Marzuzak SY
http://www.serambinews.com/
Tanah Aceh ini, sejak lampau merupakan lahan subur lahirnya para ulama yang juga pujangga (sastrawan). Sekarang sangat sedikit pengetahuan generasi karena minimnya membaca sejarah dan mengapresiasi karya sastrawan. Apalagi pendekatan dan materi pembelajaran bahasa dan satra di sekolah-sekolah, khususnya sastra daerah (Aceh) hampir tak menyentu aspek apresiasi, guru mati kreatifitas dan kaku sehingga tak menumbuhkan motivasi peserta didik untuk mengenal ranah kesusastraan daerah lebih dalam. Fakta, kesusastraan Aceh masa lampau sekarang menjadi asing bagi masyarakatnya sendiri. Padahal, karya sastra Aceh pernah memberi warna dan makna khas bagi perjuangan rakyat daerah ini. Perang melawan kolonialisme di Aceh berlangsung dalam rentang waktu cukup panjang dan para pejuang Aceh tak pernah surut karena spirit udep saree mate syahid , tak kecuali kaum perempuan Aceh maju ke medan perang, dan mereka menina-bobo para bocahnya dengan senandung syair-syiar perjuangan, kisah-kisah heroisme. Maka wajarlah kalau perempuan Aceh masa lalu, bukan sekedar mawar tamman tapi juga melati pagar pertiwi . Sosok perempuan Aceh yang mengagumkan itu, antara lain Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Teungku Fakinah, dan lain-lain telah mengukir lembaran sejarah Nusantara dengan darah dan nyawanya.
Lebih lima dasawarsa perang Aceh. Bukan sebentar, maka rentang itu dibutuhkan lebih dari sekedar senjata dan amunisi yang cukup. Semangat jihadlah yang menumbuhkan energi rakyat dalam panjang itu. Semangat yang dipetik dari satu hadis Rasul saw, Hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air bagian dari iman) . Itulah pemicu gelora perlawanan mujahid Aceh mengusir kaphe selama 50 tahun. Hikayat perang sabi, karya puisi yang terdiri dari empat bagian, yaitu Kisah Ainul Mardhiah, Kisah Pasukan Gajah, Kisah Said Salmi dan Kisah Muhammad Amin, mengilhami spirit jihad orang Aceh. Puisi monumental karya Haji Muhammad atau lebih dikenal dengan sapaan Teungku Chik Pante Kulu, mengandung lebih dari seribu bait, di dalamnya berisi tentang keutamaan berperang di jalan Allah. Ulama dan pujangga kenamaan abad ke-19 itu menulis puisi Hikayat Perang Sabi setelah ia kembali dari pengembaraan selama empat tahun menuntut ilmu di Mekah. Ketika itu ia berumur 45 tahun. Menurut Ali Hasymi, Hikayat Perang Sabi ditulis di atas kapal antara Jedah dan Penang. Kemudian sesampai di Aceh, puisi itu diserahkan oleh pengarangnya kepada Teungku Chik Ditiro dalam sebuah upacara yang khitmat di Kuta Aneuk Galong.
Puisi panjang yang penuh heroisme termasuk karya sastra besar dunia yang sangat pengaruh. Karya sastra ini sulit dicari tandingannya di negara manapun di dunia. Puisi ini senantiasa dibacakan dari meunasah ke meunasah, dari rumah ke rumah, dan menjadi senandung para pejuang Aceh di medan laga, misal Teungku Chik Di Tiro sambil menunggang gajah putihnya, ia menyenandung puisi ini, sehingga Hikayat Prang Sabi inheren dalam diri masyarakat Aceh. Setiap orang Aceh adalah pejuang dimana pun dan terus tumbuh dari generasi ke generasi seperti semboyannya, satu hilang dua terbilang.
Jauh sebelum muncul teungku Chik Pante Kulu, di Aceh sudah pernah lahir seorang pujangga besar, Hamzah Fansuri, namanya. Para peneliti sastra, Fanzuri adalah perintis penulisan puisi di nusantara dalam bentuk syair Melayu. Syair-syairnya ditulis dalam tulisan Arab dalam kurun abad ke-16 hingga abad ke-17. Hamzah Fansuri, pujangga besar yang pernah dilahirkan oleh khazanah sastra Nusantara.
Menurut catatan sejarah, Hamzah Fansuri melanglangbuana ke seluruh dunia untuk menuntut ilmu, sehingga ia menguasai banyak bahasa. Ia pujangga dan ulama besar yang sungguh dalam ilmu hingga mencapai puncak tasawuf ma?rifat tertinggi. Itu tercermin dari ciri kepengarangannya. Karangannya khususnya ditujukan untuk kalangan intelektual yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Sedangkan karya yang ditujukan bagi masyarakat awam ditulis dalam bahasa Melayu.
Hamzah Fansuri umumnya menggunakan puisi sebagai media. Karyanya itu telah menjadi karya klasik bagi khazanah sastra dunia, di antara karya Hamzah adalah Syair Perahu , `Syair Dagang , dan Syair Burung Pingai . Sehingga kepiawaian sang pujangga perintis sastra Melayu itu oleh penyair Abdul Hadi WM menjuluki Hamzah sebagai Bapak bahasa dan sastra Melayu.
Dan cendekiawan muslim Noerchalis Madjid, pernah mengatakan kalau Aceh menjadi gudangnya pujangga besar yang andil mereka sangat besar dalam pengembangan bahasa dan sastra Melayu (Indonesia).
Membaca, menikmati dan mengapresiasi karya sastra Aceh masa lampau – paling tidak menyadarkan kita bahwa tanah Rencong ini telah pernah melahirkan para ulama yang pujangga `kelas dunia?. Karya-karya mereka sekarang telah menjadi karya klasik yang sulit ditemukan tandingannya di negara-negara lain. Bagaimana kita orang Aceh masa kini. Entahlah!
*) Alumnus FKIP Unsyiah dan pernah menjadi guru bahasa dan satra Indonesia SMAN Susoh, sekarang sekretaris Inspektorat Kabupaten Abdya.