Majapahit danDemak Menjadi Bukti Nyata
Dody Wisnu Pribadi
http://cetak.kompas.com/
Kegagalan kebudayaan era Indonesia modern sesungguhnya punya jejak jelas. Hal itu karena kekuasaan yang tumbuh berbasiskan pedalaman telah meninggalkan basis kebudayaan pesisir. Padahal, sejarah Majapahit dan Sriwijaya serta era pertumbuhan Islam Demak di pesisir utara Pulau Jawa membuktikan kemajuan peradaban yang dicapai justru karena berbasiskan ekonomi dan politik budaya pesisir.
“Kemunduran ini terjadi-dalam pandangan kajian postmodern-karena pesisir telah diposisikan sebagai mereka atau liyan (the others) yang diabaikan dalam pengambilan keputusan,” kata Dr Arif Budi Wurianto, pengajar di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (15/1).
Ia menyatakan hal itu saat tampil sebagai salah satu narasumber dalam seminar internasional bertema “Cultivation of Education in Islamic Perspective and Pesisir Culture” (menumbuhkan pendidikan dengan sudut pandang Islam dan budaya pesisir) di kampus UMM. Beberapa narasumber internasional yang hadir adalah Prof Dr Gholamreza Aavani, Direktur Institut Filsafat Iran; Prof Dr George F McLean dari Universitas Katolik Amerika Serikat; serta sejumlah pakar dari Afrika Selatan, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan perguruan tinggi Islam lainnya.
Arif mengutip wacana yang pernah disampaikan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yakni pendekatan berbasiskan pesisir seharusnya digunakan sebagai sumber kebijakan politik negara. Hal itu karena berbagai keunggulan kebudayaan pesisir yang sudah diketahui mendorong pada kemajuan ekonomi, yakni kekayaan 17.000 pulau, 400 bahasa lokal, 250 suku, dan panjang pantai 87.000 kilometer, yang merupakan sumber ekonomi luar biasa besar.
“Majapahit, yang pernah jaya sampai Afrika Selatan, adalah pemerintahan berbasiskan kepulauan (archipelago) yang menjadikan pesisir sebagai area terbuka dan pusat kekuasaan politik serta komersial,” kata Arif.
Setelah Majapahit, Kerajaan Demak adalah bukti keberhasilan berikutnya, yang dengan pengaruh Islam telah menjadikan pesisir sebagai basis kekuatan politik. Hal itu memunculkan puncak kebudayaan pesisir, yang secara menakjubkan menandai era produktivitas karya-karya sastra Islam pada era wali, yakni khazanah sastra suluk, terbentuknya sistem pendidikan berbasiskan pesantren, hubungan sosial egaliter, dan kekayaan kesenian pesisir.
Semua kejayaan itu memudar ketika kekuasaan bergeser dan sekaligus surut ke pedalaman pada periode Mataram (1575-1755), yang berdasarkan politik teritorial dan birokrasi. Pada era itu struktur kekuasaan berpusat di kota (kutha) dan lawannya di luar kota, termasuk di pesisir yang disebut mancanegara (luar negeri) seperti Bali, Blambangan, serta Makassar.