Dua Laki-Laki

Teguh Winarsho AS
kompas.com

“IA belum datang!” Rasto mendengus. Malam gelap tanpa bintang dan langit cuma bentangan kain hitam. “Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!” Rasto menyandarkan punggungnya pada tiang listrik. Matanya merah. Sementara jalan di depannya telah sepi sejak satu setangah jam lalu.

Hanya perempuan-perempuan dengan bedak tebal, parfum menyengat, dan tawa melengkingsesekali masih lewat. Rasto mengeluarkan botol minuman dari balik jaket dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Waktu bergerak lambat seperto tusukan belati di jantung Rasto. Dan nyamuk-nyamuk itu telah menjadi begitu buas membuat tubuhnya bentol-bentol merah. Membuat kepalanya terasa berat dan sesekali berputar. Membuat darahnya mendidih seperti terbakar. Membuat suasana malam menjadi sangat buruk dan celaka. Mestinya malam ini ia enak-enak di rumah, tidur atau nonton televisi. Tapi sudah hampir tiga jam ia berdiri di pinggir jalan, seperti gelandangan. “Ia belum datang!” Lagi Rasto mendengus, geram. Matanya semakin merah. Nafasnya sengal.

Sebuah mobil patroli tiba-tiba melintas di jalan depan. Rasto merunduk menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik. Sudah lama ia malas berurusan dengan makhluk-makhluk berseragam itu. Rasto melihat ada dua orang di dalam mobil itu. Seorang bertubuh gemuk dan seorang lagi kepalanya botak. Rasto terus merunduk hingga mpbil itu berlalu dan lenyap ditelan gelap.

“Ia belum…,” Rasto tak sempat meneruskan kalimatnya. Matanya tiba-tiba mengerjap, menyala. Bibirnya mengurai senyum. Di kejauhan tampak sosok manusia tengah berjalan ke arahnya. Rasto dengan cepat bisa mengenali sosok itu. Rasto bahagia. Matanya berkilat-kilat. Sejenak Rasto mengusap pangkal belati di balik jaketnya. Masih tersimpan rapi. Rasto segera menghadang sosok itu. Ia tak punya waktu banyak. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya!

Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Angin malam terasa dingin menyentuh kulitnya, tapi kemarahannya tak mungkin bisa ditunda. Rasto terus berdiri tegak sementara sosok itu kian berjalan mendekat. Perlahan-lahan Rasto meraba belatinya. Ia akan mencabut belati itu pada saat sosok itu berdiri persis di depannya. Ia akan menghujamkan belatinya berkali-kali ke tubuh sosok itu hingga lusa ia akan membaca berita koran tentang seseorang yang terbunuh di pinggir jalan; seorang laki-laki yang tubuhnya rusak oleh tikaman belati! Tapi…. Tapi…. Mendadak rasto beringsut mundur, menggosok-gosok mata. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!

“Ia belum datang!” Rasto mendesah kembali menyandarkan punggungnya pada tiang listrik.
Mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Sebuah mobil patroli kembali melintas. Mobil yang sama. Juga orang yang sama. Rasto segera merunduk, menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik. Tapi, entah, tiba-tiba Rasto mulai menimbang-nimbang kekuatannya untuk melawan dua orang berseragam itu. Ia bosan terus menerus dicekam ketakutan dan harus bersembunyi jika mobil patroli itu melintas di depannya. Itu pekerjaan lain di luar perhitungannya. Ia akan merasa tenang jika tak ada orang yang mengganggu pekerjaannya.

Seperti tahu ada orang bersembunyi di balik tiang listrik, mobil patroli itu berhenti mendadak. Seorang polisi turun menghampiri Rasto. Rasto tak bisa menghindar. Rasto ke luar dari tempat persembunyian, berdiri, sedikit tersenyum, menyambut kedatangan polisi itu. Sesaat Rasto sempat mmeraba pangkal belati di balik jaketnya. Masih tersimpan rapi. Tapi pangkal belati itu kini telah menjadi begitu dingin seperti membangkitkan sesuatu. Sesuatu yang juga dingin dan menegangkan.

Rasto pernah merasakan perasaan semacam itu entah berapa tahun lalu. Rasto akan meraih belati itu pada saat polisi itu menggeledah dirinya. Ia akan menghujamkan belatinya ke perut polisi itu.

Polisi itu menyuruh Rasto mengangkat tangan dan berbalik menghadap tiang listrik. Rasto sempat melihat polisi itu membawa pistol. Tapi Rasto tidak gentar. Ia dengan mudah bisa mengelabui polisi itu dengan mengajak bercakap-cakap atau memberinya beberapa batang rokok, dan pada saat bersamaan, ia akan menghujamkan belatinya ke perut polisi itu. Rasto sudah berbalik sembari mengangkat tangannya. Polisi itu lantas menggeledah dan hanya mendapatkan sebotol minuman yang hampir habis, lalu melemparkannya ke selokan. Rasto lega. Belati itu tersembunyi rapi.

Dengan langkah gagah polisi itu kembali ke mobilnya. Pada saat bersamaan Rasto meraba belatinya. Ia akan menusuk punggung polisi itu dari belakang. Mungkin hanya perlu empat atau lima tusukan dan lusa ia akan membaca berita di koran tentang seorang polisi yang terbunuh di pinggir jalan. Tubuhnya rusak penuh tikaman belati.

Pelan-pelan Rasto mulai mengeluarkan belatinya. Ujung belati itu tampak berkilat-kilat di matanya. Rasto berjalan menyusul polisi itu. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Rasto sadar, ia hanya bisa membunuh satu polisi itu, sementara polisi satu lagi akan menembaknya dari dalam mobil. Cukup satu peluru di batok kepalanya dan ia akan tamat! Rasto tak mau mati konyol sebelum pekerjaannya selesai. Ia biarkan polisi itu masuk ke dalam mobil yang langsung menderu meninggalkan dirinya.

Rasto kembali menyandarkan punggungnya pada tiang listrik. Menatap langit di atas yang belum berubah.

“Ia belum datang….” Untuk kesekian kalinya Rasto melontarkan kalimat sama. Hanya kali ini datar tanpa tekanan. Mungkin juga tanpa emosi. Tapi sesekali ia masih meraba pangkal belati di balik jaketnya. Sesekali pula matanya masih menatap tajam kegelapan.

Tapi waktu enggan berhenti. Waktu terus berlalu dan berlalu hingga pagi tiba dan jalan di depannya menjadi ramai oleh kendaraan dan juga orang-orang yang berjalan tergesa-gesa. Rasto buru-buru meninggalkan tempat itu.
***

“IA belum datang!” rasto mendengus. Geram. Malam remang seperti kuburan tua. “Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!”

Rasto menyandarkan punggungnya pada tiang llistrik. Jalan di depannya telah sepi sejak ia datang. Entah ke mana perempuan-perempuan dengan bedak tebal dan parfum menyengat yang biasa hilir mudik, mencari laki-laki hidung belang.

Rasto mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Menit-menit terus berlalu seperti menunggu ajal tiba. Dan dingin udara malam telah membuat kemarahan Rasto yang terpendam sekian malam kembali menganga. Membuat kepalanya berdengung-dengung seperti habis ditimpuk batu. Tapi sudah hampir empat jam ia berdiri di situ.

“Ia belum datang!”

Sebuah mobil patroli polisi melintas pelan di depan Rasto. Rasto heran, mobil patroli itu melintas malam-malam saat orang lain tidur nyenyak.

Rasto segera menjatuhkan tubuhnya di atas tanah, tiarap. Kemarin malam ia gagal menghabisi mahkluk-mahkluk berseragam itu. Rasto melihat ada dua orang di dalam mobil itu. Seorang bertubuh kurus dan seorang lagi mengenakan topi. Rasto terus tiarap hingga mobil itu berlalu dan lenyap ditelan gelap. Rasto kemudian berdiri lagi. Menyandarkan punggungnya pada tiang listrik.

“Ia belum…”

Kalimat itu terputus begitu saja. Secepat kilat Rasto meraba belatinya. Kali ini ia tak mungkin salah. Ia dapat mencium bau tubuh sosok itu. Hidungnya tak mungkin menipu. Rasto menghadang sosok itu. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya sebelum mobil patroli polisi datang.

Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Kemarahannya sudah tak tertahankan. Sosok itu terus berjalan mendekat.

Perlahan-lahan Rasto meraih belatinya. Ia akan menhujamkan belatinya ke tubuh sosok itu, berkali-kali, hingga darah muncrat ke udara dan lusa ia akan menyaksikan berita di televisi tentang seseorang yang terbunuh di pinggir jalan. Tapi…. Tapi…. Mendadak Rasto gemetar lalu menyimpan belatinya. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
***

“IA belum datang!” Mata Rasto berkilat. “Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!”

Rasto menyandarkan punggunngnya pada tiang listrik. Mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Itu adalah botol terakhir miliknya. Rasto terus menunggu. Tapi menit-menit berlalu hampa. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Malam masih gelap dan sepi seperti malam-malam sebelumnya.

Tapi mendadak mata Rasto menyala. Cepat ia meraih belatinya. Ia akan menusuk sosok itu begitu sampai di depannya. Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Ia sudah tak sabar lagi. Sosok itu terus berjalan mendekat. Rasto menggenggam belatinya kuat-kuat. Ia akan menusukkan belatinya ke tubuh sosok itu. Berkali-kali. Dan besok pagi-pagi sekali penduduk kota pasti gempar menemukan seorang laki-laki terkapar di pinggir jalan. Tapi mendadak Rasto menggigil. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
***

RASTO berdiri di pinggir jalan. Gerimis mulai turun. Rasto memperhatikan orang-orang yang berjalan tergesa-gesa di depannya. Beratus-ratus orang lewat di depannya. Tapi orang yang ditunggunya tak kunjung darang. Rasto menelan ludah. Tenggorokannya kering. Tapi ia sudah tak punya minuman lagi. Jaketnya kosong, hanya berisi belati. Sesekali ia meraba pangkal belati itu dan ia merasakan darahnya berkelupuk, mendidih.

“Apakah ia telah menjadi seorang pengecut?!” Rasto geram. Menyandarkan punggungnya padatiang listrik. Perutnya mulai berkerucuk lapar.

Sejak kemarin perutnya memang hanya berisi minuman. Dan malam ini ia benar-benar merasakan kepalanya pening. Tubuhnya menggigil gemetar panas dingin seperti terserang demam. Sementara detik terus beringsut menjadi menit dan menit berputar menjadi jam. Waktu berlalu sia-sia! Tubuh Rasto tiba-tiba rubuh ke tanah hanya beberapa menit setelah sebuah mobil patroli polisi melintas di depannya. Hanya beberapa detik setelah hujan turun deras disertai kilat menyambar-nyambar. Tak ada yang mengetahui keberadaannya. Seorang pun!

Sementara di sebuah sudut jalan lain, tak jauh dari tempat itu, tampak beberapa orang mengerubungi sosok laki-laki yang terkapar di pinggir jalan. Tak ada luka pada tubuh laki-laki itu. Hanya wajahnya mulai pucat membiru. Jelas laki-laki itu belum lama mati. Orang-orang menduga laki-laki itu mati kedinginan. Tapi orang-orang terhenyak setelah mengetahui laki-laki itu menyembunyikan pedang di balik jaketnya.

“Sudah beberapa malam. Ia seperti menunggu seseorang….”
***

Leave a Reply

Bahasa ยป