Rendra, 70 Tahun

Goenawan Mohamad
http://www.korantempo.com/

Rendra adalah sebuah pergulatan yang penting dalam sejarah pemikiran Indonesia. Hidupnya yang kini mencapai 70 tahun terbentang dalam sebuah masa yang panjang di mana percakapan, gagasan, dan kekuasaan bentur-membentur. Dan ia ada di dalam perbenturan itu, ia adalah perbenturan itu, sebagai pelaku, saksi, dan juga penderita.

Tapi baiklah saya mulai dengan mengatakan apa yang sudah umum diketahui: Rendra, sejak ia berangkat sebagai penyair, adalah sebuah suara tersendiri.

Ketika saya masih seorang murid sekolah menengah pertama pada sekitar tahun 1955, saya baca sajak seperti Litani Domba yang Kudus dengan tercengang dan terpesona. Sajak ini melantunkan pengulangan yang berbunyi seperti dalam doa, tapi juga seperti permainan anak-anak yang tangkas, dengan imaji yang datang dari khazanah yang tua namun juga terasa akrab.

Ia sungguh berbeda dari corak puisi umumnya setelah Chairil Anwar. Kita bisa meletakkan sajak-sajak Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Mansur Samin–untuk menyebut beberapa saja penyair dari masa tahun 1950-an–dalam satu himpunan: umumnya karya mereka terdiri atas puisi liris yang bergumam dari dalam diri, remang dan terkadang gelap. Tapi sajak-sajak Rendra tak demikian. Puisi Rendra kuat dalam kecenderungan naratif, lincah seperti bermain-main, dan cerah meskipun bukan tanpa tata warna bunyi-bunyi yang dramatik.

Saya tak hendak mengulang apa yang sudah sering diuraikan tentang posisi Rendra dalam kesusastraan Indonesia. Saya hanya hendak bertolak dari apa yang saya lihat sebagai corak puisinya untuk melihat ketegangan dalam pandangan Rendra tentang dunianya.

Orang mengatakan bahwa corak puisi itu mengingatkan kita akan balada Federico Garcia Lorca, tapi juga bahwa di dalamnya bergema lagu dolanan anak-anak dalam bahasa Jawa. Bagi saya itu menunjukkan bahwa tidak seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru memilih laut dan meninggalkan daratan, Rendra–seperti Lorca, seperti dolanan anak-anak dusun–lebih akrab dengan lanskap yang terdiri atas bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam buku Empat Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sahabatnya, D.S. Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bahwa ia ingin “tetap bergantung pada daun-daun dan air sungai”.

Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sani–mungkin karena mereka datang dari lingkungan yang terbentuk oleh adat merantau–laut adalah kemerdekaan, meskipun itu berarti menghadapi bahaya dan kesendirian. “Apa di sini,” kata Rivai Apin memaki tanah asal dalam salah satu sajaknya, “batu semua!”

Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggambarkan diri sebagai kelasi yang hanya singgah di bandar asing dengan perempuan yang cukup dipeluk untuk beberapa saat. Dibesarkan di Surakarta, dalam keluarga guru yang beragama Katolik dan belajar di sekolah Katolik, pada mulanya ia bahkan memberi kesan menampik apa yang “jalang” yang melekat dalam citra kepenyairan Chairil Anwar.

Pada tahun 1952, ketika ia berumur 17 tahun, sebuah lakon kecil yang ditulisnya terbit dalam bentuk stensil, berjudul Goncangan Pertama. Lakon ini berisi anjuran moral menurut ukuran sekolahan, di samping sedikit tembak-menembak, dan dengan tokoh yang jahat berhadapan dengan tokoh yang baik. Disutradarai sendiri oleh Rendra yang masih duduk di SMA Katolik Bruderan, sandiwara itu “dipersembahkan kepada masyarakat dan pemuda”.

Pada tahun 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di hadapan “sastrawan-sastrawan muda Surakarta”, ia mengecam dengan tajam para seniman yang meniru-niru “jalang”-nya Chairil Anwar. Para pembuntut macam itu, kata Rendra, hanya “menjalang dengan otak babinya”.

Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar. Terhadap sikap Chairil sendiri ia menarik garis. “Konsekuensi dari ajakan melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada Kawan,” demikian kata Rendra, “adalah penghapusan undang-undang, yang berarti lebih dahsyat dari bom atom.”

Pendirian seperti itu kemudian memang berubah; kita kemudian mengingat Rendra sebagai perumus teori yang menarik tentang “orang urakan”: orang-orang yang, seperti Ken Arok dalam sejarah, berada di luar ketertiban hukum, bahkan merupakan antitesis dari ketertiban sebagai ideologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu, para “urakan” justru berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembebasan.

Jika kita ikuti pandangan Rendra selanjutnya, jelas kiranya bahwa pada akhirnya posisi “urakan” baginya lebih penting dan lebih menarik ketimbang posisi sebagai pembela ketertiban. Meskipun ia tak pernah memaki tanah asal sebagai “batu semua!” sebagaimana Rivai Apin, ia tidak pernah tergerak untuk menyakralkan tempat tinggal, rumah, dan negeri asal.

Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tidaklah mesra. Sangat terkenal kata-katanya bahwa kebudayaan Jawa adalah sebuah “kebudayaan kasur tua”: sebuah tempat yang mandek dan hanya enak buat tidur nyenyak. Bagi Rendra, seperti dikutip majalah Tempo pada tahun 1971, banyak orang Jawa sekarang hanya tertarik menghayati masa kini dan kelazimannya “seperti orang yang hanya menunduk ke bumi dan perkembangan pribadinya terganggu”.

TAK dapat dikatakan bahwa dengan demikian Rendra tak menunjukkan ambivalensinya terhadap masa lalu. Ia melihat kebudayaan Jawa yang sekarang dikenal adalah “kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira dimulai abad ke-18 atau akhir abad ke-17”. Dan itu, kata Rendra, “kurang-lebih sama tuanya dengan kebudayaan Amerika Serikat.” Lebih berarti ketimbang itu adalah masa lalu yang lain–yang menurut Rendra dilupakan orang Jawa. Orang Jawa tak tahu bahwa dalam “tembang-tembang kuno ada ajaran yang mengajak kita untuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk mengada”.

Rendra tak menyebut dengan jelas “tembang kuno” mana yang mengajarkan demikian. Ia hanya menyebut kisah Dewa Ruci, kisah tentang Bima yang mencari dan kemudian menemukan “dirinya sendiri”. Agaknya yang penting di sini bukanlah tradisi itu yang jadi soal, tapi kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebudayaan tradisional yang ada, kata Rendra, “individu belum diketemukan.”

Pada tahun 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota New York, dari mana beberapa puisinya yang memukau, yang terkumpul dalam Blues untuk Bonnie, ditulis. Dalam sepucuk surat yang ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia mengatakan, “Perubahan terjadi di dalam saya…. Adapun yang paling memberikan kesan pada kesadaran saya dewasa ini ialah ilmu pengetahuan. Saya merasakan ini sebagai imbangan yang sehat untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya.”

Dari sini pula ia berbicara untuk melaksanakan “firman modernisasi” dan bersuara tentang keharusan orang Indonesia kini untuk “melawan alam”. Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama para kawan dan muridnya di Bengkel Teater Yogya, memperingati Hari Sumpah Pemuda pada tahun 1969. Ia berpidato dengan teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaimana di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan manusia, dan bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang ditentukan perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Individu tak bisa merdeka, katanya, karena seluruh hidupnya hanya merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah melawannya, kata Rendra.

DARI sini tampaklah benang merah yang menghubungkan Rendra dengan pemikiran yang dibawakan oleh para sastrawan pada tahun 1930-an, terutama oleh S. Takdir Alisjahbana, dan kemudian dilanjutkan oleh Soedjatmoko, ketika ia menulis esainya yang terkenal tentang mengapa harus ada konfrontasi dengan faktor-faktor kebudayaan yang menghambat kebudayaan. Dengan Rendra, “firman modernisasi” berlanjut.

Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan oleh Sanusi Pane, seorang penganut theosofi yang memuja masa lalu India, punya sisi gelapnya sendiri. Tak ada yang baru di sini: Max Weber meramalkan bahwa “akal instrumental” yang memacu dunia modern pada akhirnya akan membawa manusia ke dalam “kerangkeng besi”. Mazhab Frankfurt melihat “Pencerahan” yang membawa “firman modernisasi” pada akhirnya membawa penindasan.

Tapi bila Sanusi Pane berangkat dari gambaran tentang Timur yang diidealisasi oleh kaum Orientalis Eropa, dan akhirnya, sebagai konsekuensi sikap “anti-Barat”, penyair Madah Kelana itu memuja semangat Jepang yang fasistis, kaum inteligensia Indonesia yang hidup dalam dasawarsa 1970-an dan 1980-an punya acuan lain–yakni kenyataan yang mencemaskan ketika “firman modernisasi” berlangsung dalam bentuk pembangunan ekonomi yang diterapkan Orde Baru.

Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh oleh Schoemacher, dan Schoemacher yang terpengaruh oleh Buddhisme, berbicara tentang perlunya teknologi madya. Ini juga masa ketika Arief Budiman mengecam dengan mengedepankan teori ketergantungan. Inilah juga masa ketika model pembangunan gaya RRC, yang sosialistis, dipuji-puji; saya ingat bagaimana M. Dawam Rahardjo menyebut Komune Dazhai di Cina sebagai model “baitul amal”. Dan inilah masa ketika Rendra mementaskan karya-karyanya yang kontroversial, Mastodon dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga.

Dalam kedua lakon itu, tampak ada perubahan yang tajam dari seruan “modernisasi” dan “melawan alam” yang ditulisnya pada akhir tahun 1960-an. Saya tidak tahu, adakah perubahan itu mendasar sifatnya dan akan menetap. Dunia sedang bergeser lagi. Semangat teknologi madya yang merupakan semacam Gandhisme baru tampaknya tak bergema lagi, mungkin karena dari ide itu tak ada jawaban bagaimana negeri-negeri miskin akan bertahan menghadapi negeri yang memakai teknologi tinggi. Teori ketergantungan jelas sudah ditinggalkan para teoretikusnya sendiri. Pembangunan sosialis model RRC ternyata gagal, dan Komune Dazhai ternyata proyek mercusuar yang palsu. Cina memasuki dunia pembangunan borjuis dengan gegap-gempita dan mencengangkan dunia.

Rendra belum menjawab pergeseran dunia ini. Tapi ia memberi kita sebuah kearifan yang boleh dibilang inti dari “firman modernisasi” yang sering dilupakan. Kearifan itu tersirat dari kata-katanya: “Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang bertanya pada kehidupan.”

Leave a Reply

Bahasa ยป