Kemudian Saat Kau Katakan

Sutan Iwan Soekri Munaf
sinarharapan.co.id

Kemudian saat kau katakan cinta, aku percaya saja. Malam itu terasa berbunga-bunga, yang aromanya menyebar ke setiap sudut di kafe Dago Pakar. Bahkan aroma rumput yang membasahi hujan sore itu, sama sekali tak terasa. Apalagi cahaya bulan hampir penuh purnama semakin menambah denyar darah dalam nadiku berdenyut kencang. Dan remasan jemarimu pada jemariku terasa hangat.

Aku sandarkan kepalaku ke bahumu yang lebar. Dan kau pun merangkulkan tanganmu ke bahuku. Aku mendiamkan, ketika tanganmu merengkuh agak kencang. Aku merasakan kehangatan itu. Lebih hangat daripada berdiang depan perapian saat malam perpisahan sekolah kita di sebuah vila di Puncak.

Semua masih membekas dalam hatiku.
Walau kemudian kita harus berpisah, saat kau harus melanjutkan studi ke Prancis.

Kehangatan itu kembali berdenyar ketika kuterima surat-surat atau kartu posmu. Kisah-kisahmu yang kau coretkan di lembaran kertas atau kartu pos, seolah-olah kau duduk di sampingku di kafe Bandung Utara itu, dan bercerita dengan lancar tentang apa saja, termasuk gagasan-gagasanmu tentang masa depan kita maupun masa depan bangsa ini. Dan aku mendengarkan sambil merasakan kehangatan rengkuhan lenganmu, walau aku tidak mengerti saat kau lancarkan kritik kebobrokan oknum aparat yang korup. Baik saat mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM), atau membuat KTP, atau juga memperpanjang pajak STNK. Semua, katamu, adalah bentuk korupsi yang dilegalkan. Rakyat tak bisa berbuat atas perilaku aparat laknat. Konon katanya, oknum aparat. Aku seperti murid yang bodoh, mendengarkan celotehanmu tanpa mengerti, namun hanya merasakan kehangatan yang tak akan terlupakan.

Dalam suratmu itu, engkau katakan, hal itu sulit terjadi di Prancis. Mereka yang korup akan mendapat pelajaran setimpal. Tidak seperti di negeri kita, paling-paling kalau ketahuan, dipindahkan ke bagian lain. Tak pernah mendapat hukuman setingkat kriminal yang berat. Sungguh, aku tak mengerti pendapatmu itu. Pasalnya, di sini, semua orang ikhlas dikorup. Lantas, kalau orang ikhlas memberi, apakah itu korup juga? Entahlah.

Sampai tahun kedua, kabarmu menjadi pelipur rinduku. Nyaris setiap hari aku periksa kotak pos depan rumah. Ya, rindu menggebu itu terasa terpenuhi setelah membaca coretanmu. Dan hari menjadi berwarna, setelah sekian rindu membaca kabarmu. Walau banyak pelajaran lewat kata-katamu yang tak kumengerti, namun aku senang saja membaca suratmu.

Sampai suatu hari, aku membaca tulisanmu di koran nasional yang terbit di Jakarta. Aku kabarkan padamu, tulisanmu itu menggelegarkan masyarakat pembaca. Pemerintah seperti kebakaran janggut. Dalam tulisan itu, engkau bukakan pusat-pusat korup yang selama ini tak tersentuh. Banyak pro dan kontra tentang tulisanmu.

Tapi setelah tulisanmu itu, aku tak lagi menerima surat darimu. Aku berminggu-minggu menunggu, kotak pos selalu kosong melompong. Kerinduan itu makin menggebu.

Ketika Edward pulang liburan, dia sengaja datang ke rumahku. Sayangnya aku lagi KKN di daerah. Suratmu diberikan Edward pada orangtuaku. Dan dia pun pergi ke Medan menjenguk orangtuanya, yang kemudian dia langsung berangkat ke Prancis.
Ya, sekembalinya KKN, aku baca suratmu.

Aku memahami, bahwa engkau dianggap anasionalis, sehingga paspormu tak diperpanjang. Ya, engkau tak berwarganegara. Sampai selesai kuliahmu, engkau pun tetap tinggal di Paris. Dan waktu yang bergerak dan jarak yang memisahkan kita ini, telah terbentang lima tahun semenjak keberangkatanmu dulu. Aku tak tahu bentuk wajahmu, selain foto yang terselip dalam suratmu, yang berlatar belakang menara Eiffel, dengan di sana-sini terlihat salju turun.

Aku memahami, bahwa engkau mencintaiku. Begitu pun engkau tak menyesal, karena jiwa kritismu, kita terpaksa berpisah.
“Kenapa engkau tak ke Paris saja?” tanya Mimi, kakakku yang sudah beranak dua.
“Ke Paris?” tanyaku mengulangi.
Mimi mengangguk.
Aku menggeleng.

Percakapan kami ini diperhatikan Mama. Dan beliau hanya memberikan senyum penuh arti, dengan tatap cukup jelas pada Mimi. Mimi pun kemudian menuju dapur.

Kenapa aku tak ke Paris? Tanya itu menggema lagi saat mataku belum terpejam di kamar. Hingga jauh larut, Tanya itu mengejarku terus. Kalau aku mencintaimu, seharusnya aku menuju Paris, menemuimu. Tapi, apakah engkau masih Iwan yang dulu? Apakah engkau masih lajang? Apakah engkau tak tergoda pada gadis-gadis di Prancis itu? Yang paling penting, apakah engkau masih mencintaiku?
Keraguan itu berulang kali datang. Aku sulit mengenyahkannya.

Barangkali aku harus memahami realitas, tidak terpaku dalam romantisme yang tak jelas, bahwa engkau bukanlah Iwan yang dulu. Semua sudah berubah. Bahkan engkau makin hari makin dikenal di negeri kami sebagai pembangkang nomor satu, yang ingin melancarkan revolusi agar terjadi perubahan drastis pada republik kita ini. Kau menjadi selebritas. Aku sering mendengar pernyataanmu di radio-radio luar. Semua bernada minor terhadap pemerintah. “Republikku kini berada dalam genggaman diktaktor yang menyuburkan korupsi. Harus dilakukan perubahan secara radikal, agar menjadi republik yang demokratis,” pendapatmu di radio asing itu.

Di koran nasional, namamu makin lama makin buruk. Rakyat juga selalu diingatkan koran, bahwa engkau adalah pengkhianat. Yang selalu menjual negara kita pada kepentingan asing. Kalau saja aku tak mengenalmu, mungkin aku sudah berpendapat sama.
***

Kali ini aku menginjakkan kaki di Charles de Gaulle airport. Aku semangat sekali saat mendapat tugas dari kampusku mengajar, untuk mengikuti seminar di Paris. Semangatku ini, mereka kira, karena aku suka pada parfum. Mereka tidak tahu, Ratna bersemangat sekali ke negeri parfum ini, karena ingin menjumpaimu, Iwan.

Ya, perpisahan kita sudah lebih dari 30 tahun. Wajahku sudah dipenuhi keriput. Hm, ya, aku belum menikah. Mungkin itu pula yang mengecewakan Mamaku, sampai dia meninggal, selalu harapannya agar aku menikah.

Bagaimana aku akan menikah, karena sampai saat sekarang, aku belum ketemu denganmu. Aku harus mendapat penjelasanmu, tentang arti kata cinta dan bagaimana kelanjutan hubungan ini.
***

Selepas seminar, aku diantar seorang pelajar Indonesia ke kotamu, Perigaux. Dalam Renault-nya yang melaju di jalanan itu, Edi, pelajar itu menceritakan tentang dirimu yang gigih.

“Bu Ratna termasuk pengagum Pak Iwan?” Tanya Edi.
Aku hanya mengangguk.
“Sangat disayangkan, kritikannya kepada pemerintah tidak ditanggapi secara positif. Malah dia dimusuhi. Malah dikucilkan,” ujar Edi.
“Pak Iwan hampir frustasi. Sampai suatu saat, Gabrielle, salah seorang mahasiswinya, menyokongnya. Dan, sokongan ini pun terwujud dalam bentuk perkawinan. Padahal, jarang orang di Prancis yang mau terikat perkawinan,” tutur Edi.

Ratna terkesiap.
“Bahkan Pak Iwan sudah beranak sepasang. Gagah dan cantik.”
Pikiran Ratna semakin kacau.
Semakin kacau.
Kacau!

Bekasi, November 2008.

Leave a Reply

Bahasa ยป