http://www.lampungpost.com/
Pertanyaan Kepada Kawan
Serupa sepoi aku datang padamu
menjinjing bening hujan yang pernah gigilkan tubuh kita
dan dengan cara paling santun
kuantar aroma kenanga dan harum melati
juga kenangan sekian ruas simpang yang telah kita lunaskan
tapi ini kali
engkau catat muslihat dengan bahasa amat paripurna
hingga segala cuaca tak lagi terbaca
sedang rinai yang pernah pecah di wajah kita
menjelma dongeng tentang negeri jauh
Kawan
di penghujung musim ini, padamu aku bertanya
ke lautan mana perahu ini mesti kita layarkan
saat gelombang tak lagi terpahami?
Bandar Lampung 20 Mei 2008
Lelaki Pengembara
Sebagai petualang
biarlah aku menjadi renta di batang-batang sajak
mengembarakan gelisah di belantara kata
lewat desau yang taburkan harapan
ketika batang usia kian ranum di kepala
dalam gigil
kutulis sepi juga luka
dan menyimpannya menjadi legenda
atau dongeng lengang kebun kopi yang rekah
ketika panas matahari pecah di ubun bebatuan
Lalu pada laju waktu
kubaca tanda demi tanda
serupa erik jangkrik
dendang siamang
senandung gugur daun sonokeling di pipi tebing
Jangan bertanya bilakah aku pulang
sebab semesta adalah rumah singgah
tempat beristirah
sekadar menggenapkan bilangan takdir
sebelum benar-benar sampai pada tuju
Dan ini kali dengan menunggang angin
aku jelajah kisah kanak di kampung halaman
kesah ayah di musim basah
keinginan-keinginan
juga kamu
yang selalu gagal aku lupakan
sedang istiadat biarlah menjadi pagar depan rumah
batas antara harapan dan kenangan
Simpang Propau, November 2008
Meditasi
Di detak jam
malam merapat diam-diam
pucuk-pucuk larut melambai di siut angin
dan gigil
adalah lelaki yang menjahit sunyi
di remang bulan sabit
sebab sejarah
tinggal silsilah
berselimut lumut
Sedang kita
hanyalah jalang yang selalu bimbang
bagaimana menjaga sejarah
hingga sepakat menulis peta sendiri-sendiri
Simpang Propau, Agustus 2008
Seperti Angin Kepada Ilalang
Seperti angin kepada ilalang aku menjumpaimu
dengan embus paling laun kuukir senyum di bibirmu yang ranum
atau menuntas gelisah di puncak kerling matamu
lalu pada rindang bulu lentik
aku bangun rumah istirah
tempat di mana waktu kita habiskan
Seperti angin kepada ilalang aku sampai padamu
menari dalam liuk paling santun
lalu di batas lelap
kubiarkan engkau rebah di bahuku
dan pada setiap sempat aku basuh gelisahmu
walau ribuan dentam jam harus aku habiskan
Seperti angin kepada ilalang aku mencintaimu
terus berembus
Tak habis-habis
Bandar Lampung, Februari 2009