Damiri Mahmud
lampungpost.com
SANG Empu dikelilingi beberapa muridnya. Langit sedikit gelap. Tak ada angin. Burung-burung masih hinggap di pepohonan, bersahut-sahutan, mungkin memberitakan ziarahnya hari itu dan perolehan rezeki dari padang ke padang.
“Maukah kamu mendengarkan sebuah kisah, Muridku?”
“Tentu Guru,” murid menjawab takzim. “Kami akan menelaahnya baik-baik.”
“Terima kasih, Anak…” menggenang pelupuk matanya. “Kisah anak manusia di negeri yang jauh, tapi sangat mirip dengan kita, baik tubuh dan tingkah lakunya.”
“Barangkali kisah kita sendiri, Guru?”
“Dengar sajalah, Muridku.”
“Ya, Guru…”
“Tolooongng…” itu bukan jeritan. Berasal dari seseorang, entah siapa. Yang pasti salah seorang penduduk negeri itu. Hanya semacam keluhan. Tentang suatu hal yang ia sangat riskan memikirkannya. Mungkin pula dia mengeluh pada seseorang di hadapannya atau sekelompok orang atau semua yang ada di sana. Mungkin juga kepada kita. Atau hanya pada diri sendiri. Itu tidak penting benar, Anakku. Dengarlah seterusnya…
“Tolong beri tahu tentang sebuah kepala. Kepala berserakan di mana-mana. Bertimbun di mana-mana. Menggunung di mana-mana.”
“Aduh, Guru. Apakah mereka sedang berperang?”
“Mereka baik-baik saja. Sekarang aku teruskan.”
“Hamba, Guru….”
“Sekarang ada tender satu triliun satu kepala!” cetus suara itu lagi.
“Maaf, Guru. Apa artinya kata-kata itu?”
“Dia menyatakan keheranannya atas penawaran atau harga kepala itu yang luar biasa besar, yang engkau dan keluargamu makan-minun selama seribu tahun dan engkau bangunkan rumah berpuluh-puluh ribu banyaknya, jumlah uang itu masih belum habis juga sebagai pembayarnya. Sudahlah! Engkau tak akan pernah paham kalaupun kusebutkan berulang-ulang.”
“Baik, Guru. Tapi…” murid itu takut-takut. “Ada apa tentang kepala itu?”
“Inilah yang mau kukisahkan. Dengarlah!”
“Ampun, Guru.”
Seorang kere menemukan sebuah kepala. Dibolak-baliknya. Masih utuh, gumamnya. Biasanya ia tidak tertarik. Diangkatnya dekat ke hidungnya. Belum bau, gumamnya lagi. Malah ada aroma harum yang menyegarkan kerongkongannya. Kuambil sajalah, putusnya.
Karena temuan yang satu ini dirasanya unik, tak dimasukkan goni plastik tempat barang butut yang biasa diperolehnya. Dicantolkannya saja di ikat pinggangnya yang dibuatnya asal-asalan dari tali plastik. Lalu dia jalan ke mana-mana dengan goni dan cantolannya mencari timbunan dan barang bekas lain untuk penambah penghasilannya. Dalam hatinya, kepala temuannya itu mau digantungkannya saja di dinding kardus gubugnya sebagai hiasan. Jelek-jelek juga dia kan manusia. Perlu hiburan.
“Kejam sekali, Guru,” ujar seorang murid lagi. “Sepertinya bukan kisah tentang manusia.”
“Ah, Muridku!” Sang Empu menarik napas. “Engkau belum bertemu dengan sebuah keadaan sehingga makhluk itu sama saja nilainya. Belajarlah dulu, nanti akan tahu!”
“Maaf, Guru….”
Ia mendengar suara klakson, ah biasalah, setiap hari ngelampah di jalan raya. Tapi yang sekali ini berkepanjangan, ttttttteeeeetttttttttt, tttttttuuuuuueeeeeettttttt, sehingga dia menyumpah-serapah. Sialan! Sok! Eh, bukannya menjauh, mobil itu malah mendekat dan berhenti. Seorang lelaki berdasi, membuka daun pintu mobil dan tersenyum.
“Dijual, tu,…”
“Apanya…?!”
“Tuuu….! Kepala!”
Baru si kere tersadar kembali dan mendekap bawaannya.
“Ah, nggak, ah..! Sayang….”
Sesayang-sayangnya kere, kalau sudah disodori segepok kertas yang diidamkan dan dimimpikan itu, yang dibilangnya sayang itu pun segera berpindah tangan. Tapi, tidak sesederhana yang ia bayangkan sebagaimana mengilokan barang-barang bututnya sehari-hari kepada kulak.
“Apa itu segepok kertas, Guru?”
“Ya, uang. Duit, penukar barang. Sebagaimana engkau kusuruh membelikan terompahku.”
“Dijualnya, Guru?”
“Bukankah sudah kukatakan kepadamu, di negeri itu semuanya hanyalah barang? Benda, yang nilainya dapat dihitung dengan angka-angka.”
“Ya, Guru. Hamba betul-betul bodoh. Ampun…”
Dia dibawa ikut naik mobil menuju rumah si lelaki berdasi. Di sana ia dirawat para pelayan. Dimandikan dalam kamar mandi yang harum, masuk bak dan pakai shower, eh, apa itu namanya, air yang muncrat dari saluran pipa yang ujungnya dilubangi halus-halus. Enak kali, ah! Tak pernah dibayangkannya, akan pernah menemukan satu hari, seorang gelandangan yang sudah imun dengan ejekan, gertakan dan tendangan sehingga pantatnya sudah kebal, kini diperlakukan bak raja-raja, hanya karena telah menemukan sebuah kepala.
Pakaiannya yang kumal dan bau dicampakkan dan dibakar, sebagai menghabisi masa lalunya, meskipun ada terasa sedih dan terhina juga ketika dia menatap sekilas kain dekil ysng berubah jadi asap dan abu itu. Setengik-tengiknya, bau itulah yang diendusnya setiap menit, telah menjadi bagian hidupnya, menjadi angan-angannya, kerinduannya, akan terasa ada yang hilang kalau dia kehilangan bau itu. Hanya sekilas lalu sirna bersama padamnya gundukan arang itu ketika dia didandani dengan pantalon dan kemeja apik dan resik lengkap dengan jas dan dasinya sekalian.
Bengong dia menatap dirinya di cermin. Betul-betul terpelongoh. Dia, kere, yang setiap hari terlunta-lunta di sepanjang jalanan kota, mirip binatang, yang mampir di setiap tong sampah dan mencakar-cakar isinya yang busuk dan bau, kini tak ada bekasnya lagi. Hanya tinggal sinar matanya yang dungu, dan itu lebih karena faktor keterkejutan belaka. Sebentar lagi akan lenyap juga. Sekarang, tampangnya tak beda dengan seorang manajer sebuah perusahaan ternama atau salah seorang wakil rakyat yang terhormat!
“Nah! Sudah ganteng, kau! Sudah smart!” kata lelaki berdasi berseru. “Kita sekarang ke sana!”
Kepala itu sendiri telah dikemas rapi dalam kotak yang artistik dan bening serta mengeluarkan aroma harum dan sakral. Gelembung-gelembung udaranya mengeluskan sesuatu yang hening. Di luar sirene mengaum meminggirkan semua mobil dan kendaraan lapis baja di jalan raya. Fantastis. Sekali kere kita, ah, siapa namanya yang pantas kita sebut sekarang? Melongok dari kaca jendela mobil yang melaju. Dia berteriak. Mobil dihentikan. Para pengawal segera mengamankan dan mengapitnya. Seluruh bagian kendaraan diperiksa dan dideteksi. Tapi aman-aman saja.
“Ada apa, Pak?” sopan dan ramah. Kere terhormat kita, hanya melongo. Teriakannya hanyalah gumam melihat gundukan tempat ditemukannya kepala. Sial! Gegabah betul dia. Tapi ia membawa pengalaman baru yang lain. Bapak? Aduh, aduh! Bapak aku sekarang. Bapak. Dijaga keselamatannya, diperhatikan apa yang dikehendakinya. Dia barang berharga betul. Mobil jalan.
Prosesi dan arak-arakan begitu meriah. Dia dielu-elukan dengan gegap-gempita. Lantai jalan masuk menuju ruang utama telah dihamparkan permadani merah. Bunyi-bunyian telah ditabuh orang. Serunai dan nafiri bersahut-sahutan. Dan para penari berlenggang lenggok di hadapannya, bahasa gerak menyambut dan mengelu-elukan selamat datang.
Dalam kerapatan lengkap dan luar-biasa atau kakaplu telah diputuskan dengan suara bulat bahwa kere kita ditabalkan dengan gelar Sang Aksalinsor, dengan segala kemuliaan yang melekat padanya dan segala kemudahan yang berhak dimilikinya, dengan syarat kepala itu diserahkan menjadi milik negara. Barang siapa yang melanggar dan menyimpang dari ketentuan ini, akan diancam hukuman kurungan dan denda menurut yang diatur dalam perundang-undangan.
“Luar biasa….”
“Penting sekali kepala itu, Guru?”
“Ah, engkau! Belum dapat engkau bayangkan dengan pikiranmu itu.”
“Ya, Guru. Ampun sekali lagi.”
Kepala temuan Sang Aksalinsor telah diteliti dan diselidiki dengan saksama, yang untuk itu telah dibentuk Dewan Khusus atau Desus yang telah melibatkan para resi dari seluruh padepokan, ternyata inilah dia jenis yang dicari-cari sejak lama.
Bahkan, telah diperdebatkan bertahun-tahun, diumumkan lomba dan sayembara dengan hadiah yang luar biasa, dibuatkan kriteria dan undang-undangnya, dilakukan studi banding ke manca negara, berbondong-bondong mencarinya ke delapan sudut dan penjuru dunia, ternyata dia berada di depan mata kita, telah ditemukan oleh Sang Aksalinsor tanpa mengharapkan hadiah apa-apa.
Negeri kita ini memang serba-aneh dan membingungkan. Begitu simpul mereka, para pengetua negeri itu. Dan kesimpulan ini diambil dalam waktu yang cukup lama, dibahas dalam berbagai sidang terbatas yang menguras dana luar biasa. Tak terumuskan. Cobalah pikir. Mereka hampir saja mau menjual tanah airnya ini, tapi karena istilah untuk melembutkan pindah milik itu tak juga mereka dapatkan, meskipun mereka telah mengumpulkan ahli bahasa, kehendak itu lama-lama menjadi urung.
“Ampun, Guru,” seorang murid gemetar. “Hamba tak dapat menahan diri. Tapi mengapa mereka hampir bertindak gegabah seperti itu, Guru? Ampun, Guru….”
“Engkau wajar, murid. Berarti engkau memperhatikan benar kisahku.”
“Terima kasih, Guru….”
“Mereka serbasalah. Mereka dihujat dari kiri dan kanan, bahkan oleh para suhu dari negeri-negeri seberang. Para pengetua itu dikatakan melakukan korupsi gergasi atas harta negara.”
“Korupsi, apa artinya itu, Guru? Kalau gergasi hamba tahu, raksasa….”
“Oo, Muridku, Muridku! Kata-kata itu sangatlah terkenalnya di sana. Melebihi siapa pun juga. Kasihan engkau. Tapi ada bagusnya juga. Begini, anak! Kalau engkau kuberi uang dan kusuruh membelikan jubahku, apa yang engkau lakukan?”
“Hamba akan melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya, Guru, mudah-mudahan. Hamba pilihkan yang sebaik-baiknya. Durhaka hamba, kalau terbersit setitik niat yang menyimpang dari amanat Guru, ampun Guru….”
Dalam rekomendasi yang dibacakan Setia Usaha Desus, disebutkan, inilah dia temuan yang sedang dicari-cari sejak lama. Kepala ini sangat ideal. Memenuhi segala persyaratan tentang apa yang sangat dibutuhkan negeri ini. Telah diselidiki dengan saksama, sorot matanya begitu memancarkan kewibawaan. Seseorang yang terpantul sinarnya, semua partikel kejelekan yang ada dalam tubuhnya menjadi sirna. Orang itu langsung menjadi kreatif. Dapat berusaha sendiri tanpa setiap hari membawa map masuk kantor keluar kantor ngemis jadi pegawai negeri. Dengan begitu, sorot mata yang berwibawa itu telah dapat menciptakan lapangan kerja dan membasmi pengangguran.
Embusan napasnya setara dengan sejuta mata sinso yang langsung dapat mengiris pepohonan dalam sejuta hektare hutan belantara seketika. Ini sangat menguntungkan eksploitasi produksi kayu karena berapa devisa yang dapat dihemat, kalau harus mengoperasi puluhan ribu begu setiap hari? Kalau dia menghirup, sekali teguk, satu danau bisa kering, laut bisa dikuras, dengan begitu para nelayan dapat menangkap ikan begitu saja, tak perlu cemas menghadapi topan dan gelombang. Rawa-rawa menjadi delta, bisa ditanami berpuluh juta petani dengan bibit unggul yang membahagiakan anak negeri.
Belum lagi kemampuan program yang tersimpan dalam jaringan otaknya. Kalau Einstein, Edison, Newton atau Stephen Hawkings sekalipun, maksimal 5 persen bagian otaknya saja yang mampu bekerja, setelah diselidiki di lab. ternyata reputasi otak kepala temuan kita ini sungguh luar biasa. Dia mampu menghadapi 77 masalah berskala besar sekali gus secara simultan dengan derap antisipasi dan solusi cumlaude.
Tak lupa, dalam akhir rekumendasinya, Desus yang terhormat menyimpulkan pasangan yang cocok dan ideal untuk Sang Kepala ini adalah penemunya sendiri, yang kini telah mendapat gelar Aksalinsor itu. Mereka telah menelitinya dengan cermat dan mengobservasinya di laboratorium, bahwa organ-organ tubuhnya memang unggul dan memiliki reputasi luar biasa pula. Kakinya memiliki tulang dan otot yang kuat dan pejal. Ini sangatlah menguntungkan dalam kondisi negeri kita yang seluruh jalan raya di kota-kotanya sudah terjebak kemacetan. Dalam keadaan begitu, apabila sedang dinas, beliau siap berjalan dan berlari tanpa lelah sepanjang hari, apalagi dia pun telah berpengalaman dan mengenal lekuk-liku kota ini sampai ke gang dan lorongnya yang terpencil dan terbecek sekalipun.
Kedua lengan dan jari-jemarinya pula, begitu terampil bekerja dan menyortir benda-benda yang ada dalam genggamannya. Dia dapat meraba dan mengenal sesuatu barang yang paling kecil dan sepele sekalipun, tanpa harus mengesampingkan apalagi membuangnya begitu saja. Dia tak segan-segan mengerjakan apa saja, siang dan malam, sehingga apa yang ada di depannya tak akan bersisa.
Apalagi nanti kepala itu sudah dilekatkan pula kepada pasangannya. Akan luar biasa. Dia tinggal mengangkat kedua lengannya saja, maka mengalirlah segala air kehidupan dari sana. Tak ada lagi air mata. Borok-borok dan segala penyakit yang mewabah dan membudaya disembuhkannya. Semuanya akan sirna. Inilah saatnya kita menikmati gemah ripah loh jinawi tata tenterem kerta raharja sebagaimana yang kita nyanyikan bersama itu.
Dengan upacara yang sangat khidmat, kepala itu pun diserah-terimakan kepada Pengetua Lela, ditutup dengan doa-doa. Tak lupa Sang Pengetua yang baru dilantik itu menyerahkan nilai yang telah disetujui bersama. Tapi upacara yang satu ini di bawah meja.
“Satu triliun untuk satu kepala?” suara itu lagi. Kini seperti bernyanyi mengiringi prosesi. Sepertinya ada bunyi musik yang mendayu-dayu, menyinggahi setiap anak telinga yang kedua helai daunnya masih terbuka.
Tiba-tiba Sang Empu tak dapat menahan hatinya, menembang menutup kisahnya di hadapan murid-muridnya tercinta, tentang sebuah wiracarita ketika Resi Bhisma maju ke medan laga membela tanah airnya dan kehausan di padang Kurusetra; lalu Arjuna melepas busurnya tepat di tengah kerongkongan yang sedang mendambakan seteguk air itu.
“Terima kasih, cucuku. Inilah yang aku tunggu-tunggu.”
Entah apa maksudnya.
***