Yurnaldi
kompas.co.id
Hanya satu hal yang bisa menggugah hari nurani warga. Bukan jejalan iklan calon-calon wakil rakyat Pemilu 2009 yang mengobral janji, dengan beragam bentuk media dan ukuran. Bukan pula tebaran papan reklame yang menyesaki kota, yang membuat warga semakin tergoda belanja. Satu hal itu adalah karya sastra.
Lihatlah, misalnya, ketika Nova, membawakan dua puisi masing-masing karya Arifin C Noer dan Sitok Srengenge, dengan nyayian rapp, Sabtu (10/1) di Taman Menteng, Jakarta, pada peluncuran Sastra di Ruang Kota oleh Dewan Kesenian Jakarta, warga betapa tergugahnya. Ratusan warga bagai menikmati aura kedamaian di hati. Begitu indah dinikmati. Berbagi rasa dengan penuh pesona sastra.
Jika selama ini karya sastra dinikmati di ruang-ruang tertentu dan sangat terbatas, oleh kalangan yang terbatas pula, maka dengan program Jakarta Biennale 2009, warga bisa menikmati pesona karya sastra melalui kaos, mural, dan stiker. “Program Sastra di Ruang Kota akan menebar teks-teks sastrawi secara luas, yang menghiasi tembok-tembok kota dan fasilitas-fasilitas publik,” kata Marco Kusumawijaya, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta.
Pelaksana Kegiatan Mirwan Adnan menambahkan, pada intinya Sastra di Ruang Kota merupakan program yang berusaha lebih mendekatkan karya sastra Indonesia kepada publik melalui berbagai media berupa 12.000 lembar stiker, 10 mural, dan 500 kaos yang dibagikan gratis.
Sekarang, jika Anda melewati Jalan Sultan Agung, Dukuh Atas, Stasiun Cikini, Jalan Pintu Kecil, Pasar Pagi, Stasiun Kereta Cikini, Jalan Piere Tendean, depan kantor Trans TV dan wilayah Semanggi, Stasiun Kereta Cakung, Kwitang, Jalan TB Simatupang, depan gedung Antam Tanjung Barat, dan depan Kebun Binatang Ragunan, maka terdapat mural-mural yang mengutip baik-bait puisi dan prosa bertema kota Jakarta, yang ditulis antara lain oleh Afrizal Malna, Ajib Rosidi, Arifin C Noer, Chairil Anwar, Eka Budianta, F Rahardi, Firman Muntaco, Goenawan Mohamad, Hamsad Rangkuti, Misbah Yusa Biran, Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, dan banyak sastrawan lainnya.
Di tengah kondisi jalanan kota yang macet setiap hari, setidaknya mural-mural di underpass bisa memancing perhatian dan menawarkan nilai kepada warga yang lewat. Demikian juga mural yang ditempatkan di stasiun atau di tempat rekreasi umum, tentu dengan harapan bisa dinikmati banyak pengunjung.
Selain karya sastra, kata Direktur program Jakarta Biennale 2009 Ade Dharmawan, juga ada disebarluaskan kutipan-kutipan berita dari koran tempo dulu yang terbit antara tahun 1900 sampai 1940.
Kritik
Boleh saja Marco Kusumawijaya menegaskan bahwa Sastra di Ruang Kota bertolak dari kondisi ibukota yang laksana arena. Memaksa belasan juta orang yang hidup di dalamnya bertarung memperebutkan ruang.
“Anak-anak kehilangan lapangan bermain karena telah diubah menjadi apartemen dan atau mal. Banjir saban tahun di ibukota tak lain karena hilangnya lahan hijau dan resapan setelah disulap menjadi perumahan,” katanya.
Artinya, karya sastra mencoba memrotes minimnya ruang-ruang berkesenian, ruang-ruang untuk berekspresi. Namun, jika dicermati kutipan-kutipan karya sastra dan berita yang ditampilkan, sebenarnya sebuah kritik sayang terkadang satir juga.
Baca misalnya, Sungai Tjiliwung jang miskin, tak kutahu dukamu/Duka jang tjoklat, merambati hidup lampau dan kini (Slamet Sukirnanto, Sungai Tjiliwung jang Miskin, 1967).
Atau, Para pembantu rumah tangga/Adalah tulang betis ibukota/Jakarta harus meminta maaf/Membayar kalian terlalu rendah (Eka Budianta, Stasi ke Enam Belas, 1986).
Cermati juga bait puisi Jakarta Arifin C Noer, 1980; Siang ini di Priok ada seorang kuli mati/tertusuk ganco temannya sendiri/tapi upacara bongkar gudang tidak boleh berhenti, sayang.
Tentang ibukota Jakarta yang rawan penyakit, ada kutipan berita dari surat kabar Bintang Betawi, 10 Juli 1902; Sekarang ino iboe kota Betawi, betoel ada sangat tergoedah oleh roepa-roepa penjakit. Tiada sadja sakit cholera, yang saben hari ada bawa banjak orang-orang kakoeboer, tapi sakit deman djoega sekarang ada mengoedah pri kawarasanja pendoedoek negri dari segala bangsa. Djoega toean-toean doctor di sini sekarang ada banjak jang sakit demam. Di mana-mana kampoeng ampir tiada ada satoe roema, dimana tiada ada oerang sakit demam.
Sastra di Ruang Kota sebuah gagasan yang patut didukung, guna mendekatkan warga dengan sastra. Menggugah hati nurani warga (termasuk pemerintah) dengan karya sastra.
***