Dari “Festival Panggung Realis”

Mencari Teater Realis rasa Madura

Rakhmat Giryadi

Konsep teater realis belum banyak dipahami. Meski demikian Sanggar Lentera STKIP Sumenep menggelar festival teater bergenre realis.

Serangkaian dengan Pekan Seni Madura, pada 30 Desember lalu, Sanggar Lentera STKIP PGRI Sumenep, mengadakan Festival “Panggung Teater Realis” se Madura. Sebanyak 20 peserta mengikuti festival ini. Panitia memberikan arahan, setiap peserta wajib menampilkan lakon drama realis dengan basik tradisi. Setiap peserta hanya diberi waktu 30 menit lengkap dengan penataan setting dan lightingya.

Hasilnya dapat ditebak, dari 20 peserta tak satupun yang bisa secara total memainkan drama realis. Bahkan hampir semua peserta tidak memainkan drama yang bergenre realis. Hal ini bukan tanpa sebab. Sebab utamanya adalah minimnya informasi tentang konsep drama realis. Sebab ke dua teater di Madura tidak memiliki tradisi realisme seperti di Barat, tempat kelahiran genre drama realis.

Memang, realisme didalam konsep teater Barat tidak terlepas dari dinamika sejarah kebudayaan (filsafat) Barat. Di Inggris, drama realis tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Inggris pada abad XII yang dimotori kelas borjuasi.

Di dalam dunia teater, pada suatu ketika kelas borjuasi yang sudah mapan secara ekonomi dan politik, tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan, seperti yang terjadi masa Elizabethan. Mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir.

Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Daya lain yakni Ilmu Pengetahuan: teori Evolusi Darwin, teori psikologi sebelum Sigmund Freud, maupun masalah-masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa itu mendorong tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara khas.

Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif.

Kebangkitan borjuasi ternyata juga membangkitkan individualisme. Secara mudah dapat dipahami mengapa dalam realisme individu demikian menonjol; justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya yang melahirkan drama.

Sehingga tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater tokoh, teater individu. Realisme berbicara Dr. Stocmann dalam Musuh Masyarakat karya Hendrik Ibsen, Willy Loman dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Jane, Fritz, Corrie, Willem dalam Perhiasan Gelas karya Tennesse William.

Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat.

Bagaimana dengan realisme di Indonesia? Lakon Moesoenya Orang Banyak hasil terjemahan Jan-Goan dari lakon Ibsen menurut Bakdi Soemanto (2001:295) secara formal konsep realisme telah menyusup ke dalam jagat teater Indonesia. Hal itu dapat dilihat dalam lakon era Poedjangga Baru yang menunjukkan sikap tanggap kepada jiwa zaman baru.

Jagat pikir realisme Indonesia pun semakin kuat ketika budaya tulis dibawanya. Zaman Jepang (1942-1945) yang membentuk Pusat Kebudayaan Jepang dengan salah satu badannya Poesat Sandiwara mendorong kegiatan teater sekaligus menyensor karya seni dengan ketat memberi makna penting bagi perkembangan teater. Itu semua tampak dalam lakon yang bertemakan masalah hidup sehari-hari denga tokoh-tokoh orang biasa. Masa ini Dr. Aboe Hanifah menulis lakon Taufan di atas Asia, Intelek Istimewa, Dewi Reni, Insan Kamil, Rogaya, Bambang Laut. Oesmar Ismail menulis lakon Tjitra, Liburan Seniman, Api, dll.

Menurut Bakdi Soemanto, titik kulminasi faham realisme di Indonesia terjadi di dua kota, yakni di Yogyakarta pada tahun 1948 berdiri Cine Drama Institute atas prakarsa Menteri Penerangan. Kemudian tahun 1949 berdirilah Institut Kebudayaan Indonesia (IKI) Jogyakarta yang diprakarsai oleh Prof. Ir. S. Purbodiningrat, Dr. Abu Hanifah, Ny. Suryadarma, Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Ny. Ali Sastroamidjojo, King Notowijono, Mtahar, Tubir, dan Sri Murtono.

Dari institusi IKI Jogyakarta pada tanggal 1 Nopember 1951 lahirlah Sekolah Seni Drama dan Film (SSDRAF) dengan pimpinannya Sri Murtono. Kemudian sekolah ini pada tanggal 5 Mei 1955 berubah status menjadi Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) Yogyakarta, dengan direktur pertamanya Sri Murtono (Nur Iswantara,2001:172-211). Dan di Jakarta pada tanggal 5 September 1955 berdiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).

Di dua akademi ini , seni teaterdipelajari secara keilmuan, artinya di studi dengan pengamatan kritis, didukung teori dan data serta direfleksikan secar cendekia. Studi akademik seperti ini merupakan pola proses kesadaran teatrawan akan lingkungan, yang kemudian ditiru di sanggar-sanggar. Tentunya termasuk dalam menstudi seni berperan membutuhkan bahasa drama yang mudah dipahami.

Semestinya dalam Festival Panggung Realis itu muncul karya-karya yang diinspirasikan dari kelas sosial tertentu yang ada di Madura. Kalau para penggiat teater memahami bahwa drama realis adalah bagian dari pengamatannya di dunia sekitarnya dan menyampaikannya dengan pola drama realis, maka bisa muncul konsep realis yang dimaksudkan panitia.

Usaha itu memang sudah nampak, seperti pada karya Kadarisman, Teman Bermain dan Matinya Harapan, yang dimainkan teater Pelangi SMAN II Sumenep. Begitu juga pertunjukan dengan lakon Karena Politik Masyarakat Menjerit (Teater Kotemang, An-nuqoyah, Guluk-Guluk), nampak ada upaya untuk ke arah realisme yang menggali dari peristiwa sehari-hari (aktual). Sementara lakon Sakera yang dimainkan Teater Fataria STAIN Pamekasan, meski dimainkan dengan gaya realis, drama ini belum masuk dalam genre realis, karena struktur naskah Sakera masih mengambil dari lakon tradisi lodruk. Kalau Sakera diaktualisasikan menjadi peristiwa kekinian, lain soal.

Yang patut dicatat bagi perkembangan teater di Madura atau Jawa Timur, adalah semangat generasi muda mamainkan teater dengan berbagai genre. Ini artinya mereka telah mencerap berbagai ilmu teater dengan berbagai informasi yang didapatkannya. Ke 20 peserta memiliki keunikan dan kekuatan. Namun sayang banyak peserta yang kurang paham konsep teater realis.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *