Zoetmulder, atau bahkan diperlihatkan oleh kepenyairan Li Po.
***

TAK mengherankan kalau puisi terbaik dari Timur ada dalam kawasan liris, amat personal dan bermuda dari momen puitik yang bersipat denyar sesaat. Simak puisi “Di Pematang Itu” berikut ini: di pematang itu, udara mengombak./ ombak kecil dari risau akasia di situ, ombak kecil / sehabis mega dan senja. ombak kecil yang menyambut / malam demikian ramahnya./ ombak kecil dan malam yang kekal / membungkus tubuh sunyi para pecinta / di pematang itu.//

Ungkapan murni dari potensi liris jiwa murni yang bertemu dengan semacam denyar puitik dari alam hening yang menyapa pengembara peka yang ber-gegas dan sesaat istirah. Bagi orang kota yang sibuk momen itu tak melahirkan puisi, mungkin cuma dokumentasi fisiuk via kamera digital yang tak berbicara. Karena cuma menangkap yang fisik dan gagal mengungkapkan yang liris berdimensi diri sendiri dan yang puitis yang berdimensi suasana sekitar.

Di sana sebenarnya kekuatan Timur. Lihat, misalnya, puisi-puisi “Rhytm of The Birds’, “Suara-suara Itu”, “Ning” , “Sumenep”, “Pada Satu Ketika” “Angin tak Mampir Di Sini”, “Dari Pantai Kecil Ini:, sampai rangkaian puisi kecil dalam satu judul – misalnya “Ketika Wekker Tentang Kalender”, yang didedikasikan buat Sapardi Djoko Damono, “Enam Perihal Hujan”, dan “Enam Sajak Cinta Tanpa Judul”. Dan tentu saja model liris yang diungfkapkan dengan bentuk prosaik yang memadat ke samping seperti puisi-puisi “Aku Ingat Namamu” dan “Aku Lupakan Namamu”.
***

SUASANA alam yang seperti mengundang kita untuk mengunjungi pedalaman (Madura) dan menemukan keheningan yang menyejukkan, seperti yang diungkapkan di dalam puisi “Pada Satu Ketika” berikut ini: pada suatu senja tembaga, burung-burung terbang / dari utara ke selatan. lepas tualang, pulang mereka / ke sarang. matahari melambai ke tepi, beghitu / perlahan mengemas waktu satu-satu.// pada satu malam yang tua, juga angin yang tiada: / rindu telah menjadi bahasa yang disulam warna-warni / dan berenda-renda. // kesunyian yang bening, kecemasan yang sempurna. //

Sebuah ungkapan momen sesaat yang liris, puitis dan sekaligus hening karena tampil bening prismatik. Sebuah puisi yang jadi aneh di tengah kerumunan puisi dengan bahasa macam-macam, diksi kata yang penuh idiom dan simbol yang hiruk pikuk, rumit-gelap, dan sensional penuh denyar syahwat. Tapi siapa yang peduli ketika zaman dipenuh dengan segala yang gebalau dan orang-orang yang datang-pergi tergesa-gesa tanpa basa-basi – tidak punya waktu luang untuk merenung dalam tradisi retreat.

Di dalam satu segi, tradisi perpuisian macam itu menyebabkan puisi dan penyairnya ditinggalkan trend, dan karenanya lupa dikaji potensinya. Itu tragedi dari seorang Timur. Meski waktu satu saat akan menerangkan siapa dirinya.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *