Rahmat Sudirman
lampungpost.com
Sastra Indonesia tak bisa lepas dari “mitos” kebaruan. Namun, eksplorasi karya yang muncul pasca-1998, seiring tumbangnya Orde Baru, belum memperlihatkan mainstream yang kuat.
HARRIS Effendi Thahar dengan jelas melontarkan simpulan tersebut dalam diskusi Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1. Namun, lontaran sastrawan Sumatera Barat itu lepas begitu saja. Puluhan sastrawan yang mengikuti diskusi membahas capaian estetik puisi di Grand Hotel, Jambi, tanggal 8 Juli lalu seperti tak menganggap simpulan Harris itu sesuatu yang penting. Apatah lagi sebuah gugatan. Ataukah, pernyataan dosen Universitas Negeri Padang itu sejatinya bukan sesuatu yang baru, hingga menjemukan para sastrawan dan tak merangsang dibahas lebih dalam?
Dalam diskusi yang dimoderatori Sastrawan Lampung Isbedy Stiawan Z.S. itu, Harris menyatakan pasca-Chairil Anwar sulit menemukan sajak-sajak dengan capaian estetik yang mencolok. Yang muncul sebatas keragaman tema dan kekayaan pengucapan bahasa. Ini juga yang akhirnya mengantar Harris pada simpulan, booming puisi era 2000-an sejatinya belum memperlihatkan mainstream penciptaan yang kuat.
Bagi Harris, keragaman tema yang muncul pasca-1998 tidak terlepas dari perubahan pandangan sastrawan penganut Manikebu. Sastrawan yang percaya pada kredo “seni untuk seni” berubah orientasi. Yang jadi masalah bukan berorientasi ke Barat atau Timur. Yang perlu dipikirkan adalah kembali ke akar tradisi dalam proses dan capaian cipta seni terutama dalam penciptaan puisi. Begitu menurut Harris.
Namun, gairah kembali ke tradisi ini pada akhirnya juga tidak bisa menghadirkan “kebaruan”. Sutardji Calzoum Bahcri (SCB) juga pada akhirnya tidak bisa meninggalkan beban arti pada larik-larik sajaknya. Harris mencontohkan sajak Tanah Airmata-nya Tardji sebagai bukti yang memperlihatkan kesulitan pencetus kredo “membebaskan kata dari arti” ini keluar dari medan semantik. Semangat “kembali pada mantra”, yang diyakini Tardji sebagai bentuk awal dari kata, pun kehilangan orientasi. Ini juga yang dilihat Harris sebagai “jalan panjang” penyair menuju capaian estetik di antara dua dunia: Barat-Timur.
Pembacaan Harris Effendi Thahar akhirnya juga menyentuh karya-karya penyair menjelang akhir abas ke-20, seperti Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, Sitok Srengenge, dan Gus tf. Sajak Celana Joko Pinurbo yang serasa bermain-main ternyata memiliki keistimewaan. Kumpulan puisinya Di Bawah Kibaran Sarung juga mendapat tanggapan kuat. Dalam penilaian Harris, Joko Pinurbo berhasil menampilkan pembalikan atas diksi-diksi yang kerap muncul dalam puisi lirik selama ini.
Kesederhanaan kata dan antipoda diksi itu yang membuat karya Joko Pinurbo syarat kejutan. Kejutan itu berada pada logika akhir yang selalu tak terduga dan membalikkan logika umum.
Harris juga mencatat upaya penyair muda era 2000-an menghindari tradisi sajak lirik yang bermain dengan bunyi. Karya-karya Binhad Nurrohmat yang mengambil tema dan pengucapan “tubuh” berada pada semangat melawan tradisi lirik ini. Namun, Harris belum melihat semua itu sebagai bukti yang menandakan pencapaian estetik puisi mutakhir.
Ini untuk puisi, bagaimana dengan prosa? Guru besar emeritus IKIP Negeri Singaraja, Bali, Sunaryono Basuki dengan terbuka menyatakan prosa mutakhir memperlihatkan perkembangan yang mencengangkan dari segi tema, ide, maupun teknik penulisan. Perkembangan ini terjadi pada akhir abad ke-20 dengan munculnya penulis-penulis wanita yang belakangan dikenal dengan istilah “sastra wangi”.
Ayu Utami dengan Saman dan Larung-nya, Nukila Amal dengan Cala Ibi, Dee dengan Supernova dan Bintang Jatuh, Djenar Maesa Ayu dengan Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu), juga Cok Sawitri dengan Janda dari Jirah.
Di luar penulis wanita, Sunaryono juga mencatat prosais yang memuati tulisannya dengan riset. Karya-karya penulis ini tidak sebatas olah intuitif atau permainan imajinasi sastrawan yang memang kuat. Namun, prosa yang dilahirkan juga berisi penelitian yang tentunya dikemas dalam teknis prosa. Remy Sylado, Andrea Hirata, Kresna Hariadi, dan E.S. Ito masuk dalam catatan Sunaryono sebagai prosais yang membekali proses kepenulisan dengan riset. Penulis Ayat-Ayat Cinta, Habiburrahman El Shirazy, juga disebut Sunaryono sebagai novelis fenomenal yang menawarkan interpretasi tekstual ajaran Islam dalam karya sastra.
Bagi Sunaryono, perkembangan prosa mutakhir membanggakan dan mencengangkan. Gaya dan tema bervariasi. Penulis juga mampu menampilkan kisah lebih mendalam karena prosais mutakhir menulis karya yang jauh dari pengalaman pribadi.
Berhenti di Ruang Diskusi
Pernyataan Harris Effendi Thahar dan Sunaryono Basuki itu cukup merangsang perbincangan. Harris dengan pembacaannya akhirnya menarik kesimpulan puisi-puisi mutakhir kita belum memberikan capaian estetik yang kuat. Sunaryono dengan pengakuannya menyatakan prosa mutakhir sungguh mencengangkan.
Namun, itu bergema sebatas ruang diskusi. Para sastrawan yang mengikuti TSI–dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan–seperti tidak terangsang memasuki wacana yang digulirkan Harris dan Sunaryono.
Memang muncul pertukaran wacana. Penyair Diah Hadaning dan Yvonne de Fretes, misalnya, langsung menanggapi pernyataan Sunaryono. Dua penyair wanita ini tidak menerima pernyataan pensiunan guru besar itu, yang menyatakan capaian prosa mutakhir antara lain terwujud karena pilihan penulis pada tema-tema yang selama ini dijauhi: tubuh dan seks.
Bagi Diah dan Ivonne, sulit membayangkan puisi-puisi mereka secara terbuka memuat kata “penis” atau “mani”. Bagi dua penyair ini, puisi tetap tidak bisa lepas dari fungsi moral.
“Bagaimana dengan penyair yang terus berkarya di luar wilayah tubuh dan seks itu, apakah mereka tidak bisa mencapai kebaruan?” tanya Diah Hadaning.
Afrizal Malna punya pendapat sendiri tentang kebaruan. Penyair eksentrik yang kental dengan konsep dadaisme dan diksi-diksi urban pada puisinya ini menganggap tema atau kepenulisan prosa mutakhir bukan pembaruan. “Mereka hanya memilih bidang yang selama ini tidak ditulis penulis lain. Itu bukan pembaruan,” ujar Afrizal.
Sayang, perbincangan yang menghadirkan sastrawan cum doktor Harris Effendi Thahar dan Sunaryono tidak mampu merangsang diskusi lebih luas dan dalam. Harapan akan terjadinya aliran pandangan para sastrawan menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Mungkin seperti inilah forum para sastrawan. Ada semacam ewuh pakewuh membahas karya orang lain, karya sesama sastrawan. Karena pada dasarnya, pembicara atau pemateri juga bagian tak terpisah dari dunia sastrawan itu sendiri.
Din Saja, penyair dari Aceh, misalnya, mengkritik model diskusi yang cenderung satu arah. Penataan ruang juga jadi sorotan karena memosisikan sastrawan dengan pemateri berhadap-hadapan. “Ini kan forum sastrawan, sebaiknya kita seperti di ruang ini (lobi, red) jadi pembicaraan bisa mengalir.”
Penyair muda Marhalim Zaini juga menyayangkan penyelenggaraan TSI yang tidak digarap serius. Ia mengira ada pembahasan tema tertentu, semisal membicarakan tren kepenulisan atau membahas karya yang sedang booming semacam Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman. Namun, penyair asal Riau ini tidak menemukan apa yang diharapkan.
Atau memang TSI 1 hanya sebagai awal dan Jambi sebagai pencetus? Sayang memang jika forum sebesar TSI yang dihadiri para empu sastra hanya menelurkan antologi puisi Tanah Pilih dan kumpulan cerpen Senarai Batanghari.
***