Dari Madura ke Pergaulan Dunia
Agus R. Sarjono *
kompas.com
SEBAGAIMANA banyak segi dalam kehidupan di Indonesia, sastra pun memiliki kecenderungan kuat untuk serba memusat. Kecenderungan berkiblat ke pusat itu terlihat dalam banyak segi, baik segi tematik maupun estetik. Tema-tema protes sosial, misalnya, digarap dan ditulis sebagai reaksi dan tanggapan terhadap persoalan-persoalan yang hidup di pusat pemberitaan.
Padahal, persoalan-persoalan sosial-politik-budaya bertebaran di berbagai pelosok Indonesia dan sering kali memiliki kekhasan persoalan, keluasan tantangan, serta menuntut pemecahan dan pendekatan sendiri-sendiri. Kesempitan ekonomi yang dialami masyarakat urban dengan kesempitan ekonomi yang dialami masyarakat desa atau pengungsi tentunya berbeda. Problem budaya yang dihadapi masyarakat agraris dengan masyarakat pantai/nelayan juga tidaklah sama. Bahkan, pandangan dan penghayatan suatu kebudayaan terhadap cinta, perkawinan, dan religiusitas tidak sama dengan pandangan dan penghayatan kebudayaan lain.
Sementara itu, berbagai pencapaian sastra yang dilahirkan di banyak wilayah Indonesia, terutama di kota-kota, cenderung terserap oleh tema-tema dan persoalan umum sebagaimana diberitakan dan ditampilkan secara nasional melalui TV dan koran-koran. Kecenderungan ini akan membawa sastra ke wilayah yang serba umum, sehingga persoalan-persoalan sosial yang dijadikan tema sastra pun cenderung diangkat ke tingkat umum. Karena permasalahan yang digarap merupakan masalah umum-bukan masalah yang dekat dengan pengalaman konkret sastrawan, juga bukan permasalahan yang benar-benar menjadi bagian dari kecemasan hidup dan kegelisahan eksistensialnya-maka kedekatan sang sastrawan terhadap tema, masalah, dan pokok persoalan yang akan ditulis dan ditanggapinya melalui sastra pun menjadi serba umum dan kehilangan detail. Padahal, detail yang menentukan kualitas dan kemantapan suatu karya sastra.
Kecenderungan berkiblat pada pusat ini terlihat pula dari trend pemikiran dan penghayatan filosofis yang mendasari penciptaan sastra. Ketika pemikiran eksistensialisme menjadi mode dan bahan pembicaraan di berbagai forum (dan media) di pusat, segera saja trend ini merembes dan menjalari banyak sastrawan di pelosok Indonesia. Ketika sufisme dan sastra sufi sedang in dan ramai didiskusikan di forum dan media pusat, ramai pulalah sastrawan dari berbagai pelosok Indonesia sibuk bersufi-sufi. Hal yang sama terjadi pula ketika postmodernisme sedang merajalela di banyak forum dan media pusat, gelombang penulisan sastra yang ke-“postmo-postmo”-an menjadi wabah di mana-mana. Dalam seni rupa mudah sekali kita rasakan bagaimana instalasi-seperti juga burger dan ayam goreng Amerika-segera menjadi trend sampai ke desa-desa. Dan dari mana para pemikir dan sastrawan pusat itu berbelanja? Tidak lain tidak bukan dari mode yang sedang trend di Eropa dan Amerika. Tidak jarang mereka pun berbelanja secara cicilan, sehingga sering tidak lengkap dan terlambat pula.
***
KECENDERUNGAN yang sama bukan hanya terjadi di tingkat tema dan persoalan, melainkan juga di tingkat estetika. Tidak sulit bagi kita untuk mencium aroma para pendekar utama sastra di pusat dalam berbagai pencapaian sastrawan di berbagai pelosok Indonesia. Kerumitan dan gaya bersajak Afrizal Malna di Jakarta, misalnya, segera saja diadopsi dan menjadi bagian pada penciptaan sajak hingga ke pelosok Gunung Kidul dan Palembang sana. Gaya bersajak yang nglangut dan memanfaatkan berbagai globalisasi nilai dengan penggunaan bahasa yang purba pada Goenawan Mohamad ternyata juga diteladani dan merembes banyak sastrawan hingga ke Banyuwangi, Bali, dan berbagai pelosok Indonesia.
Tentu saja hal serupa terjadi pada estetika dan gaya bersastra Rendra. Tak lama setelah Rendra sukses besar dengan pementasan Oedipus, Arifin C Noer mencatat maraknya penggunaan grand style Yunani dalam banyak garapan teater di daerah-daerah. Bahkan, pementasan drama Malam Jahanam yang realis pun dipentaskan dengan gaya babad seperti yang dilakukan Rendra. Tidak sulit pula menemukan ramainya penggunaan gaya Teater SAE di banyak pelosok Indonesia sepanjang penghujung 1980-an dan awal 1990-an.
Tidaklah mengherankan jika kemudian kecenderungan pemikiran eksistensialisme, postmodernisme, nouveau roman Perancis, surealisme, absurdisme, dan sebagainya yang hidup dan dimamah di forum dan media pusat segera menjadi bagian yang akrab dan menjadi bagian penting pula dalam kehidupan sastra di berbagai belahan Indonesia. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara seorang penyair asal Cianjur, misalnya, dengan penyair Banyumas, Cirebon, Tegal, Semarang, Madura, Bali dan sebagainya. Jika berbagai penyair dengan berbagai sajaknya itu dipertukarkan dan dipisahkan dari asal dan tempat mereka tinggal, niscaya tidak ada perbedaan signifikan di antara mereka.
Salah satu penyebab utama kecenderungan ini tentu saja adalah pembangunan Indonesia yang serba memusat. Namun, ada sebab lain yang tak kalah pentingnya, yakni terbatasnya wilayah tematik yang dapat dan boleh digarap oleh para sastrawan Indonesia. Sudah cukup lama dunia kesenian umumnya, dunia sastra khususnya, ditekan dengan berbagai pembatasan baik eksplisit maupun implisit. Salah satunya adalah kecenderungan untuk menabukan dunia sastra menampilkan berbagai segi baik dan buruk dari bermacam sektor masyarakat, seperti dunia pengusaha, militer, guru, tokoh masyarakat, ulama, dan sebagainya.
Dengan begitu, persoalan-persoalan peka yang hidup di sekitar para sastrawan tidak membuat mereka tergoda untuk menuliskannya secara detail. Ada godaan untuk berpaling dari kenyataan keseharian yang mereka hidupi lantas menengok kenyataan diskursif yang mengemuka di pusat Indonesia dengan gaya dan pengungkapan yang cenderung tergoda oleh estetika yang juga hidup di pusat.
Jika pun ada perlawanan terhadap pusat, maka perlawanan tersebut lebih merupakan perlawanan struktur kelembagaan dan perlawanan manajerial. Ada kecenderungan untuk memperlawankan (membuat dikotomi) pusat-daerah sebagai sebuah tindakan politis kelembagaan, dan bukan perlawanan estetis dan kesadaran. Maka berbagai kegiatan besar yang bernuansa dan bercita rasa pusat pun digelar di berbagai kantung dan pelosok Indonesia dengan gaya Jakarta dan lahir untuk bersaing secara dikotomis dengan lembaga-lembaga pusat. Namun, kegiatan-kegiatan semacam itu ternyata lahir dari kesadaran dan cara bertindak yang sama sebangun dengan pusat, juga untuk memenangkan porsi pemberitaan di media-media pusat.
***
MELIHAT tantangan yang terbentang di depan mata, sudah masanya berbagai komunitas sastra di berbagai belahan Indonesia meninggalkan kebiasaan memusat tersebut. Sudah waktunya pula berbagai komunitas sastrawan di berbagai daerah lebih percaya pada pengalaman dan penghayatannya sendiri terhadap berbagai segi kehidupan yang konkret terjadi di hadapannya. Dengan begitu, dapat kita harapkan lahirnya karya-karya sastra yang mengolah persoalan-persoalan konkret yang lahir dari problem sejarah, budaya, ekonomi, sosial, dan politik di daerahnya masing-masing.
Persoalan-persoalan konkret yang dihadapi, dihidupi, dan dihayati langsung oleh sastrawan pada gilirannya akan mengharuskan sastrawan bersangkutan untuk mencari dan menemukan cara ucap (estetika) yang tepat bagi persoalan konkret yang mereka hadapi dan ingin mereka ejawantahkan melalui sastra. Dengan begitu, di bidang prosa, akan mereka temui tokoh-tokoh konkret yang akan mempengaruhi aspek penokohan dalam karya mereka. Mereka juga akan menemukan berbagai persoalan yang khas dan mendasar di lingkungannya yang akan berpengaruh pada cara mereka mengolah latar, tema, dan sudut pandang.
Di masa mendatang, justru karya sastra yang lahir dari kekhasan wilayahlah yang akan merebut perhatian di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Kita masih ingat tentunya dengan Derek Walcott, penyair pemenang Nobel yang menuliskan karya-karyanya dari persoalan konkret dan estetika yang lahir dari pedalaman Karibia. Tentu juga kita ingat Naguib Mahfoudz yang merebut Hadiah Nobel berkat novel-novelnya yang bercerita secara detail mengenai kampungnya, termasuk terutama warung teh tempat ia mangkal dan mencari inspirasi. Toni Morisson belum tentu dapat meraih Nobel jika ia menuliskan persoalan-persoalan umum Amerika. Hadiah Nobel diraihnya berkat penghayatannya dan keteguhannya untuk secara detail mengangkat persoalan warga kulit hitam dengan segala kesungguhan.
Di Indonesia tentu kita ingat pada Ahmad Tohari yang mendapat perhatian luas justru ketika ia berhasil menyelami persoalan yang hidup di kampungnya dan mengangkat persoalan pelosok Banyumas itu sebagai karya sastra. Dunia budaya santai Maduralah yang membikin sajak-sajak D Zawawi Imron bicara. Begitu pula dengan Linus Surjadi (almarhum) dan Pengakuan Pariyem-nya. Bahkan, Ayu Utami mendapat sukses lewat novelnya Saman bukan karena tetek-bengek persoalan globalisasi manusia lintas-budaya, laporan turistik taman Kota New York, atau surat-surat perselingkuhannya yang tak mencapai orgasme itu; melainkan justru karena penggambaran dan penghayatannya yang bukan main mengenai persoalan Prabumulih dengan segala tantangan psikologis, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan sekaligus kleniknya.
Maka, sastra Indonesia yang berpengharapan di masa depan adalah sastra yang lahir dari penghayatan habis-habisan terhadap persoalan-persoalan konkret yang terhampar di depan mata. Persoalan-persoalan konkret yang muncul dari konflik budaya, sosial, politik, ekonomi, dan psikologis di wilayah yang kecil dan terbatas tempat sang sastrawan hidup dan menemukan sumber inspirasi dan keterlibatannya di sana.
***
*) Agus R. Sarjono, seniman-penyair, Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.