kompas.com
Sepasang Maut
kami dikejar-kejar bayangan laut yang menyimpan maut
setiap sudut ruang dan kegelapan
menyisakan takut dan rasa kalut
di mana peristirahatan paling nyaman
jika kamar begitu menakutkan?
kami yang suatu pagi dibangunkan gemetar bumi
tak hendak menjadi saksi
karena inci demi inci tubuh kami mulai mati
oleh haru dan rasa nyeri
waktu beringsut
menyeret kami pada putaran yang itu-itu juga
: bau mayat dan barisan panjang pusara
begitu saja kami dijegal. mimpi kami dicekal, dan rencana-rencana
menjadi batal. tak ada yang berniat menggali kubur,
tak ada yang berkehendak mengambil cangkul
kami hanya digayuti rasa lelah dan capek menyaksikan
banyak peristiwa penting dan tak penting lainnya
menumpuk, membukit, tumbuh serupa cerobong
mengalirkan larva dan pijar api
begitu-begitu saja.
sebagian kami memilih lembur
sebagian meminum obat tidur
sepasang pengantin lelap oleh haru biru
subuh begitu bening
penuh dengan rencana dan harapan
pagi semestinya suka cita
yang riang. di mana matahari membuncahkan berkah;
kami bekerja dan anak-anak sekolah
ini pagi lain yang tak kami temukan dalam mimpi sekalipun
bahkan sekadar ingatan pun betapa enggan
ia datang tanpa mengetuk pintu
menggantungkan kematian di tiap dinding
sejak kini, rumah menjelma hantu
kamar serupa maut yang mengintai siapa saja
tempat yang paling aman sekalipun
menyimpan kesumat dan bara dendam
oh, sepasang pagi yang menjelma sepasang maut
mengintai kami dan penjuru kota
kami dikejar-kejar bayangan laut
yang menyimpan maut
setiap sudut ruang dan kegelapan
menyisakan takut dan rasa kalut
Yogyakarta, 30 Mei 2006
Aubade
I
tidak ada yang tahu berapa musim berlalu
hilir cuaca entah ke mana menampung rindu
dan kesakitan melahirkan cinta
serupa bait puisi yang kau eja malam-malam
tak ada yang bisa memastikan
setelah ini
sebuah subuh lain entah menelan siapa lagi
pagi lain akan menempelkan luka pada siapa
II
kami serupa anak-anak burung yang ditinggal mati induknya
menyisakan ulat-ulat menggila di samping kami
sampai kami tumbuh dan liar oleh rangka ibu sendiri
selalu saja kelahiran baru
menyisakan bangkai bagi kehidupan sesudahnya
selalu saja sejarah tertoreh darah dan air mata
adakah abad-abad bergantung pada
putaran bandul yang sama?
ia, waktu celaka itu, tak sungguh-sungguh pergi
sejak kini; ia menjelma apa saja
bagi kematian dan dukacita
Yogyakarta, Mei 2006