Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Gagasan dan gerilyamu adalah situs yang bergerak. Maka, teruslah berjuang kawan! Revolusi belum selesai…. (Fahrudin Nasrulloh, via sms)
Dulu, kawan pernah menuliskan kisah saya di koran JP, namun maaf karena tulisan ini takkan sampai ke Jawa Pos. Tentu dapat difahami, karena kualitas tulisan saya tak sebanding dengan guratan kawan. Tetapi harapan mengembangkan situs sastra-indonesia.com &ll itu, agar coretan saya bisa dibaca orang lain, atau minimal sebagai dokumentasi pribadi.
Dan siapa tahu di pekuburan nanti, tertera kalimah ?telah bersemayam jasad seorang penyair Nurel Javissyarqi.? Kalaulah dimasa hidup kini, belum berani menyandang prediket penyair atau sastrawan, karena tulisan saya tak pernah nongol di koran-koran bergengsi, maupun Horison. Namun saya nikmati kesendirian ini. Meski pernah suatu malam, saya tulis kata-kata sebentuk kesaksian, yang bertitel; KESAKSIAN SEORANG BODOH
Bagaimana ia menulis sajak-sajak
Apakah mereka tahu?
Ia di ambang kegilaan berkali-kali
Mendekati kematian tak henti-henti
Merasakan orang-orang edan senasib
Teman pengemis
Kelaparan
Tersiksa
Tak pedulikan ruang-waktu
Mencipta seribu sajak percobaan
Mencipta ratusan prosa bunuh diri
Mengkondisikan jiwanya tetap waras
Mengontrol kesintingan menjelma pencerahan
Menaklukkan ketaksabaran yang meledak-ledak
Kepala berkali-kali bukan lagi, tidak itu, kemana?
Surat ini tak banyak memberikan data semisal buku harianmu kawan. Namun coretan ini, dari kedalaman jiwa ingatan yang mengalami titik klimat kericuan. Semisal periode huru-hara, namun bukan hara-huru tanpa alas kaki pijakan -penalaran. Saya senantiasa pergunakan bahasa ruh atau bahasa yang menjelma, yang keinginannya banyak menghadirkan jejak peta, agar terasa bagimu. Sambil senantiasa menginsafi kekurangan diri, agar tidak menandaskan pribadi kata-kata tanpa akar kerja yang kukuh.
Berkali-kali saya diguncang rasa bergetar cemburu olehmu, serta kawan-kawan lain di persimpangan jalan yang bercabang. Memang sebuah awal keraguan dan diragukan, dekat dengan cemooh serta cibiran. Namun ketika bergerak terus; siapa yang meragukan orang pincang sanggup berlari? Seorang buta pasti menabrak ke sana kemari, untuk menemukan kesadarannya yang hakiki. Begitu pun saya di dunia maya kali ini.
Awalnya merasa di alam antara, namun nyatanya tidak demikian. Sebutan hamparan ladang maya itu, ketika kita tak suntuk menyetubuhinya. Namun saat indra manusia yang mengagumkan bekerja dengan kesungguhan, niscaya terbaca realitas sejatinya.
Hampir setengah tahun lebih dan tentu tak kan berhenti menyibukkan diri. Menyuntuki dunia internet, (hitung-hitung saya toh pengangguran) dan tidak memiliki banyak peluang, atas pahatan tangan ini dilirik para redaksi. Mungkin perbahasaan saya kelewat mer-ruh, namun sedikit demi sedikit saya belajar apa yang dikatakan Voltaire, ?tulislah pendek-pendak, agar mereka mudah memahami.? Lantas saya pergunakan itu untuk mencerna bathin sendiri, juga bagi keanggunan imajinasi pihak pembaca.
Saya tak tahu persis apakah tulisan-tulisan saya terbaca orang lain. Setidaknya saya mencapai keasyikan belia, menemukan permainan baru sejenis petak-umpet dengan beberapa situs. Saya terus mempelajari dengan tanpa melupakan dunia sebelumnya, dan yang kini sedang berhimpit-hincit dengan mereka di dalam kaca jendela dunia.
Benar yang kawan katakan, situs ini bergerak. Berdialektik dengan masa, memperjuangkan waktu-waktu tenggang yang menegangkan pada batas-batas yang ditentukan oleh hayat. Dalam hal ini, saya masih mempelajari keterbatasan kerja. Dan terus menyerobot di sela-sela masa, untuk mendapati kehadiran bersinggah.
Jika kesusastraan bahasa kelembutan, maka perasaan sejati seharusnya berontak dari keadaan kemandekan, sebagai hakikat karya. Dunia bergerak sedemikian cepat, menjejak-melesat menguliti warangka sejarah. Maka sebilah keris benar-benar ampuh pamornya, atau sebaliknya kebobrokan itu tampak. Dan kita bisa menyinauhi kebodohan dari sana.
Tidakkah ketika keblongoran itu ditampakkan, akan melahirkan kesadaran rasa malu yang luar biasa. Inilah energi mengulang-balik, guna tidak terperosok ke dalam jurang yang serupa. Maka lelatihan itu, cahaya pengharapan akan keniscayaan yang menghampiri kita. Atau situs-situs yang bergerak-beredar itu, bukan situs kepurbakalaan yang mandek dari penelitian arkeolog yang salah jurusan, atau yang hanya menanti gajian. Tapi situs-situs itu menelanjangi diri sendiri, juga menyingkap bedak yang tebal pada wajah-wajah yang dulu berdahi cemerlang.
Saya senantiasa yakin kawan; orang-orang yang istikomah tidak luput dari berkah. Sebagaimana menonton pertunjukan teater yang kurang bagus, tidak lantas pulang menghakimi lewat anggapan kurang memuaskan. Tapi dengan melihatnya sampai tuntas, hingga para pemain membersikan panggung. Dan kita mendasarkan penelitian pada akhir yang seimbang, obyektif.
Atau jangan-jangan kawan juga tidak mau suntuk, akan jalannya pemikiran ini yang kelewat sundal, padahal yang terlontarkan adalah hasil jalan-jalan kita. Dari kerja ngelayap ke sana kemari itu, perbendaharaan kata-kata ini saya ungkap dengan emosional kelewat, menarik jiwa-jiwa berontak yang terkurang sistematis wacana muslihat.
Jika ingin menangkapnya kembali, kawan perlu mengasosisikan daya ingat untuk diperpadukan dengan jiwa nalar yang membludak, bahwa bara tetap bara. Sebab tubuh sekadar mempermudah mengindentifikasi atau menyebutnya. Sementara jiwa-jiwa terus menggelinjak merdeka, dengan tidak merasa ribet menjadi bagian -sejarah. Sebab kerja seorang bukan sekadar merakit kata menjelma bom waktu, atau tugu pencapaian. Tetapi yang bergulat dengan realitas menghadapi jamananya, mengupas kulit yang kaku, membebaskan diri tidak berkutat dalam anatomi tubuh. Namun sanggup keluar batas kepompong pembacaan obyektif dengan penuh kematangan kepak kekupu.
Kesusastraan mendudukan kalbu insani sesuai fitrohnya, dan membangkitkan jiwa-jiwa menghadirkan kesejatian, berdamai dalam khasana dunia. Ilmu ibarat sebilah keris, akan berfungsi jika perbendaharaan nilai hayat selalu digali. Guna tak keliru sasaran dalam menghujamkan keris ke tubuh lawan, salah menikam ke dada kawan.
Musuh itu ialah tradisi yang mencipta kemandulan di mana-mana, menekan dengan beberapa aspek aturan yang membuat langkah tidak nyaman, tidak lincah ataupun lugas bersetubuh, setelah mendapati pertahanan berupa kesadaran fitroh. Makna hidup sejati atas bangsa berbudi pekerti, menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Ini bukan satuan ideologi, namun leburnya jiwa-jiwa universal dalam setiap tingkap jenjang kehidupan sampai akhir jaman.
Jiwa ini kian menggilas kawan, sementara jemari belum menemukan kelincahannya melafalkan huruf demi huruf, maka bersabarlah meneruskan langkah-langkah. Ini semisal takaran kata, menyadari pentingnya kata-kata sejak melek membaca, tempat penuh manfaat bagi pelajar semacam kita.
Kata-kata ialah besi berdaya magnit, angka-angka memiliki makna di dalamnya, dirangkai laiknya adonan molekul. Yang mencipta asosiasi penalaran, tidak mandek dalam struktur menghakimi suatu nilai yang belum pasti. Serupa kelicikan mereka dalam menganalisa, atas kemauannya paling pribadi.
Maka bebaskan keliaranmu kawan, mengolah segenap pemikiran dari bidang-bidang yang kau miliki. Sebagaimana keberangkatan manusia itu berbeda-beda. Tidak bisa dipaksakan, sebab waktu senantiasa memaknai perubahan. Dan nalar-nalar kejujuran, jauh lebih berbekas, meski ditampilkan seorang autodidak.
Sekali lagi, bersabarlah membaca kawan, karena ketidaksabaran bukan para pembaca saya. Memang mekanik terstruktur itu kokoh dalam memperjuangnya kendali kerjanya. Namun jika diantaranya ada yang rapuh, akan merusak pada organ tubuh yang lain. Olehnya, tak selamanya yang bergaris terang itu kebenaran. Ketika tidak diawasi dengan teliti lebih dalam, pembengkokan tidak kentara bisa terjadi, ketika kita berpandangan lurut ke depan, tanpa mengindahkan tampilan yang lain.
Saya jadi teringat, seorang kawan pernah berkata; ?kalimah yang sulit dimengerti karena si penulisnya belum mampu mencerna jalan fikirannya.? Namun diam-diam dalam nalar saya berucap; ?tidakkah jalan pemikiran manusia naik-turunnya berbeda, dan dengan kondisi tertentu memiliki pemaknaan yang berbeda pula. Maka yang tampil ialah selera menyatakannya. Dan setiap penulis, memiliki para pembaca masing-masing. Tidaklah ini tergantung magnetik yang menggetarkan dirinya, yang tidak sampai melukai, kecuali iseng berkecup sayang.
*) Pengelana asal Lamongan, Jatim, Indonesia.