Idris Pasaribu
http://www.sinarharapan.co.id/
Angin Danau, masih terus mengelus-elus dedaunan bunga-bunga liar yang tumbuh di tepian danau. Seakan mengerti, bagaimana teriknya mentari siang itu. Walau orang-orang yang duduk di bawah tenda, seperti melupakan teriknya mentari, karena elusan angin danau.
Suara gondang sabangunan masih juga berkumandang. Sesekali suaranya tertelan angin di kejauhan, namun sesekali terdengar menyejukkan hati. Seakan membuat laju kapal motor kayu, terasa begitu lamban ingin cepat sampai di tepian danau. Para kerabat semua sudah berkumpul untuk peresmian sebuah rumah untuk ditempati.
Begitu turun dari kapal, langsung kaki terhentak dengan sendirinya, seirama ritme hentakan pukulan gondang. Para kerabat yang hadir, sudah mengelilingi halaman. Satu keluarga mendapat sebuah sapa. Sapa adalah piring yang terbuat dari kayu. Ada sapa besar untuk mampu menampung lima sampai enam orang untuk memakan makanan dari dalamnya. Seonggok nasi dan lauk-pauknya sudah terangkum dalam sapa. Dari sapa itulah mereka makan bersama. Sapa, sebuah gambaran kebersamaan sebuah keluarga, untuk makan bersama dari wadah yang sama.
Ama Ricardo, sengaja membuat pesta besar dalam peresmian rumahnya. Rumah kebanggaannya, yang semua terbuat dari kayu. Berbeda dengan rumah Ama Togar. Rumah beton dua lantai. Bertiang tinggi ala Spanyol, penuh dengan pernak-pernik modern, sesuai pesan almarhum ayahnya.
“Roh ku, aku bersamamu, ketika kau memulai membangun rumah adat. Adakan pesta peresmiannya sesuai dengan hukum adat yang berlaku bagi adat kita,” pesan almarhum ayahnya.
Empat ekor babi yang dipilih tanpa cacat, disembelih. Rumah yang dibangun dengan mengambil kayu jenis pohon jior dari ladang yang ditanami oleh almarhum ayahnya, dua puluh lima tahun lalu.
Batang jior yang sudah tua itu dipilih untuk menjadi pasak dan tiang-tiang rumah. Pohon-pohon jior itu digergaji untuk dijadikan papan sebagai dinding.
Ama Ricardo membangun rumah tradisional itu dengan segenap hatinya. Diiringi dengan doa yang tiada henti-hentinya. Bersama kedua anaknya dia menebangi pohon jior dan mengangkatnya naik truk ke kampung. Setelah menjadi tiang dan papan sesuai ukuran, Ama Ricardo membenamkannya ke dalam lumpur berbulan-bulan lamanya. Kemudian papan dan tiang itu dicuci bersih, lalu disimpan di tempat penyimpanan yang aman dari hujan.
Bersama kaum tua dan kerabat, mereka membangun rumah itu. Tidak sekali dua kali Ama Ricardo diwajibkan memotong babi sebagai persyaratan. Saat membuat relief-relief yang mereka sebut gorga sudah ditentukan, mereka harus menyembelih lagi seekor babi. Warga kampung juga ikut dipanggil memakannya.
Belasan batu bulat, dipilih dari batu yang dianggap sudah berusia tua, diangkat dari lereng-lereng gunung. Belasan batu bulat itu diletakkan di atas tanah yang keras. Di atas batu-batu bulat yang keras itulah, tiang-tiang bangunan diletakkan. Tiang-tiang bangunan sengaja tidak ditanam ke dalam tanah.
“Horas… horas… horas!!!” demikian para hadirin mengibas-ngibaskan ulos yang mereka sandang.
Derngan ucapan horas tiga kali, sebuah pertanda, pesta peresmian rumah baru sudah usai. Para pengetua adat meminta agar musik gondang sabangunan kembali ditabuh dan ditiup sebagai acara perpisahan.
“Tuak belum habis. Tak salahnya kita mereguk tuak ini dengan beberapa buah tarian,” kata salah seorang yang dituakan. Semua setuju. Ama Ricardo juga setuju.
Ketika menari tarian olop-olop, Ama Ricardo meneteskan air matanya. Dengan khusyuk dia panjatkan doanya: “Terima kasih, Tuhan. Engkau telah kabulkan cita-cita ayah dan ibuku untuk membangun rumah adat, sebagai pelestarian budaya kami.”
Mulanya Ama Ricardo sedikit khawatir. Saat orang mulai merobohkan rumah-rumah adat yang sudah tua dan menggantinya dengan bangunan modern, pada saat itu pula, Ama Ricardo membangun rumah adat untuk tempat tinggal mereka. Susah bagi Ama Ricardo meyakinkan anak-anaknya untuk membangun rumah itu. Keempat anaknya menginginkan rumah mereka dibangun mengikuti bangunan modern. Ala Romawi kuno atau ala Spanyol dengan tiang-tiang ala antik. Ama Ricardo bersikukuh untuk mengikuti saran almarhum ayahnya. Terlebih ratusan pohon jior yang sudah ditanam ayahnya lebih 25 tahun lalu di perladangan mereka, diperuntukkan membangun rumah adat.
“Dulu aku sangat miskin, hingga tak mampu membangun rumah adat. Dengan segala tenagaku, aku menyekolahkanmu dan menanami pohon jior. Jangan kau kecewakan aku,” begitu pesan almarhum ayahnya.
Perbedaan antara Ama Ricardo dengan Ama Togar memang seperti bumi dan langit. Di kampung itu, keduanya selalu bersaing. Bersaing dalam dagang, juga bersaing dalam pertanian, bahkan bersaing dalam prestise. Ama Togar juga dikenal sebagai tokoh dalam partai politik. Dia sangat ingin mengambil simpati masyarakatnya.
Dua bulan lalu, Ama Togar meresmikan rumahnya yang dua lantai itu dengan mendatangkan dua grup Trio penyanyi dan satu grup band dari Jakarta. Dia memotong seekor kerbau yang dimasak oleh sebuah perusahaan catering, juga didatangkan dari Medan. Ratusan piring dan gelas disewa dari Medan. Acara makannya, juga prasmanan, ambil sendiri. Boleh bertambah sesuka hati. Selain sop dan gulai serta rendang kerbau, juga ada masakan lainnya.
Setiap tamu boleh mengambil buah sebagai pencuci mulut sepuas-puasnya. Ada jeruk, marquissa, dan segala buah lainnya. Tamu juga bebas meminta es krim dengan berbagai rasa. Tinggal minta. Undangan, terasa sangat senang sekali, menghadiri peresmian rumah baru Ama Togar. Selain, makanan yang boleh ambil sebebasnya, yang hadir juga boleh meminum bir sepuas-puasnya sampai mabuk.
Tak pernah di kampung itu ada pesta meresmikan rumah baru, acaranya sampai tengah malam. Biasanya, berlangsung sejak pagi pukul 10.00 sampai sore saja. Beda dengan acara peresmian rumah Ama Togar. Dalam benak Ama Togar, acara harus jauh lebih mewah, lebih wah, dari acara yang dibuat oleh Ama Ricardo yang kampungan. Zaman sudah modern, tapi masih membangun rumah kuno. Musik kuno, hidangan kuno dan segalanya yang masih kuno.
Ketika siang, Ama Togar memang memakai grup musik tiup untuk mengiringi pesta adat peresmian rumah barunya. Seusai acara adat pada sore harinya, melalui sound system, Ama Togar dengan lantang mengumumkan, kalau malamnya sejak pukul 08.00 akan ada acara makan bersama yang disebut resepsi. Resepsi memasuki rumah baru itu, akan menghidangkan makanan khas, hidangan rumah makan yang terkenal di Medan. Selain itu, para tamu akan diiringi oleh dua grup Trio dari Jakarta yang sangat terkenal, juga sebuah grup band yang sedang populer. Pengumuman itu disambut dengan tepuk tangan yang riuh dari tetamu yang hadir.
Penyanyi Trio silih berganti menyanyikan lagu-lagu modern. Peralatan musik dan sound system-nya juga modern. Benda populer dari ibu kota itu juga melompat-lompat di atas pentas. Belum lagi penyanyinya yang meliuk-liukkan tubuhnya dengan pakaian yang ketat dan belahan dada yang membuat semua laki-laki jadi berahi.
Tiba-tiba dari kandang babi di belakang rumah, serentak menguik-nguik, kerbau dan lembu melenguh dan meronta-rona minta dibebaskan. Begitu juga ayam-ayam juga beterbangan kian kemari tak tentu arah. Dari berbagai arah, orang-orang pun berteriak-teriak: “Suhuuulll… suhuuulll… suuuuhhhuuull…!? Teriakan suhul secara spontanitas, biasanya diucapkan secara refleks, jika gempa datang.
Getaran itu semakin kencang dan kencang. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Band yang sedang menyanyikan keriaan, tiba-tiba berhenti karena arus listrik terputus. Semua orang menjauh dari rumah Ama Togar yang dua lantai. Mereka mencari tanah yang lapang. Semua orang menyaksikan rumah Ama Ricardo, menari-nari di atas batu bulat, mengikuti irama gempa. Tak lama terdengar suara keras berderak. Rumah-rumah batu pada roboh. Termasuk rumah Ama Togar yang beton, kokoh dan kuat.
“Draaaakkkk… Bam!!!”
Semua rumah beton hancur. Batu-batu bata berserakan. Saat itu, dengan gemulainya, rumah Ama Ricardo menari dengan genitnya. Gemulai dan seakan melambaikan tangannya. Seusai gempa, banyak orang datang menumpang ke rumah Ama Togar. Dengan ikhlas dan senang hati Ama Togar dan istrinya serta anak-anaknya menampung mereka untuk sementara malam itu, menunggu esok mereka membangun tenda-tenda darurat.
Medan, 15 Agustus 2008