Mariana Amiruddin
jawapos.com
”Sepertinya ada yang salah di mataku, sesuatu yang terselip…,” kata Asfin sambil berjalan di mall besar Jakarta dan menenteng beberapa pakaian. Bulu matanya tiba-tiba menjadi lentik melengkung ke atas. Aku meledeknya, ”Seperti artis Bollywood.” Lalu Asfin meronta-ronta karena ia paling tidak suka dibilang seperti orang India. Sementara Valent sibuk mengusap wajahnya yang berminyak dengan kertas penyerap minyak. Dan Resta dengan rambut pendeknya yang baru, diam saja sambil berjalan dengan kalung besar berbahan kayu melingkar di lehernya.
Hari ini adalah hari yang sangat tidak biasa. Siang itu Asfin harus meninggalkan rapat dan menebar janji-janji palsu pada teman-teman kerjanya bahwa ia diundang seminar bertema tentang Munir. Yang sebenarnya ia menuju kantor sebuah majalah fashion terkemuka untuk segera di-”make over”. Aku bisa melihat wajahnya yang sangat terpaksa, datang dengan tertatih-tatih dengan kemeja batik sederhana. Di balik kacamatanya yang tebal, ia mendelik dan memasang kuping ke arahku, mengamati perias yang sibuk melukis wajahku, dengan warna-warna pelangi, dan kuas-kuas serta bahan-bahan penutup noda-noda hitam bekas jerawat di wajahku. ”Hai Asfin…,” sahutku sambil sedikit meledek.
Asfin menyeringai dan mencibir ke arahku. Ia harus mau untuk segera dipoles. Wajah polosnya yang khas itu akhirnya harus dibentangkan di depan cermin. Terlihat wajahnya yang mengantuk dan lelah. ”Mau diapain aku ini,” ujarnya.
”Hati-hati Mas!” sergahku pada si perias karena kuasnya nyaris mencolok mataku. Lalu disobeknya sebuah kemasan berisi bulu mata. Aku berpikir, siapa yang menciptakan bulu mata palsu yang lentik itu dan akan segera ditempel ke kelopak mataku. ”Kurang lentik,” kata sang perias gusar.
Lalu diambilnya lagi dua bulu mata dan berlapis-lapis di tempelnya lagi ke kelopak mataku. Sekejap mataku berair, merasakan pedas benda dingin yang merekat, dan aku dilarang berkedip. Dan, sebuah alat pengungkit menuju ke arahku, siap menarik bulu-bulu mata palsu itu supaya lebih mencuat ke atas. Aku bergumam kepedihan, dan si perias tertawa-tawa mendengar keluhanku. Kuas-kuas lain melukis-lukis mataku dengan warna bayangan dan warna yang memberi kesan cerah. Hari itu wajahku memang kuyu karena belum tidur, tetapi berkat warna-warna kamuflase itu, wajahku kelihatan cerah sekali.
Ponselku berdering berkali-kali. ”Siapa pula ini…,” dalam hatiku kesal, karena sulit meletakkan ponsel di telingaku. Si perias sedang menarik-narik rambutku dengan sisir bundar besar dan pengering rambut supaya rambutku berbentuk gulungan.
Kulihat ponselku, ternyata Valent yang memanggil. Terang saja kuangkat, karena ia sudah selesai dirias sejak tadi. Terdengar suara Valent yang cerewet di ujung telepon.
”Hey! Kita ini orang biasa… tak perlu dirias-rias terlalu lama! Bilangin tuh, kita bukan model!” katanya ngomel. Aku tertawa-tawa saja, dan kuminta dia bersabar.
Wajah kami seperti kanvas. Satu jam sudah, riasan akhirnya selesai. Jadilah kami boneka berwajah cerah, berbibir mengkilat, bermata binar, dan berbulu mata lentik. Wajah-wajah cantik yang canggung. ”Seperti ada serangga di mataku,” kata Asfin sedikit menjerit.
”Bukan serangga Fin, itu kulit buatan untuk membantu merekat bulu mata palsu ke bulu mata kita yang pendek. Masih untung bukan gigi palsu yang mereka tempel,” kataku sengit. Terdengar Valent dan Resta terpingkal-pingkal mendengar kata-kataku.
Seorang pengarah gaya menghampiri kami, dan seorang lagi menyiapkan beberapa busana untuk kami. Seorang laki-laki yang ternyata fotografer membawa kamera besar dan seorang penata lampu menjinjing lampu-lampu besar dan tiang-tiang penyangga lampu. Sibuk sekali kami saat itu. Bahkan kami kasihan melihat mereka membawa barang-barang berat sendirian. Kami segera membantu mereka untuk membawa barang-barang banyak itu. Perilaku atau kebiasaan kami memang tidak bisa dihilangkan, terutama saat-saat kami demonstrasi, sangat biasa untuk saling membantu di lapangan membawa poster dan spanduk unjuk rasa, atau bergantian orasi dan waspada terhadap provokasi. Lucu juga, saat itu kami bukan sedang berdemo, melainkan membawa peralatan lampu, kamera, dan busana-busana cantik yang akan kami pakai nantinya.
Asfin terperanjat ketika si pengarah gaya memberi sepatu berhak tinggi dan meminta kami untuk memakainya. ”Seperti sedang menaiki dua jenjang tangga,” kata Asfin yang sekali lagi membuat kami terpingkal-pingkal.
Memang luar biasa tingginya sepatu itu, kami seperti akan melompat tinggi dan terbang ke langit. Dengan busana mahal yang kami kenakan, kaus, kemeja, jas, dan rok pendek, serta baju terusan, kalung-kalung ajaib, kami harus berpose di sebuah kafe malam yang luar biasa luas dan sempat membuat kami tersesat. Kami berduyun-duyun menuju toilet untuk berganti busana di sesi pemotretan berikutnya. Toilet yang membuat kami terantuk karena semua dindingnya berkaca. Lagi-lagi untuk ke toilet saja kami harus tersesat.
Akhirnya, berbagai pose harus kami peragakan. Kaki yang dilipat, sesekali bertolak pinggang, pinggul dibelokkan, dan kaki memperlihatkan sepatu tinggi yang mahal dan kaki yang jenjang, senyum pun harus selalu cemerlang. Valent yang sering membangkang, ia selalu ingin bertolak pinggang. Tetapi tidak bisa selalu bertolak pinggang, kurang variasi, kata sang pengarah gaya. Juga Asfin yang tertekan ketika harus melipat kakinya, dan Resta yang kurang nyaman dengan baju terusan, dan kami harus memotivasi dia untuk terus percaya diri dan berkali-kali melontarkan kata kepadanya, “Gak apa-apa, bagus kok! Kamu cantik…” dan seterusnya, dan seterusnya.
Juga Asfin yang tercetus kata-kata, ”Aduh warna ungu… girly sekali…,” ujarnya dengan hidung yang naik dan kembang kempis. Kami tertawa-tawa saja melihat keadaan kami yang serbacanggung. Dan jari-jari kami yang seperti ceker ayam, bahkan tangan saja harus terlihat lenting. ”Sulit sekali jadi model!” kata Valent menghardik sambil mendorongku hingga nyaris terjungkal.
Pemotretan selesai. Asfin, aku, Valent, dan Resta berlari-lari ke toilet untuk kembali menjadi diri sendiri, memakai pakaian yang kami suka, dan sandal datar yang bisa kami ajak berlari. Tinggal bulu mata tebal yang kami biarkan menempel, karena untuk mencopotnya, kami harus melakukannya di rumah masing-masing. Aduh, apakah memang cantik namanya bila harus menderita…
(Untuk Valent, Asfin dan Resta, yang polos dan harus gelisah ketika wajah mereka dipoles. Hahahaha…)
Jakarta, 2 April 2009.