Hamid Jabbar, Meninggal ketika Berpuisi

Benny Benke
suaramerdeka.com

”SANG waktu masih saja berlagu mengalir tertib tanpa sedikit pun merasa ragu. Aku pun mengalir di dalamnya. Kadang-kadang terasa lewat dan terjepit di sela-sela sang waktu, tersendat-sendat, kemudian terhuyung-huyung seakan menggelinding dari ”kutub-ingat” lewat titik pusat kebingungan…

Itulah sekelumit tulisan Hamid Jabbar yang mengulas soal puisi dengan judul “Ketidakberdayaan, Pergulatan, Penyerahan, dan Kebangkitan? Ya, dalam Iman!” yang dimuat dalam situs Segerobak Puisi Hamid Jabbar.

Ya, sang waktu akhirnya tiba. Hamid Jabbar, penyair yang kerap menulis puisi-puisi religius dan kritik sosial itu, Sabtu malam (29/5) sekitar pukul 24.00 WIB meninggal dunia.

Dia meninggal dalam alunan puisi yang sedang dilantunkan pada acara Dies Natalis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kematian memang bisa datang kapan dan di mana saja. Sebagaimana kematian yang menghampiri penyair Hamid Jabbar. Penyair itu mengembuskan napas terakhir di atas panggung ketika sedang membacakan sajak dengan iringan musik blues dan rock pada malam ”Orasi Seni dan Budaya”.

Dalam acara itu, Hamid tidak tampil sendirian. Budayawan Franz Magnis Suseno, dramawan Putu Wijaya, penyayi Franky Sahilatua, dan penyair Jamal D Rahman menjadi bagian acara orasi budaya malam itu. ”Saya memang tidak tahu detik-detik terakhir meninggalnya. Saya dan Romo Magnis pulang duluan ketika Hamid naik ke panggung lagi,” kata Putu Wijaya yang malam itu membacakan monolog ”Setan”.

Pemimpin Teater Mandiri itu mengisahkan, Hamid sebenarnya telah membacakan orasi budayanya. ”Namun, karena teramat bersemangat, dia naik lagi ke panggung dan membacakan dua sajak dengan iringan musik.”

Ketika sajak kedua usai, Hamid yang tampil menarik itu melorot dan jatuh di samping mimbar. ”Dan, saya mendapat kabar dari teman-teman, para mahasiswa bertepuk tangan riuh karena mengira itu adalah bagian dari peristiwa kesenian,” kisah Putu.

Namun, karena beberapa lama ditunggu-tunggu tidak bangun, Jamal D Rahman menghampiri. Ternyata dia pingsan. Dan kemudian dia dibopong keluar untuk dibawa ke klinik terdekat.

Apa kata Putu kemudian? ”Saya memang tidak begitu dekat dengan beliau. Namun, sepengetahuan saya, almarhum adalah seniman idealis. Keras, tetapi suka humor. Bahkan, ketika mengikuti Kongres Kebudayaan di Bukittinggi, almarhum yang semula kaku telah cair. Dan, sebagai seorang seniman, dia adalah pemikir.”

Manajer yang Baik

Kesan mendalam mengenai kepergian Hamid Jabbar sangat dirasakan oleh penyair Taufik Ismail yang selama lima tahun ini bersama almarhum terlibat dalam agenda SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Membaca) dan SBMM (Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca) di 170 SMA di 120 kota. ”Dia adalah seorang penyair yang produktif, berwawasan luas, suka membaca, dan rendah hati,” kata Taufik yang bersama aktor Salim Said dan Jajang C Noer menghadiri dan memberikan kata sambutan pada pemakaman Hamid, Minggu (30/5) siang, di pemakaman Pondok Rangon, Jakarta Timur.

”Yang membedakan dia dari penyair lain adalah: almarhum seorang organisatoris dan manajer yang baik,” kenang Taufik yang mengingatkan semasa sekolah Hamid aktif di KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia).

Meski merasa kehilangan, dia mengatakan, kematian Hamid adalah sesuatu yang indah. ”Ia meninggal dengan cara yang luar biasa indah sebagaimana prajurit yang gugur di medan tempur,” katanya.

”Ini adalah kali pertama terjadi di Indonesia seorang penyair meninggal dunia di atas panggung ketika sedang membacakan sajak. Dan, mungkin juga yang pertama di dunia.”

Rasa kehilangan juga tidak dapat disembunyikan oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri. Sebagai penyair yang sama-sama berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat, Tardji mempunyai pengalaman khusus dengan Hamid. ”Ia penyair yang baik, senantiasa berusaha tampil prima, dengan kegembiraan hidup yang luar biasa,” katanya.

Sifat ketulusan, rendah hati, sabar, dan suka bercanda inilah yang membuat Hamid banyak berkawan dengan sesama penyair. ”Dia tidak hanya suka bercanda, tapi juga suka main biliar pada jam berapa pun ia mau. Dan inilah keburukannya, dia tidak begitu memperhatikan kesehatan tubuhnya kalau sudah bekerja,” kata Tardji yang mengaku mendapat kabar kematian Hamid via SMS.

Mantan redaktur Penerbit Balai Pustaka dan redaktur Majalah Sastra Horison ini juga dikenal peduli terhadap pengajaran tulis-menulis di sekolah. Dalam sebuah sebuah diskusi dia menyatakan, salah satu pelajaran yang masih ditelantarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam pengembangan minat baca dan apresiasi terhadap sastra adalah pelajaran mengarang.

Menurut dia, pelajaran mengarang hendaknya tidak dipandang hanya sebagai sebuah pelajaran teknis menulis atau mengarang. Pelajaran mengarang hendaknya dijadikan sebagai ruang berekspresi bagi siswa untuk membentuk kepribadian dan jati diri siswa sebagai seorang manusia.

Sebelum dimakamkan, jenazah penyair itu disemayamkan di rumah duka Jalan Kelapa Dua Wetan RT 01 RW 01 Nomor 15 Ciracas, Jakarta Timur.

Ya, Hamid telah tiada. Namun, puluhan karyanya telah mewarnai jagad sastra Indonesia. Lewat karya-karya religius maupun puisi-puisi parodi antara lain ”Sebelum Maut datang”, ”Ya Allah”, ”Setitik Nur”, ”Jihad”, ”Zikrullah”, ”Ketika Khusyuk Tiba pada Tafakur ke Sejuta ”, ”Perjamuan”, ”Nisan, ”Angin, ”Pantai dan Pasir”, dan ”Homo Homini Lupus”, dia telah mewarnai kesuastraan Indonesia.

O, kematian memang datang tidak mengenal waktu, tempat, dan tanpa permisi. Selamat jalan Hamid!

***

Leave a Reply

Bahasa ยป