Rumpal Jejak

Rengget Dyaloka
http://renggetdyaloka.com/

Jelajak kaki yang membentang di sepanjang bibir pantai hingga entah itu menghantui setiap susur-langkahku. Aku begitu tertarik dan bersemangat untuk mengikutinya, meski aku tidak tahu dan tidak yakin apakah itu jejak manusia atau makhluk lain. Aku tidak peduli. Telapakku membeku, aku menipuinya hingga menimbulkan sensasi hangat, tentu saja sambil masih menelusuri jelajak yang tercetak di bebutir pasir putih Pantai Adamangan.

Pantai Adamangan adalah salah satu pantai yang miskin penghuni karena memang pantai indah itu terletak di pinggiran kota, juga tidak pernah disosialisasikan oleh Pemerintah setempat. Sayang sekali.

Sedangkan aku.

Aku adalah ?..

Aku adalah seonggok daging yang tiba-tiba datang dan mungkin saja pergi lagi. Aku hanya ingin menemukan rumpalan jiwaku yang hilang kemana-entah, jadilah aku melanglang, menyusur manapun yang ku mau. Demi rumpalan itu.

Gerigit dingin ini sungguh menyesakkan pernapasan. Aku sudah berusaha segigih mungkin menyembul-nyembulkan embus-hangat dari lambung. Tidak juga menghangatkan, malah membuat lambungku serasa kering. Ah!

Aku lupa belum makan malam. Tentu saja lambungku kering!

Entahlah, hanya saja, rasanya sayang menghamburkan uang hanya karena tuntutan lambung! Sial sekali! Kenapa rumpal satu itu selalu saja menuntut dan tuntutannya harus seketika itu terpenuhi. Untunglah aku beragama, jadi dalih puasa sajalah, biar si lambung terkecoh.

Kali ini daun kupingku sedingin es. Tentu saja aku tahu, aku memenganginya beberapa saat lalu meniupi telapakku lagi. Seketika aku teringat seharusnya membawa jaket atau sweater atau sarung lah? untuk berjaga-jaga, jangan-jangan setelah ini akan datang badai-dingin yang sampai- entah, setidaknya daging-biru-dingin bisa seketika teronggok di jalanan dengan lambung kering akibat badai menyergap. Ironis!

Masih saja? dengan lambung kering dan telapak serta daun kuping membeku? aku menyusur seperti ular pantai mengejar sosok-entah yang mungkin dapat membangkitkan gairah hidup? maupun petunjuk untuk mencapainya. Aku masih membutuhkan rumpal lain untuk menyokong rumpal-rumpal yang ada. Seharusnya bisa kutemui, saharusnya bisa kudapakan. Tapi dimana? Kapan? Bagaimana? Entah. Aku harus terus mencari, hingga ke ubun-ubun mungkin? Atau malah tersembunyi jauh di sela ketiak dingin yang menghampar berbagai zat busuk sisa ekskresi mineral? Entah. Entah!

Dalam gemetar dan gigi gemeletuk aku menangkap secercah cahaya dari kejauhan. Aku masih di bibir pantai, hanya saja agak jauh dari semula. Jelajak itu menuntunku untuk tak beranjak dari muara segala Kali yang terletak di dekatku itu, meski harus bergeser tepi, namun maih saja aku di tepiannya. Muara Kali itu. Pantai Adamangan.

Mataku menyipit.

Cahaya itu makin lama makin meredup.

Dari mana datangnya?

Dari entah.

*

Tepian lain dari Pantai Adamangan terasa lebih indah, lebih asing.

Aku hanya bergeser tepi, aku tahu.Tapi ternyata masih saja di tepiannya. Tepian Pantai Adamangan. Sehilangnya sergap-gelap yang membekukan daun kuping serta lambung, kali ini lamat-lamat hamparan jingga menuju cerah-hari menggagahi horizon. Aku menantikan fajar, ternyata.

Sudah lama kiranya aku menyusuri gelap dan juga jelajak itu! Sampai aku lupa bahwa fajar akan menjelang dan sudah dan kemudian berakhir berganti cerah-hari.

Jelajak-entah itu masih saja bersambung hingga-entah tentu saja. Menuju tepi-tepi lain sekitar Pantai Muara-Kali tadi.

Namun rumpal yang mungkin kutemu? dan memang sudah? terasa memenuhi onggokan-kosong daging-berjalan ini. Hanya saja tak lagi daging-berjalan tadi menjadi seonggok kosong tanpa arti. Sudah saja aku temukan artinya. Dengan bantuan jelajak tadi. Entah.

Padahal hanya bergeser tepi, tapi sudut baru untuk memandang terbit-mentari itu serasa begitu menggembirakan dan asing. Keasingan yang bisa dihayati.

Tapi lambungku masih kering.

Jakarta, 08 April 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *