Pulau Hatta dan Pulau Syahrir

D. Zawawi Imron *
jawapos.com

Ketika dibuang bersama Syahrir ke Pulau Banda, Maluku, Bung Hatta kerepotan untuk mengangkat dan mengangkut buku-bukunya yang beberapa peti, saat turun dari kapal laut di Pelabuhan Bandaneira. Untunglah, ada seorang anak kecil yang menghubungi beberapa penduduk untuk membantunya. Akhirnya buku-buku itu bisa dibawa dari pelabuhan ke rumah yang disediakan pemerintah penjajahan Belanda untuk Bung Hatta dan Syahrir.

Anak baik hati itu kemudian menjadi anak angkat kesayangan Bung Hatta. Namanya Des Alwi. Selama dalam pembuangan di Banda, Bung Hatta mendidik anak-anak Banda, termasuk Des Alwi, melalui sekolah sederhana bikinannya. Aneka bidang studi diajarkan Bung Hatta sehingga anak-anak pribumi Pulau Banda bisa mempunyai pengetahuan modern, tidak kalah dengan anak-anak Belanda yang ada di Banda.

Karena dekat dengan anak didik dan masyarakat Pulau Banda, kedua orang buangan itu tidak merasa kesepian. Bahkan dengan pergaulan yang penuh persaudaraan mereka bisa membaca hati nurani rakyat, sehingga kemudian suara dan jeritan hati rakyat menjadi bagian dari suara nuraninya. Pemimpin sejati memang harus mampu mendialogkan suara rakyat dengan suara hatinya sendiri, sehingga yang diperjuangkan adalah kepentingan rakyat, bukan kepentingan dirinya sendiri.

Peristiwa Bung Hatta dan Syahrir dibuang ke Banda itu, dikisahkan Des Alwi bersama Prof Dr Emil Satin, Dr Taufik Abullah, penyair Taufiq Ismail, dan lain-lain mendapat anugerah gelar ”Tuanku” dari Kerajaan Pagaruyung. Batusangkar, Sumatra Barat, pada pertengahan Desember 2008. Des Alwi bukan hanya menjadi anak didik Bung Hatta, tapi juga menjadi anak angkat proklamator RI itu. Dia kemudian menjadi diplomat Indonesia di luar negeri. Berkat prestasinya menjadi diplomat itulah, para datuk di Ranah Minang sepakat untuk memberikan gelar ”Tuanku” pada Des Alwi.

Tidak kalah menariknya cerita Des Alwi tentang penghargaan orang Maluku kepada Bung Hatta dan Syahrir. Menurut Des Alwi, dalam sambutannya saat mendapat gelar ”Tuanku”, jasa Hatta dan Syahrir kepada orang Banda hingga sekarang tetap dikenang dengan indah. Orang Banda sangat menghargai sejarah. Maka, nama Hatta dan Syahrir pun kemudian dikukuhkan menjadi nama pulau. Di sekitar Pulau Banda, sekarang ada Pulau Hatta dan Pulau Syahrir.

Pemberian nama itu tidak lain sebagai bagian dari refleksi masyarakat yang tidak ingin melupakan sejarah, tanpa harus memitoskannya. Bung Karno pernah berkata, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.

Itulah mengapa ada nama Jalan Soedirman, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Gajah Mada, dan lain-lain. Tempat-tempat penting seperti bandar udara juga diberi nama pahlawan, seperti Bandara Juanda, Bandara Adisucipto, Bandara Halim Perdana Kusuma, dan lain-lain. Bahkan kota-kota di luar negeri ada yang menggunakan nama pahlawan. Misalnya Lenin di Rusia dikukuhkan pada Kota Leningrad. Ibu kota Vietnam sekarang Ho Chi Minh, juga nama pahlawan negaranya.

Menghormati pahlawan tentu bukan sekadar membanggakannya, lebih dari itu untuk meneladani semangat perjuangan dan pengorbanannya. Cinta kepada bangsa dan tanah air memerlukan contoh konkret dari sejarah, tingkah laku serta keihlasan para pahlawan.

Pada zaman krisis keteladanan atau zaman edan saat ini, mencari spirit dari sejarah sudah sepatutnya dilakukan. Dalam membaca sejarah, memang tergantung kecerdasan si pembaca. Kalau ia menganggap bahwa spirit pahlawan perlu dinyalakan agar berkobar dalam dirinya, maka sejarah kegemilangan satu bangsa akan berlanjut. Tapi, kalau ia membacanya dengan jiwa yang loyo dan tanpa refleksi, maka sejarah telah mati. Keterpurukan akan melanda.

O, ya, Ibu Kota Papua dulu mempunyai nama Sukarnapura, tapi era Orde Baru mengubahnya menjadi Jayapura. Karena Bung Karno merupakan proklamator dan pahlawan, apa salahnya kalau nama Sukarnapura dikembalikan lagi menjadi nama ibu kota provinsi paling timur di Indonesia itu.

Bangsa yang sehat lahir batin akan selalu berdialog dengan sejarah para pendahulunya, sehingga lahir spirit yang segar dan tegar untuk menjawab tantangan zaman.
***

*) D. Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1982.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *