Hamidah, Iswadi Pratama
http://epapaer.korantempo.com/
Lelaki asal Slovenia itu duduk di antara penonton Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ia menyimak dengan tekun karyanya, What About Leonardo?, yang dipentaskan Teater Koma. Naskah itu sudah dipentaskan di 12 negara. Kini naskahnya dipentaskan di sebuah negara yang tak pernah terbayangkan dalam benaknya.
Evald Flisar, 61 tahun, sang dramawan, terkejut karena selama lebih dari tiga jam, naskahnya disuguhkan dengan stamina kuat tanpa potongan sama sekali. Biasanya, di negara lain, naskahnya disunat terutama pada bagian-bagian yang menyodorkan debat ?dunia medis?, yang rumit dan panjang. Naskahnya berkisah tentang konflik dua dokter, Hopman dan DaSilva, mengenai cara-cara menangani orang gila di sebuah lembaga rehabilitasi saraf. Mereka memiliki metode penyembuhan pasien yang bertentangan. ?Flisar suka dengan adegan bayang-bayang saat Cornelia Agatha yang memerankan dr DaSilva ditusuk, katanya lebih tragis,? tutur Ratna Sari Madji, aktris Teater Koma.
Kedatangan Evald Flisar ini adalah salah satu peristiwa penting dalam jagat seni pertunjukan Indonesia pada 2008. Apalagi pentas Teater Koma Kenapa Leonardo? pada Januari itu sebuah anomali dalam teater ini. Pertunjukan itu sangat serius, sementara Teater Koma, identik dengan banyolan operet. Identitas itu lenyap total. Para aktor Teater Koma seperti Budi Ros, Dorias Pribadi, Dudung Hadi, menyodorkan permainan watak yang mengagumkan.
Syahdan, dunia tari melahirkan fenomena menarik. Tiba-tiba saja Yogyakarta menjadi kota yang dicintai para penari butoh Jepang. Min Tanaka, setelah selama 45 hari mengembara ke pelosok Toraja, Bajau, Parapo, sampai Pulau Kangean, menceritakan pengalamannya berkeliling Indonesia mencari inti tari di Yogyakarta. Puncaknya, pertengahan Desember lalu mereka menggelar festival The Life of Butoh di kota itu. Beberapa tokoh tua butoh yang usianya berkisar 70 tahun dari berbagai aliran, seperti Ko Muroboshi, Yoshito Ohno, Tomiko Takai, mencipta karyanya berdasarkan tanggapannya atas atmosfer kota itu. Inilah yang kami anggap sebagai catatan istimewa dalam dunia tari tahun ini.
Tahun 2008 juga merupakan tahun yang istimewa bagi dunia film. Inilah tahun ketika jumlah produksi film nasional mencapai angka tertinggi, yakni terbanyak selama 10 tahun belakangan. Ada 90 film layar lebar nasional yang diputar di bioskop sepanjang tahun ini. Meski didominasi oleh horor dan komedi seks, di antara hutan belukar yang penuh kuntilanak, pocong, dan hantu di ambulans itu, terselip juga beberapa film bagus. Bahkan pada tahun ini pula dua buah film yang meraup penonton terbanyak bukanlah berasal dari kedua genre di atas. Yang pertama, pada awal tahun, Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramantyo) meraup 3,8 juta penonton, dan film Laskar Pelangi (Riri Riza) meraih 4,4 juta penonton. Kedua film laris ini juga diangkat dari novel yang sangat laris. Ayat-ayat Cinta diangkat dari novel karya Habiburrahman el-Shirazy, sedangkan Laskar Pelangi diambil dari novel karya Andrea Hirata.
Yang juga menggembirakan adalah lahirnya nama baru seperti Mouly Surya. Sutradara berusia 28 tahun yang menulis skenario (bersama Joko Anwar) sekaligus menyutradarai film Fiksi ini dinobatkan sebagai sutradara terbaik dalam Jakarta International Film Festival (Jiffest) dan Festival Film Indonesia 2008. Dalam FFI pula, film Fiksi dinyatakan sebagai film terbaik.
***
SETIAP tahun kami memilih karya teater, seni rupa, film, sastra yang kami anggap terbaik karena kami sadar: seniman yang serius selalu ingin menemukan sebuah pencapaian, dan kami ingin mengikuti pencapaian itu. Tahun ini bisa dianggap paling seru, karena setiap cabang seni memberikan begitu banyak pilihan. Ukuran penentuan selalu bertolak dari problem yang terjadi di tiap bidang seni.
Pementasan Teater Koma di atas, misalnya, mengingatkan kami akan problem keaktoran. Dalam beberapa tahun terakhir ini aktor yang tangguh makin langka. Dengan bekal itu, kami bersemangat menonton pertunjukan Teater Mandiri, Teater Gandrik, Teater Garasi, Studi Klub Teater Bandung, Teater Lungid, Teater Kami, dan teater-teater lainnya yang mengadakan pementasan sepanjang 2008. Salah satu yang tak sempat kami tonton adalah kemunculan kembali Teater Dinasti, teater senior dari Yogya pimpinan Fajar Suharno, yang membawakan naskah sobat akrab mereka, Emha Ainun Nadjib: Tikungan Iblis. Itu lantaran pertunjukan mereka di TIM digelar pada 30 Desember, sementara majalah kami harus terbit sehari sebelumnya.
Tapi, dari sekian pertunjukan teater yang kami saksikan, ada sebuah monolog yang begitu mengesankan, yakni pertunjukan Teater Satu Lampung di Festival Salihara, yang memainkan Perempuan di Titik Nol naskah adaptasi Nawal el-Saadawi. Seorang diri, selama dua jam, Hamidah, awak Teater Satu itu, mampu memerankan Firdaus, pelacur, tokoh utama dalam naskah itu, secara hidup dan imajinatif.
Kami memerlukan diri meluncur ke Lampung untuk mengenal lebih dekat kelompok ini. Mereka sehari-hari berlatih di Taman Budaya Lampung. Mereka ternyata bukan teater kemarin sore. Sejak 1996, mereka telah mementaskan berbagai naskah standar, baik adaptasi dari penulis luar maupun dramawan, kita seperti Lysistrata (Aristophanes), Kapai-Kapai dan Umang-Umang (Arifin C. Noer), Jerit Tangis Malam Buta (Rolf Lauckner), Waiting For Godot (Samuel Beckett), Antigone (Jean Anouilh), hingga Pelayan (Jean Genet). ?Kami sering pergi berombongan ke Yogyakarta, Jakarta, Bandung untuk menyaksikan pertunjukan teater,? kata Iswadi Pratama, 38 tahun, sutradara dan pendiri Teater Satu. Menurut dia, kelompoknya tumbuh dengan mencari perbandingan di luar. ?Sebab di Lampung tidak ada referensi.?
Mereka intens mengeksplorasi berbagai bentuk monolog. ?Sudah 22 monolog kami pentaskan dan kebanyakan dengan aktor perempuan,? kata Iswadi. Bahkan monolog Wanci karya Imas Sobariah, awak Teater Satu, bakal dimainkan pada 2010 dalam sebuah festival di Koln, Jerman. Pertunjukan Perempuan di Titik Nol yang dimainkan Hamidah adalah salah satu bagian studi monolog itu.
Dalam diskusi kami menemukan kesulitan untuk memilih antara Teater Koma dan Teater Satu. Pilihan akhirnya jatuh pada Teater Satu Lampung. Itu karena akting Hamidah, 24 tahun, hampir-hampir tanpa bantuan apa pun, kecuali tubuh dan suaranya. Panggung demikian minimalis. ?Penampilan Hamidah mengingatkan saya pada kemampuan monolog Chaerul Umam pada awal 1980-an, yang mampu memainkan beberapa watak dengan dahsyat,? kata seorang penonton.
Tentu saja penentuan pemenang tidak kami lakukan sendiri. Selain redaksi Tempo yang berkecimpung dalam peliputan, penulisan, dan penyuntingan tulisan seni dan film seperti Seno Joko Suyono, Leila Chudori, Yos Rizal Suriaji, Kurie Suditomo, Bagja Hidayat, Idrus F. Shahab, Sita Planasari A., dan Andari Karina Anom, kami mengundang sejumlah panelis dan pengamat dari luar. Untuk memilih karya sastra kami mengundang: Sapardi Joko Damono, A.S. Laksana, Sitok Srengenge, dan Adi Wicaksono. Beberapa dari mereka juga terlibat dalam pemilihan teater. Untuk seni rupa kami mengundang Bambang Bujono dan Asikin Hasan.
Diskusi pemilihan buku karya sastra terbaik diwarnai debat yang sangat keras. Ada tiga karya yang menjadi materi debat: Atau Ngit Cari Agar, kumpulan puisi karya Soetardji Calzoum Bachri, yang mengkompilasi puisinya yang tak terhimpun di buku Amuk dan Kapak. Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto, dan Teman-temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna. Debat kemudian mengerucut pada karya Nirwan Dewanto dan Afrizal Malna. Panelis terlibat dalam adu argumentasi yang sangat kuat. Mereka saling mengajukan kelemahan dan kekuatan kumpulan puisi kedua penyair itu.
?Pada Afrizal ada kenaifan kanak-kanak yang mencekam, imaji-imajinya bertolak dari dunia sehari-hari tapi mengagetkan,? kata seorang panelis. Nirwan menampilkan imaji yang kita kenal tapi kita kesulitan memasukinya. ?Imaji Nirwan cerdas, modern, dan pintar, tapi susah dimasuki pembaca,? ujarnya.
Tapi itu dibantah oleh panelis lainnya. ?Coba, Bung, tunjukkan kepada saya mana karya Nirwan yang susah dipahami!? Panelis yang membantah ini lantas saja membaca puisi Nirwan berjudul Anjing Kidal yang dianggap sulit itu. Ia membaca dengan pelan-pelan dan artikulatif, semata-mata untuk meyakinkan bahwa pencitraan dalam puisi Nirwan bisa dimengerti.
?Kumpulan puisi Nirwan ini banyak memberikan kekayaan. Nirwan, misalnya, mencoba mengolah bentuk pantun secara baru. Sajak Nirwan juga bersih secara bahasa. Menurut saya, menulis puisi itu juga harus berbahasa secara baik. Sedangkan Afrizal kata-katanya bertentangan, banyak pengulangan kata yang cerewet dan polanya membosankan.?
?Tapi itu bagian dari permainan, Bung,? sela panelis lain. Walhasil, suasana diskusi menggairahkan karena untuk beradu argumentasi, para panelis?yang notabene adalah sastrawan juga? sering membacakan puisi kedua penyair itu. Apalagi diskusi selang-seling dilakukan di dua tempat. Satu di ruang terbuka, di atas atap gedung Tempo, sembari menyeduh kopi panas dan makan ayam bakar. Dan di kesempatan lain di ruang rapat. Untuk pertama kalinya kami perbolehkan ada orang merokok, karena dua orang panelis mengaku tak bisa berdebat tanpa merokok. Memang manja, tapi… apa boleh buat.
Pilihan akhirnya jatuh pada kumpulan puisi Teman-temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna. Salah satu argumentasi utama adalah sajak-sajak Afrizal mampu memberikan sugesti dunia sehari-hari yang tidak lazim. Afrizal adalah penyair yang terus-menerus menawarkan bentuk puisi yang berbeda dalam khazanah puisi Indonesia.
***
PEMILIHAN karya seni rupa terbaik juga menggairahkan. Ukuran utama untuk pemenang seni rupa adalah sebuah pameran tunggal yang menampilkan eksplorasi medium dan kesegaran bentuk. Tahun lalu Tempo memilih Ugo Untoro, yang menggunakan tubuh mayat-mayat kuda dalam pamerannya. Memang harus diakui, tahun ini tak ada pameran tunggal yang menteror seperti pameran Ugo.
Tapi pameran Tisna Sanjaya di Galeri Nasional, Ideocracy: Rethinking the Regime of Etching, kami anggap sebuah pameran yang sangat bertenaga. Kami memilih pameran Tisna Sanjaya sebagai pameran seni rupa terbaik tahun ini. Pesaing utamanya adalah pameran patung kontemporer Ichwan Noor di SIGI Art Gallery Jakarta dan pameran Jompet Kuswidananto di Galeri Cemeti Jogja berjudul Java Machine?s: Phantasmagoria.
?Tiga karya Ichwan Noor berjudul Agreement, Memorabilia, Traveler sangat kuat,? kata seorang panelis. Tiga karya yang mengeksplorasi potongan-potongan tubuh itu memang membekas pada benak. Tengok karyanya berjudul Traveler, Ichwan Noor menampilkan dua potong kaki telanjang tanpa tubuh. Otot-otot kaki itu terlihat jelas. Telapak kaki kanannya memakai roda dan menjepit sebatang tongkat. Dua batang jari melekat pada tongkat itu. Kita membayangkan tubuh tak lengkap milik seorang pejalan perkasa yang telah menempuh berbagai tantangan yang berbahaya. Karya ini demikian mengesankan. Sayang, dalam pameran itu kekuatan karya-karya Ichwan tidak merata. Hanya tiga karyanya di atas yang kuat.
Pameran Jompet mengetengahkan imaji atribut kostum dan peralatan serdadu keraton Jawa yang dilengkapi instalasi suara dan gerak kinetik. Ada sebuah karyanya?sosok prajurit yang hanya diwakili topi, sepatu bot, tambur, dan stick. Stick di atas tambur itu bisa bergerak sendiri hingga membuat tambur berbunyi. Kami menganggap eksplorasi bentuk pada karya Jompet kurang variatif. Lebih banyak penjelasan sosiologisnya. ?Bentuk instalasinya mengingatkan kami pada Heri Dono,? kata salah seorang panelis.
Pameran Tisna menampilkan etsa sampai cetakan dirinya sendiri di atas kanvas. Inilah dunia Tisna terlengkap yang pernah disajikan dalam sebuah pameran. Sebuah dunia yang menceritakan kepalsuan dunia politik, namun ditumpahkan dengan ekspresi meluap tanpa takut ?kekotoran?. Tengok ratusan etsa hitam-putihnya: Menghajar Picasso, Zagreb, sampai Pesta Pencuri. Kita melihat suatu dunia politik yang disajikan secara sinis, parodik. Tisna tampak tidak berpretensi untuk mengindah-indahkan karyanya. Tisna justru sangat menekankan ?kekacauan?, namun di situlah dunianya sangat berenergi.
Diskusi menentukan film terbaik juga diwarnai perdebatan yang hangat. Penilaian kami bagi dengan mempertimbangkan berbagai unsur sebuah film, dari segi penyutradaraan, akting pemain, sinematografi, hingga skenario. Mula-mula kami menyortir film yang kami anggap baik seperti Laskar Pelangi (Riri Riza), Fiksi (Mouly Surya), Perempuan Punya Cerita (Lasya Susatyo, Nia Di Nata, Upi Fatimah Tobing), May (Viva Westi), Cinta Setaman (Harry Dagoe), Tiga Doa Tiga Cinta (Nurman Hakim), dan Mereka Bilang, Saya Monyet! (Djenar Maesa Ayu). Kemudian memeras pilihan yang begini banyak menjadi tiga judul saja, yakni Laskar Pelangi, Fiksi, dan Mereka Bilang, Saya Monyet!. Untuk tahap pemilihan ini kami sering mengundang rekan kami di majalah lain yang masih satu payung penerbitan, yaitu Qaris Tajudin dari U-Mag, yang juga seorang movie-buff seperti kami. Tahap terakhir pemilihan paling sulit, karena film Laskar Pelangi dan Mereka Bilang, Saya Monyet! mencapai nilai yang persis sama.
Akhirnya, kami bersepakat memilih Mereka Bilang Saya Monyet sebagai film terbaik pilihan Tempo tahun ini, terutama lantaran keberanian eksperimen dalam film itu. Hampir sepanjang film kita disuguhi adegan ulang-alik kehidupan masa kini tokoh dengan ingatan traumatiknya. Film Djenar yang terasa sangat personal ini bertolak dari dua cerpennya, Lintah dan Melukis Jendela. Kami menganggap Djenar berhasil mengangkat dan menggabung kedua cerpennya ke dunia visual sekaligus membuat film ini jauh lebih eksperimental dan lebih baik daripada kedua cerpennya itu.
Demikianlah, pembaca, ada ungkapan Latin kuno: De Gustibus Non Est Disputandum: masalah selera susah diperdebatkan. Dari Jalan Proklamasi 72, dengan segala argumentasi kami?yang mungkin tidak sama dengan penghargaan lain?inilah empat tokoh seni yang karya-karyanya kami anggap pada 2008 paling menarik: Afrizal Malna, Djenar Maesa Ayu, Tisna Sanjaya, dan Teater Satu Lampung.
***