DOKUMEN BIODATA RINGKAS SASTRAWAN INDONESIA

Maman S. Mahayana *

Judul: Leksikon Susastra Indonesia, Penyusun: Korrie Layun Rampan, Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, Cetakan I: November 2000, Tebal: xv + 576 halaman

Dalam kesusastraan negara mana pun, buku yang memuat sejumlah nama penga-rang berikut karya yang dihasilkannya, sering kali diposisikan sebagai alat legitimasi dan stempel seseorang pantas-tidaknya disebut sastrawan. Buku Twentieth Century Authors A Biographical Dictionary of Modern Literature (disusun Stanley J. Kunitz dan Howard Haycraft, 1963) merupakan contoh, bagaimana buku itu hingga kini dipandang sebagai buku yang berwibawa dan penting yang memuat nama para pengarang Amerika berikut biodata ringkas dan karya-karya yang dihasilkannya. Secara periodik dalam waktu selam-batnya lima atau 10 tahun, buku itu akan mengalami revisi dan penambahan entri. Tidak mengherankan jika dalam setiap edisi, jumlah halaman buku itu akan terus membengkak, lantaran adanya tambahan nama dan data-data baru.

Buku Leksikon Susastra Indonesia (LSI) yang disusun Korrie Layun Rampan ini, juga diharapkan berwibawa dan menjadi semacam alat pengakuan atau bahkan legitimasi bagi kehadiran dan peranan kesastrawanan seseorang. Ia mencatat serba sedikit riwayat hidup sastrawan Indonesia “sejak Tirto Adhi Soerjo dan Mas Marco Kartodikromo” sampai ke sastrawan Indonesia yang muncul awal tahun 2000. Dengan begitu, buku ini akan dapat dijadikan sebagai panduan awal bagi publik jika ingin mengetahui serba ring-kas biodata pengarang dan karya-karyanya selama kurun waktu lebih seabad lamanya.

Sesungguhnya, langkah Korrie bukanlah hal baru. Sebelum itu, Pamusuk Eneste pernah menyusun buku serupa, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (LKIM) (Jakarta: Gramedia, 1982; Edisi Baru, Djambatan, 1990). Mencermati LSI dan membanding-kannya dengan LKIM, yang segera tampak adalah adanya pola penyusunan yang sama. Hanya tiga entri dalam LKIM yang luput termuat dalam LSI. Dalam beberapa hal, Korrie berhasil memanfaatkan data dari LKIM dengan memasukkan dan melengkapinya dengan data mutakhir. Keterangan mengenai Linus Suryadi AG (hlm. 262), misalnya, tidak hanya dilengkapi dengan tarikh meninggalnya, tetapi juga dengan karya-karya terbarunya, meski antologi Yogya Kotaku (Grasindo, 1997) tak tercantum di sana. Begitu juga dengan entri Titis Basino P.I. (hlm. 487), Korrie melengkapinya sampai ke novelnya yang terbit tahun 2000. Dari sudut itu, LSI banyak menyajikan nama-nama baru dan informasi terkini.

Jika LKIM (1982) memuat 309 entri dan LKIM Edisi Baru (1990) memuat 582 entri dengan 499 biodata sastrawan, maka LSI yang terbit belakangan memuat 1382 entri, terdiri dari 1231 biodata sastrawan dan 151 nama lembaga, majalah, novel, dan hal lain yang berkaitan dengan peristiwa kesusastraan Indonesia. Dengan begitu, buku LSI memuat lebih dari dua kali lipat entri dalam LKIM Edisi Baru. Dari segi jumlah data, Korrie telah berhasil mencatat prestasi yang menunjukkan juga ketekunan dan keuletannya.

Demikianlah, sebagai buku yang memuat nama sejumlah sastrawan kita, tentu saja buku LSI cukup representatif. Nama-nama baru, teristimewa yang berasal dari daerah, seperti menyerbu dan memaksa masuk sebagai entri. Barangkali, kita akan kaget sendiri, betapa jumlah sastrawan daerah jauh melebihi jumlah sastrawan ibukota. Data ini mengindikasikan bahwa sastrawan daerah tidak lagi bangun dan hanya ngulet, tetapi langsung dengan membuat gerakan menerbitkan karya-karyanya sendiri. Dari sudut itu, fenomena itu dapat dimaknai sebagai petunjuk adanya hasrat besar sastrawan daerah untuk mandiri dan tidak lagi bergantung pada dominasi Jakarta.

Sesungguhnya, seperti telah disinggung, LSI dapat menjadi semacam alat legitimasi; stempel peran kesastrawan seseorang diakui kiprahnya. Untuk sampai ke sana, salah satu syarat yang mutlak disampaikan penyusunnya menyangkut pertanggungjawaban. Apa kriterianya dan atas pertimbangan apa seseorang pantas namanya tercatat dalam buku itu. Dalam hal yang menyangkut pemilihan, subjektivitas penyusun harus diakui ikut memainkan peranan. Namun, sejauh ada pertanggungjawaban, sejauh itu pula, siapa pun atau apa pun yang menjadi entri buku itu, tidak akan menjadi persoalan.

Dalam konteks itu, sayang sekali Korrie melakukan kelalaian yang sama, seperti yang juga pernah dilakukan Pamusuk Eneste. Tidak ada ktiteria, tidak ada argumen, dan tidak ada pula pertanggungjawabannya. Di situlah kemudian muncul berbagai masalah. Sekadar mencatat nama-nama atau apapun dan memasukkannya sebagai entri, tentu boleh-boleh saja, dan tidak ada sesiapa pun yang melarang. Namun, sebagai sebuah karya penting yang niscaya berdampak pada persoalan legitimasi dan cap peran kesastrawanan seseorang, bagaimanapun pertanggungjawabannya menjadi sangat signifikan. Apalagi kemudian jika persoalannya dikaithubungkan dengan kualitas dan otoritas.

Ada sejumlah peneliti atau penerjemah asing yang namanya tercatat dalam LSI, tetapi tokoh penting yang banyak menerjemahkan sastra Indonesia dan membuat film do-kumenter tentang beberapa sastrawan kita, John H. Mac-Glynn, tidak tercatat dalam LSI. Tentu masih ada nama lain yang juga patut dipertimbangkan, semisal Tinneke Helwig (Belanda) yang bolak-balik ke Indonesia guna meneliti citra wanita Indonesia dalam novel-novel kita. Begitupun George Quinn (Australia) yang meski disertasinya mengenai novel berbahasa Jawa, ia juga pengamat sastra Indonesia yang andal.

Mengenai para peneliti asing ini, sungguh mengherankan tidak ada satu pun yang berasal dari negara tetangga Malaysia. Yahaya Ismail yang penelitiannya mengenai kejatuhan Lekra, Baha Zain yang mengupas sejumlah novel Indonesia yang terbit pada periode 1966-1971, dan A. Wahab Ali yang membandingkan novel-novel awal Malaysia dan novel awal terbitan Balai Pustaka, juga luput dalam LSI.

Kealpaan lain menyangkut nama Aryanti (pseud. Prof. Dr. Haryati Subadio) yang telah menghasilkan empat novel dan satu antologi cerpen. Hal yang sama pun terjadi pada sejumlah nama penyair Riau, semisal Hoesnizar Hood, Syaukani Al Karim, Samson Ram-bah Pasir dan Junewal Muchtar. Keempatnya, sungguh penyair yang sudah jadi dan menjanjikan. Tentu kita masih dapat menderetkan nama-nama lain, teristimewa sastrawan dari berbagai daerah yang karya-karyanya mungkin saja luput dari perhatian kita.

Di luar persoalan itu, terutama yang menyangkut butir masukannya, ada beberapa hal yang agaknya justru akan sangat baik jika tidak dipaksakan masuk sebagai entri. Pertama, adanya sinopsis novel akan menjadi masalah ketika kita mempertanyakan kriteria dan argumen yang mendasarinya. Pertanyaan, mengapa Keluarga Gerilya atau Para Priyayi tidak terdapat di sana, dapat berlanjut dengan pertanyaan serupa untuk novel yang lain, termasuk puisi dan drama, yang juga penting mewakili zaman atau periode tertentu.

Kedua, sedikitnya pemuatan nama majalah, penerbit, dan lembaga, dapat ditafsir-kan bahwa “hanya” itu majalah, penerbit dan lembaga yang langsung berhubungan dengan kehidupan sastra Indonesia. Padahal, jika semua itu dijadikan entri, maka boleh jadi butir masukan mengenai nama majalah, penerbit, dan lembaga, akan mencapai jumlah ratusan.

Ketiga, kesan subjektif penyusun terasa agak menonjol jika kita mencermati entri Korrie Layun Rampan (hlm. 244-247) yang begitu lengkap dan panjang. Jika entri H.B. Jassin, Mochtar Lubis atau Pramudya Ananta Toer dan entri lain yang berisi biodata sastrawan disajikan relatif ringkas, mengapa entri yang satu itu jauh melebihi semuanya.

Bahwa pertanyaan-pertanyaan itu muncul semata-mata lantaran penyusun meng-hindar dari pertanggungjawaban. Jika saja ada keterangan dan argumen yang mendasari penyusunannya, niscaya munculnya pertanyaan-pertanyaan itu sudah disediakan jawaban-nya. Jadi, kembali lagi, muara persoalan itu jatuh pada ihwal pertanggungjawaban

Di luar kelalaian kecil itu, bagaimanapun juga LSI tetap punya tempat yang khas dan kita dapat memperlakukannya sebagai dokumen penting. Tanpa usaha Korrie, sangat mungkin sejumlah nama yang berkarya “sekali tidak berarti, sesudah itu mati” akan benar-benar mati sebelum ia hidup. Oleh karena itu, dari sudut pendokumentasian, LSI telah menempati posisinya sebagai tonggak penting. Bahkan, jika karya sejenis ini digarap secara sungguh-sungguh, ia akan menjadi sebuah monumen yang sangat mungkin tidak dapat lagi dipisahkan dari perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia. Dengan ketelatenan dan keuletan seorang Korrie Layun Rampan, rasanya kita percaya, Korrie niscaya mampu melakukan itu. Tahniah!
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Leave a Reply

Bahasa »