Zombi Atawa Mayat Hidup

Teguh Winarsho AS
kr.co.id

SEJAK ibu menjerat lehernya dengan tali jemuran di sepetak tanah kosong dekat kuburan beberapa hari silam, hingga kini masih kuingat bagaimana lidah ibu yang pucat mirip kain pel basah itu terjulur keluar, matanya melotot hingga kedua bola matanya seperti mau melesat dari liangnya, aku tersimpuh lemas di samping mayat ibu, menangis sesenggukan. Sementara ayah hanya terkekeh, mengepulkan asap tembakau dari mulutnya. Sesekali ia menendang pantatku jika aku menangis terlampau keras. “Jangan keras-keras! Perutku mau muntah!”

Ayah tak suka aku menangisi kepergian ibu. Ayah ingin aku bahagia seperti halnya ia juga bahagia atas kematian ibu. Tapi bagaimana aku bisa bahagia? Aku adalah anak yang keluar dari rahim perempuan yang mati mengenaskan itu. Hubunganku dengan perempuan itu adalah hubungan darah antara seorang ibu dan anak. Sedang hubungan ayah dan ibu? Kukira hubungan mereka awalnya hanyalah hubungan kelamin antara dua orang berlainan jenis — satu pelacur, satu lagi bandit, — yang sebelumnya tak saling kenal. Dan pada suatu hari yang celaka hubungan itu dikuatkan dengan secarik kertas bermaterai, dibubuhi tandatangan, disaksikan dua tiga orang kerabat dekat. Sah! Hubungan macam apakah itu? Perkawinan? Ataukah hubungan sekadar untuk melegalkan tindak kekerasan sekaligus melanggengkan perzinahan? Buktinya ayah sering menggampar muka ibu dengan tangan kosong atau balok kayu. Dan ibu diam-diam kerap meloncat jendela mencari laki-laki hidung belang.

Karena itu aku bisa maklum kenapa ayah begitu bahagia atas kematian ibu. Ayah sudah bosan dengan ibu! Selain itu, meski sudah berkali-kali menebas leher orang, tapi baru kali ini ayah menyaksikan kematian yang begini tragis, leher tercekik, mata mendelik, dan lidah terjulur. Tapi benarkah ibu bunuhdiri? Menjerat lehernya sendiri dengan tali jemuran? Tentu tidak! Ini hanya lelucon ayah yang sedikit kelewat. Ibu, aku tahu, bahkan tak bernyali membunuh seekor semut. Ini semua adalah kerjaan ayah. Masih kuingat juga bagaimana ayah untuk kesekian kali menghardikku saat aku lupa, kembali menangis keras, hanyut atas kesedihan itu: “Tutup mulut busukmu itu! Atau kusumpal dengan tahi anjing!”

Aku menunduk, mengusap butiran bening disudut mataku. Ayah pasti tidak main-main dengan omongannya. Perlahan-lahan kurendahkan suara tangisku. Hingga suatu kali tanpa sadar mulutku telah bungkam. Aku tak mendengar suara apa pun kecuali desau angin berhembus dari kejauhan dan kemerisik rumput kering saling bersinggungan membuat bulu kudukku meremang. Saat itu gelap mulai merayap. Daun-daun luruh dan langit cuma bentangan kain buram. Kulihat ayah mulai mabuk berat. Mulutnya meracau tidak karuan. “Kkkau… Lliihat…” Suara ayah gagap. Bibirnya bergetar. “Ppperempuan itu sedang terbang menuju surga. Lihatlah, lihatlah. Beri salam padanya dan jangan lupa kalau sudah sampai suruh kirim surat…”

Mendengar ocehan itu, kesedihanku semakin menjadi-jadi. Tak habis-habisnya ayah menghina ibu yang sudah terbujur kaku menjadi mayat. Aku benar-benar muak. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebab aku sendiri mungkin sudah lama menjadi mayat di hadapan ayah. Aku sering merutuki ketololan ini. Tapi sekali lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. Masih jelas dalam ingatanku sehari sebelum kematian ibu, tengah malam di sebuah jembatan yang remang ayah menyergap seorang perempuan. Dengan gerak cepat ayah memukul tengkuk perempuan itu hingga pingsan, lantas diseret ke semak belukar.

Ayah sempat terpaku lama menatap singkapan rok merah milik perempuan itu yang memperlihatkan sebentuk paha putih mulus. Berkali-kali ayah menelan ludah. Aku yakin, sebelum melucuti perhiasan milik perempuan itu ayah akan memperkosa perempuan itu terlebih dulu. Tapi rupanya dugaanku keliru. Ayah tiba-tiba menatap wajahku, tajam, dan dengan isyarat tangan ia memaksa aku menggauli perempuan itu. Aku menggeleng keras. Tapi ayah kemudian mengeluarkan golok dari balik jaketnya. Aku gemetar menatap ujung golok berkilat itu. Akhirnya kuturuti permintaan ayah. Kugauli perempuan pingsan itu di bawah ancaman golok!

Aku masih mematung di depan mayat ibu ketika perlahan-lahan ayah berjalan sempoyongan menghampiriku. Kedua kakinya gemetar seperti tak kuat menahan gumpalan lemak di atasnya. “Untuk terakhir kalinya, sebagai penghormatan seorang anak kepada ibu, ciumlah telapak kaki perempuan itu sebelum menjadi busuk digerogoti ulat…” kata ayah menepuk pundakku, pelan. Aku menoleh, menatap ayah. Benarkah perintah itu?
“Ciumlah, biar arwah ibumu tidak gentayangan.” Lagi ayah mengulang perintahnya. Wajahnya serius. Aku tidak tahu malaikat mana yang tiba-tiba singgah di batok kepala ayah yang kemudian meluncurkan kalimat-kalimat asing itu. “Ayo, cium telapak kaki ibumu agar kau merasa tenang dan damai.”

Aku masih ragu dengan perintah itu.
“Kau ragu? Kenapa? Ini untuk yang terakhir kalinya. Tunjukkan rasa hormatmu pada ibu. Bagaimana pun dulu dia yang melahirkanmu…” Kembali ayah bersuara. Wajahnya seperti seorang suci.

“Baiklah…” kataku menghempas nafas berat, membuang sesuatu yang mengganjal di hati, melangkah mendekati mayat ibu, lalu jongkok, berusaha mencium telapak kaki ibu. Tetapi belum sempat hidungku menyentuh telapak kaki ibu, kurasakan dorongan kuat di pantatku hingga membuat tubuhku terjengkang mencium tanah. Hidungku berdarah. Ayah menendangku! Kudengar kemudian ayah tertawa keras. Ludahnya berhamburan.

“Dasar tolol! Goblok! Untuk apa kau cium telapak kaki perempuan itu, heh? Cium saja telapak kakiku! Ayoh, ayoh! Ha..ha..ha…” ayah menunjuk-nunjuk telapak kaki. Hitam, pecah-pecah. Aku membuang muka. Hidungku nyeri.
***

AYAH. Dia memang keparat. Berkali-kali ia lolos dari sergapan polisi dan amuk massa. Selain merampok dan memperkosa, ayah biasa menghabiskan hari-harinya dengan mabuk dan berjudi. Sesekali membawa perempuan, mendekam di kamar. Malam-malam sering kudengar lenguh perempuan itu diikuti dengus nafas memburu dan derit ranjang bergeretak seperti mau patah. Membuat aku selalu tak tahan, lantas buru-buru keluar rumah. Tapi ayah akan marah besar jika aku ketahuan pergi tanpa pamit. Ayah adalah hantu yang terus menjerat kedua kakiku. Membuat aku seperti kerbau dungu. Sering aku berpikir ingin melepaskan diri dari jeratan ayah. Ya, ya sejak kematian ibu, tiba-tiba aku kerap menimbang-nimbang apakah seutas tali jemuran cukup kuat untuk menjerat leher laki-laki tua itu?

“Ayo, tambah lagi minummu. Kau belum mabuk bukan?” kata ayah suatu malam hanya beberapa hari setelah orang-orang kampung menemukan jenazah ibu lantas dikubur baik-baik di pemakaman umum.

Aku ingin menggeleng. Tapi sorot mata ayah bisa membunuhku detik itu juga. “Baiklah, baiklah….” kataku serak. “Tapi sepertinya aku hampir mabuk, ayah.” Aku ragu. Takut. Kurasakan bintang-bintang di langit mulai berjatuhan di kepalaku.
“Jangan bohong! Matamu masih bersinar. Kau belum mabuk!” untuk ketigakalinya ayah menuang minuman ke dalam gelasku.

Pelan-pelan kutenggak minuman itu. Kali ini perutku benar-benar mual mau muntah. Tenggorokanku panas. Pandangan mataku mendadak samar, berkunang-kunang, tak bisa fokus. Dinding rumah itu seperti bergerak-gerak. Juga meja, kursi, almari, bufet, tv, jam dinding, kalender, semuanya. Lalu: “Hueek!” Aku muntah. “Ssudah… sudah… aku tak sanggup lagi…” kataku sengal, tersandar di dinding. Lemas.

“Ya, ya, aku tahu, sekarang kau benar-benar sudah mabuk. Wajahmu lucu sekali, seperti kepiting rebus, he..he..he… Minuman ini luar biasa. Benar kata Rasto, aku memang harus mencampurinya dengan sedikit tahi kerbau. Luar biasa. Aku pun sudah…. Akhh…” Ayah tak meneruskan kalimatnya meski mulutnya masih menganga. Perlahan tubuhnya rebah. Tapi ia masih sempat menyambar botol minuman itu dan menenggaknya hingga tandas. Lalu tak berselang lama mulutnya mulai meracau. “Ssebentar lagi kita akan terbang ke surga… Kita akan menengok perempuan itu. Apakah ia sudah sampai di sanaa… akh…” Matanya merem melek.

Tak kuhiraukan racauan ayah. Aku lebih sibuk mengatasi rasa mual perutku. Lalu dengan sempoyongan aku beringsut meninggalkan ayah. Ruangan itu membuat aku terus mau muntah. Juga botol-botol itu, gelas, dan wajah ayah sendiri. Puh!
“Hhai… mau ke mana kau…” suara ayah berat.
“Ttidur…”

Ayah terkekeh mengibaskan tangannya. “Ttidurlah… Tidurlah… Jadilah anak yang baik. Jangan lupa cuci tangan dan basuh muka. Semoga kelak kau termasuk golongan ahli surga. Ha…ha…ha…” ayah tertawa. Suara tawa itu mengambang namun terdengar nyaring di malam sepi.

Aku kembali tertatih-tatih merambat dinding. Lorong rumah itu remang dan terasa panjang, seperti lorong maut. Sesekali tubuhku goyang mau jatuh. Tapi aku mencoba bertahan. Dan dengan sisa-sisa tenaga, kutendang pintu kamar lalu kujatuhkan tubuhku di atas ranjang reot. Benda-benda yang ada di sekitarku masih terus bergerak-gerak tak mau berhenti. Alkohol dicampur tahi kerbau? Hmm. Boleh juga perpaduan itu. Bikin kepalaku pening mau pecah!

Larut malam, kudengar ayah kembali meracau. Tapi kali ini lebih keras. “Ttolong aku! Tolong aku! Aku belum mau mati! Perempuan itu mau mencekik leherku! Tolooongg!”
Aku tak suka tidurku terganggu. Terpaksa aku turun dari ranjang. Terhuyung-huyung mendatangi ayah. Tampak ayah meringkuk di sudut ruang tamu. Wajahnya pucat. Tubuhnya menggigil. Gemetar.

“Perempuan itu! Perempuan itu! Ia mau mencekik leherku!” kata ayah, suaranya serak.
“Mana? Tak ada siapa-siapa di sini! Hanya kita berdua!” sekali kutepuk pundak ayah. Keras. Dan seperti seorang tolol ia tergeragap. Melongo. Menggosok-gosok mata.
“Ttadi… Pperempuan itu datang kemari. Ia mau…” ayah kehabisan nafas. Tak meneruskan kalimatnya.

“Sudahlah, sebaiknya ayah istirahat. Ayah terlalu banyak minum,” kataku berlalu meninggalkan ayah. Ayah terngungun. Wajahnya kian pucat.

Aku kembali ke kamar. Tidur. Tapi baru saja aku berhasil memejamkan mata, kudengar ayah kembali berteriak-teriak keras disertai suara gedibam benda berat jatuh, berguling-guling di lantai. Kubayangkan benda yang berguling-guling itu pastilah tubuh ayah. Aku mulai muak. Bosan. Tidurku terganggu! Perlahan-lahan kemarahan menggumpal di batok kepalaku…
***

PAGINYA ayah kutemukan masih pulas di atas sofa. Sekujur tubuhnya terbungkus selimut. Aku tersenyum. Raksasa tua itu akhirnya terlelap juga. Tapi… ya, ya, aku baru ingat, tak biasanya ayah tidur tanpa mendengkur. Aku curiga. Jangan-jangan ini karena pengaruh minuman itu. Aku segera menghampiri ayah, dan… aku seperti tak percaya menyaksikan pemandangan itu: seutas tali jemuran menjerat leher ayah, kuat, hingga batang leher itu mengisut, mau putus. Matanya melotot, lidahnya terjulur.
Aku heran, siapa yang melakukan semua ini? Kulihat pintu depan masih terkunci rapat, tak mungkin ada orang lain yang masuk. Sementara di dalam rumah hanya ada aku dan ayah. Ataukah semalam aku terlalu mabuk?

Kulonprogo, 2002.

Leave a Reply

Bahasa »