Kelola Lingkungan, Bercermin pada Masyarakat Bali Kuno

Made Geria *
balipost.com

MEMPERHATIKAN sejumlah pembangunan fisik di Bali, tidak sedikit keberadaannya yang kontraproduktif terhadap lingkungan alam. Eksploitasi terhadap alam berlebihan tanpa mempertimbangkan kekhasan alam Bali, bahkan ada pelaku pembangunan yang amnesia terhadap kearifan peradaban Bali yang justru telah teruji ratusan bahkan ribuan tahun dalam menjaga keseimbangan alam Bali.

Ada sejumlah contoh yang perlu menjadi pertimbangan dalam memahami pembangunan alam Bali secara utuh. Masyarakat Bali kuno dalam mewujudkan bangunan fisik selalu mempertimbangkan dan memberi ruang khusus terhadap keseimbangan lingkungan. Seperti contoh bangunan candi-candi tebing yang didirikan di sepanjang daerah aliran sungai Pakerisan di antaranya Candi Gunung Kawi, Goa Garbha, Candi tebing Kerobokan, hingga kompleks Candi Tegalinggah.

Fungsi bangunan ini tidak semata tempat pemujaan dan pemuliaan raja-raja, namun sebagai upaya di dalam pelestarian DAS (daerah aliran sungai) karena sudah disadari keberadaan sungai memberi andil dalam daur hidrologi. Pembuatan candi tebing punya makna agar areal kawasan itu tetap disucikan dan terlindung dari eksploitasi.

Padahal, pada masa itu pembangunan fisik sudah umum dilakukan sebagaimana disebutkan prasasti pada abad XII. Ketika itu sudah berkembang adanya profesi undagi (tukang) batu) yang sangatlah mudah untuk mengeksploitasi batu tebing untuk mendapatkan material yang berkualitas bagi keperluan pembangunan. Namun hal itu tak dilakukan, tebing-tebing padas di situ dipertahankan.

Pilihan bangunan yang dikembangkan pada masa itu model bangunan ramah lingkungan, kontruksinya perpaduan antara batu dan kayu (biologik) yang materialnya dapat diperbarui, sehingga di Bali jarang ditemukan tinggalan bangunan yang sepenuhnya berbahan batu seperti umumnya pada bangunan candi-candi di Jawa. Pun dalam pemanfaatan material sebagai bahan bangunan seperti pohon nangka sampai enau (ijuk), diatur pola penebangannya dengan sistem tebang pilih.

Sumber Air

Jadi, keaslian tebing tersebut dipertahankan agar terhindar terjadinya erosi pinggir sungai. Pembuatan bangunan candi tebing berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air karena hampir semua bangunan ini dibuat di sekitar sumber air.

Di beberapa lokasi seperti di Goa Gajah dibuatkan arca pancoran yang sekaligus berfungsi sebagai filterisasi aliran air dari daerah tangkapan air. Pembuangan airnya dibuatkan semacam kolam yang juga berfungsi sebagai sumur resapan. Hal ini dapat dilihat juga di Candi Jukut Paku atau di Candi Mengening. Tingginya laju infiltrasi sehingga air yang dialirkan ke sumur resapan mudah masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah.

Fungsi tebing padas berperan dalam proses infiltrasi, air permukaan yang masuk ke daerah tebing akan terjadi proses penyaringan air dari partikel sehingga air menjadi jernih bahkan untuk di beberapa tempat bisa langsung dikonsumsi dengan aman. Dalam pengelolaan sumber air seperti ditekankan dalam piagam prasasti, diatur secara baik dan disarankan membuat kali untuk untuk kepentingan irigasi.

Pengelolaan lingkungan hayati dapat diketahui dari sejumlah prasasti yang menyebut hutan sebagai tempat perburuan oleh raja yang diduga status hutan tersebut sebagai hutan lindung. Hal ini diberlakukan untuk menghindarkan adanya anggapan “tragedy of the common” pemilikan sumber daya milik umum. Karena, dengan penggunaan sumber daya alam milik umum secara bebas, timbul malapataka kerusakan lingkungan.

Oleh karena itu, pemerintah Bali kuno mengontrol masalah ini dan pemanfaatnya diatur oleh pemerintah dan pejabat yang menangani. Pembukaan hutan untuk kawasan budidaya harus mendapat izin dari raja seperti upaya yang dilakukan penduduk Desa Air Awang, atau masyarakat Desa Bwahan yang memohon agar diizinkan membeli hutan perburuan raja untuk mendapatkan lahan yang lebih subur.

Perambahan hutan sudah jelas berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan, namun kebijakan ini diberlakukan karena terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Ini karena kawasannya sangat subur dan wilayahnya sangat penting peranannya dalam pengembangan tanaman budidaya. Hal ini tentunya dapat dipahami dari aspek budaya yang paling terkait pengaruh lingkungan aspek perilaku terutama yang berhubungan dengan produksi, konsumsi dan distribusi.

Ketiga hal itu secara fungsional mempengaruhi keberlangsungan eksistensi suatu sistem sosial budaya dalam suatu lingkungan tertentu. Pemberian izin oleh raja dalam eksploitasi hutan ini tentu berpengaruh terhadap kerusakan hutan. Namun, pertimbangannya, wilayah ini dikembangkan karena subur dan memberikan kontribusi terhadap daerah lainnya. Yang penting perlakuan terhadap hutan dilakukan secara baik.

Pengelolaan hutan seizin raja ini masih dalam ambang batas toleransi karena daya dukung masih memungkinkan. Alam dikatakan seimbang jika dapat mendukung kebutuhan manusia tanpa mengakibatkan mundurnya kualitas dan daya dukung alam itu sendiri.

Daya Dukung

Bukti lainnya disebutkan dalam piagam prasasti memberikan kebebasan penduduk desa Bubug untuk berburu di desanya. Hal ini tampak kontradiktif terhadap perlakuan hutan buruan raja. Ada dugaan, dibebaskan perburuan ini dengan tujuan untuk menyeimbangkan kelimpahan hewan tertentu yang mengancam kelangsungan ekosistem.

Steward dalam studinya membandingkan berbagai suku bangsa yang memiliki kegiatan berburu, komposisi kegiatan ini sangat ditentukan oleh sumber alam yang ada di sekitarnya. Sehingga, kebijakan penguasa yang demikian ada kaitannya dengan sumber daya alam yang kelimpahannya tinggi melampaui daya dukung lingkungan. Untuk menjaga keseimbangan, maka populasi harus dikurangi.

Kebijakan pemerintah Bali kuno dalam pengelolaan hutan maupun kawasan budidaya antara lain adanya larangan penebangan vegetasi tertentu, penentuan tata guna lahan, pembebasan areal hutan untuk dijadikan lahan pertanian, intensifikasi pertanian serta sistem subak. Semua itu merupakan kearifan masyarakat Bali kuno yang masih mentradisi. Pada sistem pengelolaan lokal, indegeneous management system dinilai sangat efektif dan mengandung asas keadilan serta bisa diterima secara luas di kalangan masyarakat. Hal ini karena peraturan ditentukan oleh masyarakat, pun sanksi dan hukuman lebih berupa sanksi sosial.

Keseriusan pemerintah masa Bali kuno mengelola lingkungan hutan dengan mengangkat petugas-petugas dengan jabatan hulu kayu, menurut Goris, petugas ini diidentifikasikan semacam menteri kehutanan. Dalam prasasti Ujung yang dikeluarkan raja Anak Wungsu dan Jaya Pangus, disebutkan sejumlah tanaman yang diatur pola penebangannya antara lain kemiri, bodi, beringin, pohon asam, jeruk, mundu, nangka, enau, mengkudu, pucang, sekar kuning, kapulaga, kamukus, dan lumbang. Upaya ini dilakukan raja untuk melindungi plasma nutfah.

Pengelolaan lingkungan sosial yang bertujuan menciptakan kesejahteraan bagi warga dengan menerapkan sistem perhitungan hari pasaran dalam mengelola pasar sudah dikenal masyarakat Bali kuno. Penentuan secara tradisional hari pasaran di daerah pedesaan masih diterapkan dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Disebutkan dalam prasasti, hari pasaran tertentu yaitu pasar Wijaya Pura, pasar Wijaya Manggala dan pasar Wijaya Kranta.

Sistem subak yang sudah dikenal masyarakat Bali kuno menerapkan keseragaman dalam pelaksanaan pola tanam, pengaturan pola irigasi yang merupakan bukti pengelolaan lingkungan sosial masyarakat. Kearifan lokal masyarakat Bali kuno dalam pengelolaan lingkungan fisik, hayati maupun lingkungan sosial masih mentradisi sekarang dalam tatanan sistem sosial, pranata sosial (awig-awig) maupun kepercayaan dan mewujudkan dalam bentuk simbol yang punya pemaknaan terhadap terpeliharanya keseimbangan.

Konsepsi “Nyegara Gunung” yang memposisikan gunung sebagai tempat bersemayamnya roh suc/dewa, penataan pola tata ruang desa (palemahan desa dengan pempatan agung, karang tuang sebagai ruang terbuka hijau), pola tata ruang pada rumah tinggal yang menempatkan teba sebagai kawasan hijau. Konsepsi ini yang sampai sekarang mentradisi melandasi pembangunan fisik yang adaptif terhadap lingkungan.

*) Balai Arkeologi Denpasar.

Leave a Reply

Bahasa ยป