Novel Sitok Srengenge puitis, nyaris ensiklopedik. Sayang, bahasanya dirusak suasana, susunan alur cerita, dan adegan yang tampak kacau.
Menggarami Burung Terbang
Pengarang: Sitok Srengenge
Penerbit: Metafor Publishing, Juni 2004
Tebal: 539 halaman
Peresensi: Faruk H.T.*
http://majalah.tempointeraktif.com/
Ini novel pertama Sitok Srengenge, sosok yang lebih dikenal sebagai penyair daripada penulis prosa, baik cerpen maupun novel. Tapi sungguh mengejutkan, novel pertama ini relatif tebal, 539 halaman. Dari segi tebalnya, novel ini bisa disejajarkan dengan Arus Balik Pramoedya, Para Priyayi Umar Kayam, sejumlah novel Remy Silado, dan juga sebuah novel pemecah rekor dalam ketebalan karya Eka Kurniawan.
Namun, ketebalan novel ini sangat bertentangan dengan isi cerita utamanya. Jika disarikan, isi cerita novel ini mungkin hanya satu alinea. Ronggo Waskito, seorang kepala keluarga yang dihormati di desanya, banyak membantu kegiatan Guru Dario, seorang aktivis PKI. Karena itu, ia kemudian dituduh terlibat organisasi terlarang itu dan diciduk. Sewaktu ia diciduk, orang desa tidak membantu tokoh yang mereka hormati itu karena mereka mencari keselamatan dirinya sendiri. Bahkan anaknya dan menantunya sendiri, seorang tokoh Ansor, ikut terlibat dalam penangkapannya. Selesai. Cerita ditutup dengan kisah mengenai penceritanya, sang dalang. Sederhana, tapi kenapa begitu tebal?
Pertama, novel itu tidak hanya menceritakan perjalanan hidup tokoh-tokoh dalam cerita utamanya, tapi juga tokoh penceritanya?di dalam novel itu disebut “dalang”. Si dalang menjadi bingkai cerita utama, membuka, menutup novel, sesekali muncul, bahkan berbicara dengan salah seorang tokoh dari cerita utama, Setyawati, istri Ronggo.
Kedua, novel itu menceritakan riwayat panjang istri Ronggo dan mengaitkannya dengan tokoh wanita dalam legenda Angling Darma. Ketika asosiasi itu muncul, cerita Angling Darma atau cerita tentang anak yang menebar roti sebagai penunjuk jalan dari H.C. Andersen disampaikan dalam versi yang bisa dikatakan lengkap, menjadi sebuah bangunan cerita sendiri.
Ketiga, novel tersebut penuh dengan puisi. Maklum, yang menulis seorang penyair. Dan puisinya seperti kumpulan puisi Sitok sendiri: mendekati balada, puisi cerita yang panjang. Ada juga puisi-puisi lirik-simbolik yang menyerupai dan memang dimaksudkan menjadi semacam suluk dalam wayang.
Keempat, novel Sitok yang pertama ini dituturkan dengan cara menyerupai dalang wayang kulit, dituturkan dengan bahasa nan indah, terutama ketika ia menggambarkan adegan-adegan percintaan, pengembaraan yang menyerupai legenda Panji Semirang, dan sejenisnya. Penuturan secara puitis, dengan asosiasi kepada penuturan wayang dalam wayang, lengkap dengan puisi-puisinya yang menyerupai suluk, sebenarnya sudah dikerjakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerita bersambungnya yang kemudian diterbitkan sebagai sebuah novel yang juga sangat tebal. Namun, bahasa puisi Sitok cenderung dihancurkan atau dirusak sendiri, suasananya, oleh susunan alur cerita dan adegannya yang tampak kacau. Ia terkesan lebih sebagai usaha seorang yang berlatar belakang desa, pinggiran, dalam budaya Jawa, untuk menggunakan bahasa priayi dan bahkan istana. Wagu?. Seno jauh lebih kuat kesan kepriayiannya.
Kelima, Sitok dalam novelnya ini tampak sangat mudah terpesona oleh adegan dramatik, oleh suasana yang liris. Keterpesonaan itu membuatnya masuk ke gambaran yang dapat dikatakan sangat detail. Lihatlah ketika pengarang menggambarkan bagian-bagian kecil tubuh saat bersanggama, atau membuat jamu Jawa. Dalam hal yang kemudian ini, novel Sitok menjadi semacam ensiklopedi kebudayaan Jawa.
Kegandrungan Sitok pada adegan-adegan dramatik, kehidupan pedesaan yang eksotik dan aneh, membuatnya dibayang-bayangi oleh setidaknya dua penulis sebelumnya: W.S. Rendra dengan balada-baladanya, dan Ahmad Tohari dengan cerita-cerita eksotiknya. Cerita yang nyaris ensiklopedik. Namun, ada satu permulaan yang menarik, yang mungkin tidak terpikirkan oleh banyak penulis lain: bagaimana Sitok mentransformasi balada menjadi sebuah novel. Peluang itu sebenarnya sangat terbuka bagi Sitok, baik secara subyektif maupun obyektif. Secara subyektif, Sitok sudah sangat akrab dengan balada dan berhasil membangun semacam genre tersendiri dalam puisi-puisinya. Secara obyektif, balada itu sendiri merupakan puisi yang berbentuk cerita.
Bila dilihat dari bahan cerita utamanya, tampak bahwa Sitok sebenarnya menggarap masalah yang sudah tidak hanya basi, tapi bahkan busuk. Dan untuk itu Sitok tidak cukup hanya bereksperimen dengan bentuk. Ia harus mempunyai alasan tematik dan ideologis bagi eksperimen bentuk itu. Ini tampaknya merupakan masalah mendasar yang sangat perlu menjadi pemikirannya. Ia tampak lemah dalam persoalan tematik. Ia memang mencoba melihat peristiwa pasca-G30/S dari sudut pandang hancurnya konsep kerukunan desa dan bahkan keluarga Jawa. Namun, perspektif itu pun sudah menjadi semacam common sense.
Persoalan Sitok berikutnya tentu saja mempertalikan cara pandang itu dengan cara pandang terhadap cara bertuturnya. Menggunakan konsep kerukunan desa dengan cara bertutur priayi tidak terlalu tepat, juga dengan komposisi cerita yang kacau. Dalam konteks kerukunan desa, termasuk di dalamnya gagasan mengenai cakramanggilingan, situasi kacau hanya menempati ruang yang sempit dalam peta pemikiran masyarakat Jawa. Goro-goro, yang juga banyak disinggung Sitok, bisa memberikan legitimasi tematik pada komposisi cerita yang chaotic. Namun, dalam goro-goro, bahasa yang digunakan oleh wayang tidak lagi bahasa kromo. Yang keluar punakawan dengan bahasa ngoko.
Garam yang diberikan Sitok kepada masakan lama?persoalan PKI, apalagi budaya Jawa?tampaknya terlalu banyak: asin.
*) Dosen dan kritikus sastra