Arif Firmansyah
http://www.ruangbaca.com/
Rasanya tak ada kata yang tepat untuk melukiskan sosok Maya Angelou kecuali ungkapan, “manusia serba bisa”. Namanya tak hanya melambung di satu bidang tapi juga beberapa dunia secara bersamaan.
Dalam dunia sastra, misalnya, Angelou bukan nama asing. Di pentas tari, namanya kerap dikumandangkan. Di tengah gemerlap para bintang Hollywood, ia mencuat sebagai perempuan kulit hitam pertama yang menjadi direktur produksi film. Lantas, sebagai penyanyi dan penulis lirik lagu, ia pernah populer dengan merajai daftar teratas tangga lagu terbaik.
Sebagai pemilik kulit gelap, bisa jadi Angelou “dikirim” Tuhan ke bumi untuk mewartakan bahwa kualitas manusia tak tergantung warna kulit. Tangan terampilnya pun melukis deretan prestasi. Dengan kulit hitamnya yang mengkilat, ia tampak bersinar. Ia ibarat mutiara yang mencuat dari tengah lumpur. Berpendar menerangi jalan-jalan yang dilewati.
Dalam keasyikannya melahirkan aneka karya, Angelou tak membenamkan diri di balik mesin ketik dan layar komputer. Ia juga mencuat di dunia nyata. Selain dikenal karena puluhan karya tulisnya, Angelou dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia. Dari sinilah, ia bertautan dengan tokoh besar hak asai manusia. Pada 1960 misalnya, ia diminta Martin Luther King Jr, menjadi koordinator utusan Amerika Utara dalam The Southern Christian Leadership Conference di Amerika.
Mantan Presiden Amerika Jimmy Carter pun menggandengnya dalam komisi nasional the Observance of International Woman’s Year pada 1974. Itu terjadi tak lama setelah ia kembali ke Amerika seusai pengembaraannya ke Mesir dan Ghana. Bahkan Presiden Gerald Ford juga memintanya untuk terlibat dalam the American Revolutionary Bicentennial Advisory Council. “Semua tugas itu aku lakukan berdasarkan cinta,” katanya.
Cinta? Kata itu kerap muncul dalam puluhan karyanya. Bahkan ibarat darah segar yang dipompa ke seluruh tubuh dan membuat jemarinya lebih ringan berkarya. Tugas terhormat manusia, katanya, adalah saat mampu mencintai. Nominee Tony Award lewat aktingnya dalam film Broadway debut in Look Away pada 1973 ini tak membayangkan hidup tanpa cinta. “Mungkin dunia ini bisa musnah,” ujarnya.
Kedalaman pemahamannya akan cinta, membuat jemari Angelou terus menari di atas kertas. I Know Why the Caged Bird Sings adalah segelintir karyanya yang sempat dinominasikan meraih Pulitzer Prize pada 1969. Begitu pula dengan Singin’ and Swingin’ and Gettin’ Merry Like Christmas pada 1976 dan Gather Together in My Name pada 1974 serta The Heart of Woman pada 1981.
Lewat buah tangan dan aktivitasnya, Angelou dikenal mampu bersikap tegas tapi tidak kaku. Sikap ini memang dibutuhkan ketika ia menegakkan hak asasi manusia. Perlakuan diskriminatif terhadap warga kulit hitam membuatnya sadar. Ia tak sekadar melahap buku tentang antidiskriminasi warna kulit. Ia melihat, menyaksikan, memahami sekaligus merasakan perlakuan itu. Karena itu ia memahami apa arti warna kulit bagi orang kulit putih.
Dalam sebuah wawancara Angelou pernah mengungkapkan uneg-unegnya yang mungkin lebih tepat disebut sebagai kekhawatiran warga kulit putih terhadap kulit hitam. Atau juga sebaliknya. “Aku hanya manusia biasa. Tidak ada alasan bagiku menjadi alien bagi orang lain,” katanya. Angelou seakan-akan ingin meyakinkan bahwa aktivitas hak asasi manusia bukan untuk kepentingan dirinya.
Tampaknya perempuan ini ingin menghapus batasan warna kulit. Ia tak ingin menjadi hantu bagi orang lain. Atau ia dihantui orang lain karena warna kulitnya. Upaya Angelou memang tak sia-sia. Selain puluhan karyanya diterima berbagai kalangan, Bill Clinton pun tertarik kepadanya. Begitu dinyatakan menang dalam pemilihan presiden Amerika, Clinton menelepon Angelou.
Clinton tak memintanya mengisi jabatan menteri atau sekretaris pribadi. Uniknya, ayah anak semata wayang bernama Chelsea itu memintanya untuk membuatkan sebuah puisi. Maka lahirlah On The Pulse of the Morning pada 1993. Puisi itu dikirim dan dibaca Clinton di malam inagurasinya. “Terima kasih atas kepercayaan pada saya untuk menulis sebuah puisi,” tutur penerima anugerah lifetime award sebagai guru besar studi Amerika di Universitas Wake Forest, Winston-Salem, North Carolina sejak 1981 ini.
Jika seorang presiden minta dibuatkan puisi, tentunya si penulis memiliki kelebihan. Puluhan karya yang diterbitkan mungkin salah satu referensi. Namun aktivitas dan keragaman yang dimilikinya merupakan nilai tambah. Angelou, seorang aktivis yang bisa menyelami dunia gemerlap Hollywood. Di saat menggandeng selebritis, kepedulian terhadap masyarakat kelas bawah tak berkurang. Perjuangannya menegakkan hak asasi manusia terus dijalankannya.
Angelou mungkin ditakdirkan sebagai mutiara hitam. Seperti Pele di dunia sepakbola. Ia lahir sebagai Marguerite Johnson di St. Louis, Missouri, 4 April 1928. Ia dibesarkan di Arkansas, tempat Clinton pernah menjabat gubernur negara bagian. Di masa muda ia pernah menjadi editor untuk The Arab Observer Kairo, Mesir sejak 1961-1962. Itulah satu-satunya koran berbahasa Inggris di Timur Tengah.
Sejak muda Angelou tergerak untuk selalu menulis. Dari sekian buku yang telah diterbitkan Angelou, ia tak pernah melupakan autobigrafi All God’s Children Need Traveling Shoes yang terbit pada 1986. Buku ini dianggap monumen pentahbisan dirinya sebagai penulis serba bisa dan ternama. Apalagi setelah menerbitkan Phenomenal Woman: Four Poems Celebrating Women untuk mendeklarasikan eksistensi wanita.