Ign. Haryanto, Arief Kuswardono, Wahyu Dhyatmika
http://majalah.tempointeraktif.com/
SUATU Minggu sore di Plaza Senayan. Sebuah panggung terbuka dengan latar belakang pekat. Sebuah layar televisi megah. Sementara itu, dua buah kamera menyorot orang lalu-lalang serta sejumlah orang berjas berbincang-bincang di tengah arena atrium itu. Para pengunjung yang kebetulan lewat menyempatkan diri menengok ke arena keramaian tersebut, sebelum kembali melenggang menyusuri deretan pertokoan mewah itu.
Sungguh menakjubkan. Panggung yang lebih mirip arena pameran fashion itu ternyata sebuah pesta sastra. Buku Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, pekan silam, dinyatakan sebagai pemenang Khatulistiwa Literary Award, sebuah penghargaan sastra yang baru diselenggarakan pertama kalinya tahun ini. Berbeda dengan penghargaan karya sastra yang ada selama ini, yang diselenggarakan di pusat-pusat kebudayaan, pesta Khatulistiwa terkesan lebih funky. Sederetan pendukung acara ini yang menghiasi panggung hitam itu adalah kantor auditor Ernst & Young, Honda, Hilton, Secure Parking, Bolpoin Mont Blanc, Plaza Senayan, dan Toko Buku QB.
Gagasan ini datang dari Richard Oh, pemilik Toko Buku QB, yang menganggap selama ini belum ada penghargaan sastra di Indonesia yang memberikan hadiah yang cukup layak bagi penulisnya. Untuk itu, berkat dukungan sponsor, panitia Khatulistiwa menyediakan uang tunai Rp 30 juta bagi pemenangnya. Lalu, bagaimana jalan seorang sastrawan untuk mencapai kemenangan ini? Cukup unik.
Penghargaan ini berlangsung dengan melibatkan 45 orang juri yang terbagi dalam tiga tahap. Para juri tak pernah ketemu muka untuk mendiskusikan hasil pilihan mereka. Mereka hanya dimintai rekomendasi untuk menominasikan 10 buah karya sastra?bisa berupa kumpulan cerpen, kumpulan puisi, ataupun karya prosa?yang kemudian hasilnya langsung dikumpulkan oleh staf dari kantor Ernst & Young. Hasil nominasi awal mengumpulkan 48 judul karya sastra yang terbit dari bulan Oktober 2000 hingga September 2001. Dari sini terpilihlah 10 judul nominasi. Juri tahap II akan memilih lima karya dari 10 nominasi tersebut. Akhirnya, lima orang juri tahap III?di antaranya Bakdi Soemanto, Melani Budianta, dan Sapardi Djoko Damono?memutuskan karya yang terbaik tahun ini.
Sistem penjurian itu toh dikritik beberapa juri. Nirwan Dewanto, yang sempat menjadi juri tahap awal, mencatat bahwa juri akan cenderung memilih karya sastra secara random atau tak mengetahui karya yang dinominasikan dengan cukup baik. “Bisa saja juri tak membaca semua karya sastra tersebut,” kata redaktur jurnal Kalam itu.
Selain itu, menurut Nirwan, ada kesulitan tersendiri untuk membandingkan karya puisi dan karya prosa dalam kategori penghargaan yang sama. Belum lagi kesan kesenjangan dalam mempertandingkan kumpulan sajak lengkap yang merangkum karya selama 40 tahun dengan karya penulis yang baru mulai menulis. Namun, Budi Darma, dosen pascasarjana di Universitas Negeri Surabaya, mengatakan bahwa ia tak menemui kesulitan untuk menilai karya sastra dari berbagai genre. “Yang terpenting adalah sejauh mana karya sastra bisa memberi kekayaan batin bagi pembacanya. Beberapa baris puisi bisa lebih kaya dibandingkan dengan ratusan halaman novel,” kata penulis novel Olenka itu.
Richard Oh mengakui bahwa beberapa kelemahan yang terlihat dari Khatulistiwa Literary Award (KLA) pertama ini akan menjadi pemikiran untuk penyelenggaraan berikutnya. Ia optimistis KLA?yang menghabiskan biaya Rp 100 juta?bisa berlangsung tiap tahun. Ia bahkan merencanakan tahun depan ingin memperbesar jumlah hadiah?kalau bisa sampai Rp 50 juta.
Harus diakui, kehadiran KLA merupakan alternatif baru untuk penghargaan sastra di Indonesia. Selama ini, lembaga lain yang menyelenggarakan acara serupa adalah Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Lontar. Namun, jauh dari gebyar-gebyar lampu neon mal, kedua lembaga yang lebih dulu hadir itu terkesan lebih adem-ayem. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), misalnya, sebenarnya sudah memberikan penghargaan sastra sejak 1970-an. Sayangnya, DKJ tidak memiliki program rutin untuk lomba sastra tersebut. Setelah tahun 1998?dengan Saman karya Ayu Utami sebagai pemenangnya?belum ada lagi lomba serupa yang dilangsungkan. Keterbatasannya, biasa klasik, dana. Hamsad Rangkuti, anggota DKJ, mengatakan bahwa untuk setahun saja paling-paling komite sastra diberi jatah menjalankan dua buah program, yang nilainya tak lebih dari Rp 15 juta. Soal jatah dana itu, DKJ hanya pasrah menunggu kucuran dari Yayasan Kesenian Jakarta. “Kami jadi cuma mengusulkan program,” kata Hamsad.
Sementara itu, Yayasan Lontar baru tahun ini memberikan penghargaan sastra, yang dikaitkan dengan perayaan 15 tahun kehadiran mereka di Indonesia. “Rencananya ingin buat tiap tahun atau paling tidak dua tahun sekali,” kata John McGlynn dari Yayasan Lontar. Berlainan dengan sistem penjurian Khatulistiwa, Lontar membentuk tim juri yang terdiri atas lima orang, yaitu Riris Toha Sarumpaet, Melani Budianta, Sapardi Djoko Damono, Nirwan Dewanto, dan John McGlynn. Penghargaan Lontar tahun ini jatuh pada buku kumpulan cerpen Gus Tf. Sakai dan kumpulan sajak Joko Pinurbo.
Bertambahnya penghargaan sastra tahun ini bukan hanya menunjukkan sebuah apresiasi terhadap karya. Hadiahnya, bagi Goenawan Mohamad, “sangat besar untuk sebuah kumpulan puisi dan sangat bisa membantu produksi kesusastraan. Semuanya sudah saya sumbangkan untuk (jurnal kebudayaan) Kalam.”