cetak.kompas.com
Serpih-serpih Cahaya
1
dari ruang terdalam rumah aku keluar
serpihan cahaya di dalam kepala
menuntutku berjalan dengan cepat
memilah arah-arah yang tepat
kita bertemu di sebuah simpang
kamu luruh menjadi gerimis
berjatuhan; tipis dan pelahan?tak ada petunjuk lain:
serpihan cahaya di kepalaku menjelma lampu jalan
itulah saat-saat gaib
di mana aku bisa melihat dirimu tembus pandang:
hatimu bening, deritamu bening
tak ada pembatas buku di sana
aku telah membaca seluruhnya
2
di simpang itu
aku hampir mati karena demam
kamu terus saja berjatuhan
cinta adalah asam
yang menyiram dan merusakku
dan membuatku bisa disimpan lebih lama
kita bersatu dalam angan-angan
sama-sama tak siap dengan kenyataan
3
ketika aku tahu tak akan ada yang datang lagi
malam jadi begitu jahat
jam dinding di kepalaku
lubang di paru-paruku
ke mana kamu selama ini
mimpi-mimpi telah dirampok dari retina
rumah terus-menerus lari
aku tak bisa berhenti mencari, sekarang
kabar gembira dari masa lalu
jam dinding di kepalaku
aku pasti pernah percaya pada harapan
sampai seseorang memecahkan jendela
dan memaksaku melawan angin
: pedih yang sahih
4
kamu datang lagi
aku tidak menyadarinya
aku mencemburui jiwa yang tenang
karena pertempurannya telah usai
sementara diriku keranjingan gelap
duduk dan terluka oleh pecahan piring
di rumah-rumah yang jauh
kamu datang lagi
ketika aku telah memaafkan semua
yang menginjak sepatuku
ketika aku percaya: segala yang bisa dibuka
dan tak bisa ditutup kembali
hanya bisa dirusak atau dilewati
Ikan Mas Kami
hampir pukul empat, aku berada di jalan itu lagi
dingin yang sama mengirimkan ngilu ke kaki dan kepalaku
sepedaku yang sunyi?tubuhku gemetar
jalan-jalan mulai basah
seorang teman menyusul ke rumah dan berkata:
“kamu nangis lagi?” lalu pergi
hampir pukul empat, anakku terbangun lagi
aku melihat seekor ikan terkapar di atas karpet
“ibu patah hati lagi, nak, itu sebabnya ibu pulang pagi”
kami memasukkan kembali ikan sekarat itu ke air
menatap akuarium dengan perasaan masing-masing:
anakku yang tak bisa diam, mataku yang lebam
bersama azan di angkasa, kukirim pesan kepadamu:
“aku sudah berusaha menyelamatkannya
tapi ia cuma bertahan beberapa menit :
(“saat airmata mengering, aku membuang ikan itu ke tong sampah
dan mengirim pesan lanjutan: “sori salah kirim :)”.
***
Dina Oktaviani, lahir di Tanjungkarang 11 Oktober 1985. Banyak menulis puisi dan cerpen, yang dipublikasikan di berbagai media pusat dan daerah. Buku pertamanya, Como Un Sueto (Kumpulan cerpen-Orakel, 2005). Buku puisinya yang akan segera terbit, Biografi Kehilangan (Penerbit InsistPress, 2006). Kini menjadi editor pada BlockNotPoetry untuk BlockNotInstitute Yogyakarta.