“Tubuhku adalah Kebudayaanku”
Sjifa Amori
jurnalnasional.com
KITAB puisi Binhad Nurrohmat, Kuda Ranjang (2004) dan Bau Betina (2007), marak diberitakan dan dipolemikkan di media massa. Penyair muda ini punya argumen logis dan menarik untuk menjelaskan karyanya yang berakar dari konsepsi trilogi tubuh. Setelah berdiskusi mengenai karya-karya penyair Afrizal Malna beberapa waktu lalu, Binhad juga memberikan waktunya untuk berbagi tentang dirinya kepada Jurnal Nasional. Berikut kutipan obrolan dengannya.
1.Eksplorasi tubuh dalam bersastra Anda awali pada pencarian akan akar kultural?
Latar kultur saya adalah Jawa. Tapi, (saya) lahir dan besar di Sumatera. Di lingkungan santri yang sangat tradisional. Setelah SMA, saya ke Yogya dan mulai bergaul dengan sastrawan. Sastrawan yang terkenal adalah penyair seperti Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Jadi, saya menulis seperti itu, namun tak juga merasa sesuai dengan hati saya. Tahun 2000 saya ke Jakarta. Wah, saya seperti menemukan wilayah yang sangat berbeda dengan Yogya, berbeda dengan kampung saya. Saya merasa sendirian. Lalu saya mempertanyakan kenapa ada sastrawan seperti Rendra, Sapardi, dan Goenawan yang bisa bersyair sampai sekarang. Ternyata karena mereka punya akar kulturnya, yaitu Jawa. Sedangkan saya yang juga orang Jawa nggak mengerti budaya Jawa.
Saya berontak dan mencoba mencari rumusan kebudayaan. Kalau konsep kebudayaan saya seperti mereka, saya pasti kalah. Akhirnya saya menemukan satu pengertian. Bahwa kebudyaan bagi saya adalah keintiman. Ketika Goenawan mau bermetafor, dia pakai wayang atau hikayat Jawa yang berasal dari alam bawah sadarnya. Itu karena dia dengan kultur Jawa. Nah, saya yang hidup berpindah-pindah dan tak punya kampung halaman ini memikirkan apa yang selalu saya bawa dalam hidup. Ternyata tubuh saya. Saya mandi, makan, tidur, dengan membawa tubuh saya. Kultur saya tubuh. Di situ saya menemukan kosmologi penciptaan. My body is my culture, kira-kira begitu. Tubuhku adalah kebudayaanku. Bahkan tubuhku adalah semesta.
2. Akhirnya konsepsi ini bisa diterima sampai-sampai diterjemahkan dosen asing?
Saya mulai bisa berpijak, Dimulai dari Kuda Ranjang yang terbit tahun 2004 sampai karya saya yang terakhir. Tubuh, dalam karya saya adalah dalam pengertian biologis, sosiologis, teologis. Dalam pengertian teologis, misalnya, saya melihat kita tidak bisa seorang hamba kalau tidak punya tubuh. Dengan tubuh kita bisa beribadah dan menolong orang. Dengan itu saya menemukan kosmos. Tubuh itu semesta.
Setelah buku ini terbit, secara tak sengaja saya berkenalan dengan Marshall Clark dari Deakin University, Australia. Dan ternyata dia baru beli buku saya dan merasa buku itu berbeda. Setengah tahun kemudian dia menelepon dan mau menjadikan karya saya untuk bahan simposium internasional di UI. Kuda Ranjang dijadikan sebagai studi kasus yang kemudian ia terjemahkan dan diterbitkan.
3. Alasan yang membuat dia tertarik mempelajari karya Anda?
Pertama, menurut pengakuan dia, karena ada isu maskulinitas di mana saya sebagai laki-laki berbicara laki-laki, tak seperti biasanya yang hanya membicarakan perempuan. Kedua, dia tertarik dengan latar belakang kesantrian saya yang tradisional tapi menulis puisi yang liberal. Ketiga, dia bilang saya membawa suatu kecenderungan lain. Awalnya saya agak pusing karena setelah diterjemahkan malah kayak buku biologi. Tapi, saya percaya karena bahasa Indonesia dia bagus. Dan saya kira, saya ingin buku saya dibaca oleh orang dengan kultur berbeda.
4. Awalnya sempat dikritik juga?
Ya pasti. Saya bisa menemukan konsepsi saya karena sudah mempelajari puisi Indonesia dari awal sampai akhir. Puisi Indonesia itu biasanya yang digarap adalah tema alam, Tuhan. Ternyata konsepsi saya belum digarap orang. Saya mengira-ngira, apa jadinya kalau ini dilemparkan? Ternyata ada yang menolak secara estetis dan moral.
5. Sulitkah memperjuangkan eksistensi, berhubung Anda mengusung sastra yang cenderung berbeda dari segi estetik dan moral?
Sudah risiko, saya harus kerja keras mengintroduksi itu. Makanya kalau diskusi saya selalu datang karena saya memberi tawaran. Saya masuk kampus dan pesantren. Awalnya mereka kaget membaca puisi saya, tapi ketika saya bacakan konsepnya, mereka mengerti. Bahwa dunia sehari-hari yang tidak bermakna bisa menjadi sangat estetis. Bagi saya tugas seorang penyair adalah memberikan cara pandang pada orang lain supaya bisa memperkaya realitas.
7. Realitas yang Anda “tangkap” sekarang?
Pertama adalah tubuh secara trilogi. Sekarang saya tertarik tubuh kekuasaan. Ternyata tubuh tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Tapi, metodenya agak lain untuk memahami ini. Karena saya punya tubuh, tapi saya tidak punya kekuasaan. Jadi menonton kekuasaan dari luar. Tubuh kekuasaan ini kemudian akan membentuk tubuh-tubuh individu. Tubuh dipolitisasi. Ini yang saya ungkapkan dalam buku saya Demonstran Sexy. Tubuh secara kolektif. Saya sedang menatap tubuh di luar saya. Saya belum pernah memublikasikan puisi dalam Demonstran Sexy. Ini memang agak lain. Puisi politik sekarang cenderung menonjok keluar. Ngomongin kekuasaan negara dan sebagainya. Saya mencoba ngomongin keluar sekaligus mengkritik seniman. Saya bayangkan kesenimanan seperti negara itu sendiri, yang juga punya kelemahan. Makanya, di situ ada bab Kampanye Penyair yaitu kritik tentang kesenimanan dan ada bab di mana saya ngomongin tentang kondisi sosial politik.
8. Kalau sebuah negara punya banyak kelemahan, apakah senimannya juga begitu?
Saya kira, apa yang terjadi dalam kekuasaan itu cerminan masyarakatnya. Karena orang-orang yang ada di kekuasaan itu bersumber dari masyarakat. Dan itu juga berarti bahwa ada cara berpikir politis dalam kesenian, baik yang sifatnya hierarki, relasional, bahkan transaksi.
6. Bagaimana kalau Anda lalu dibilang penyair yang tercerabut dari akar kebudayaan?
Nggak masalah. Saya punya konsep tersendiri tentang kebudayaan. Bahwa kebudayaan itu harus intim. Saya nggak bisa intim dengan musik karena selalu berganti. Berbeda dengan wayang yang masih bertahan hingga kini. Kebudayaan sekarang itu kan serba pendek usianya. Sedangkan tubuh saya itu nggak akan hilang selama saya masih ada di sini. Saya menjadikan itu sebagai akar kultur saya yang personal. Sangat individual. Mungkin orang akan bilang saya tercerabut dari akar kebudayaan kolektif.
9. Anda termasuk penyair yang “gaul” ya?
Ya, ada memang pekerjaan saya yang sifatnya di balik layar. Saya aktif dalam kegiatan-kegiatan sebagai pembicara, pengedit. Saya juga punya forum, Sastra Kecapi. Yaitu diskusi setiap 2 bulan. Itulah aktivitas saya di luar menulis. Karena seniman harus punya disiplin sebagai seniman dan disiplin artistik. Dan harus mengolah batinnya sehingga tidak hanyut oleh kecenderungan awam karena dia tahu itu bukan yang sesungguhnya.
Jadi, saya masuk dalam kenyataan kemudian membawanya ke “kamar” kepenyairan saya. Saya mengangkat aura kenyataan dengan menyentuh “dia”. Saya ngomong tentang tubuh, saya harus tahu tubuh secara keilmuan, filosofis, dan secara empirik. Tugas penyair adalah memahami kenyataan untuk mengenal sebagaimana awam kemudian menghayati lebih tinggi lagi hingga sampai ke intinya. Penyair seperti itulah yang akan dikenang zaman.