Hasan Aspahani
batampos.co.id
AKA baginda pun menyuruh Punggawa Bakak menebas Pulau Penyengat Indera Sakti itu cucikan kerana Punggawa itu dia duduk di Penyengat ada empat lima buah rumah. Maka apabila sudah cuci Pulau Penyengat itu ditebas. Maka baginda pun membuat istana dengan kota paritnya dengan masjid balairungnya. Adalah yang memerintahkan segala pekerjaan itu Encik Kaluk bin Encik Suluh peranakan Bugis. Maka tiada berapa antaranya selesailah pekerjaan itu. Maka apabila selesai Pulau Penyengat itu jadi negeri tempat kerajaan maka baginda pun memindahkan paduka adinda Engku Puteri yaitu Raja Hamidah isterinya, ke istana Pulau Penyengat dengan orang baiknya dan anak raja seratanya.
Syahdan kata sahib al-hikayat sekali perseteruan pada suatu masa maka bertitah baginda Sultan Mahmud kepada paduka adinda baginda Engku Puteri di hadapan beberapa raja-raja seperti Raja Mahmud putera Tengku Panglima Besar putera Baginda Sultan Sulaiman demikian bunyi titahnya, “Sekarang Raja Hamidah, adalah sahaya membuat Pulau Penyengat ini dijadikan sudah cukup dengan istana kota paritnya. Maka Raja Hamidahlah yang saya buatkan jadi miliklah kepada Raja Hamidah…” (petikan dari Tuhfat Al-Nafis, Raja Ali Haji)
***
TIGA tahun lalu, bersama Sitok Srengenge dan sejumlah kawan seniman lain, saya menyeberang ke Pulau Penyengat. Ini yang kesekian kalinya buat saya, tapi bagi Sitok -penyair yang suka baca sajak di luar kepala itu- inilah pertama kalinya dia menginjakkan kaki di sana. Dan bagi kami, yang tak boleh tak disinggahi tentu saja makam Raja Ali Haji (1808-1873).
Ini semacam sowan, semacam pengakuan kekaguman, sebab padanyalah kami para penyair -dan siapa saja yang berbahasa Indonesia dan Melayu tentu saja- berutang. Kenapa? Sebab Raja Ali Haji-lah yang meletakkan kajian dasar tata bahasa yang kini terbukti bisa menjadi alat untuk mengekpresikan apa saja: ia bisa jadi bahasa untuk sastra, bisa dipakai menjadi bahasa pengantar di sekolah, bisa jadi bahasa teknik, bisa menjadi bahasa undang-undang.
Di kolom ini pernah saya tulis betapa bingungnya negara Timor Leste menentukan sikap terhadap bahasa. Di pasar orang bertransaksi dengan berbahasa Indonesia, pemerintahan hendak dijalankan dengan bahasa Portugis, tapi juga lebih banyak yang berbahasa Inggris, di sekolah mahasiswa minta ujian dalam bahasa Indonesia, sebagian pelajaran disampaikan dalam Bahasa Inggris, sementara di undang-undang dasar negara itu disebutkan bahwa mereka mengembangkan Bahasa Tetum sebagai bahasa Negara, tetapi hanya sedikit persentase penduduk yang menguasai bahasa tersebut. Bingung, kan? Timor Leste mungkin tak punya sesosok seperti Raja Ali Haji.
***
Di Penyengat, kala itu, bersama Sitok, kami bertemu dengan serombongan kru film yang sedang mencari lokasi film Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji . Sitok mengenal baik beberapa kru film itu dan mereka akrab dalam Bahasa Jawa. Sitok, memang pernah lama menekuni seni teater, dan lingkungan seni itu ternyata sempit. Ke mana-mana bisa ketemu orang yang sama.
Saya sempat membolak-balik skenario itu. Tak banyak yang saya mengerti. Tak pula bisa membayangkan waktu itu, seperti apa kelak film itu jadinya. Tapi, selentingan kawan budayawan sudah mulai banyak membicarakan dengan cemas.
***
Saya belajar banyak pada banyak penyair. Salah satunya adalah Raja Ali Haji. Ia meninggalkan banyak karya. Demi kepentingan pelajaran menyair saya sendiri maka saya -tak bisa lain- kecuali membaca karyanya itu. Orang yang tidak membaca buku, tidak ada kelebihannya dengan orang yang tidak bisa membaca, kata Mark Twain.
Maka dalam bayangan saya, Raja Ali Haji adalah sosok yang amat bergairah menulis. Ia yakin meniti jalan kepenulisan. Jika tidak dengan semangat begitu, saya bayangkan dia tidak akan bisa menghasilkan banyak karya yang monumental itu.
***
Bayangan saya tentang sosok Raja Ali Haji itu tak saya dapatkan dalam film Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji, yang saya tonton premiere-nya Sabtu (2/5) lalu. Saya kehilangan sosok Raja Ali Haji di film itu. Saya tak melihat kepahlawanannya di film itu.
Ada dua adegan yang justru menyosokkan beliau sebagai orang yang ragu akan faedah menulis. Adakah fakta sejarah yang mendukung hal ini? Jika tidak, maka keraguan Raja Ali Haji dalam film ini adalah sebuah tafsir.
Sama saja, bagi saya mungkin juga sebuah tafsir bahwa beliau adalah penulis yang amat yakin dengan kepenulisannya. Jika, dua hal itu sama-sama tafsir, keduanya bisa salah, bisa juga betul. Tapi, mungkin pertanyaan bukan itu, bukan salah betul lagi, tapi mana tafsir yang lebih bermanfaat.
Menurut saya, jasa besar Raja Ali Haji -karena itu ia pantas mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2004 lalu- adalah pada semangat kepenulisan yang ia wariskan. Seperti terasa beberapa tahun kemudian setelah ia mangkat, di Pulau Penyengat pernah ada percetakan yang dibiayai kerajaan untuk menyokong meriahnya kehidupan sastra kala itu, juga ada perpustakaan dengan jumlah buku yang lengkap, pun pernah ada sebuah komunitas penulis bernama Rusdiyah Klab.
***
Dari Hoesnizar Hood saya ada menerima hadiah buku penting Raja Ali Haji, Tuhfat Al-Nafis. Sebelumnya, saya selalu penasaran dengan buku itu, sebab dalam banyak perbincangan dengan kawan-kawan budayawan di Riau, nyaris tak pernah judul buku itu tak disebutkan.
Bila Gurindam Duabelas mudah sekali didapatkan, maka buku ini tidak. Buku yang saya terima dari Hoesnizar diterbitkan oleh Yayasan Khazanah Melayu Tanjungpinang bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau, tahun 2002, waktu itu bupatinya adalah Huzrin Hood. Pasti ini, karena ada sambutan beliau di sana.
Di awal tulisan ini saya mengutip penggalan dari Tuhfat Al-Nafis (Hadiah yang Berharga). Begitulah bahasa tulis pada saat itu. Terasa arkaik sekali. Saya bayangkan, betapa rumitnya menulis pada masa itu. Bahasanya, pasti tidak akrab dengan pembaca sekarang. Sebagian mungkin agak susah dipahami. Tapi, itulah yang telah dilakukan Raja Ali Haji. Ia meninggalkan karya, sekaligus jejak bahasa yang kemudian dari situlah, bahasa berkembang. Dan dia ikut aktif mengembangkan sebab dia juga menulis Kitab Pengetahuan Bahasa.
***
Ada pemandu yang menemani kami -saya dan Sitok- di Penyengat. Ia tahu banyak tentang sejarah Pulau Penyengat, ia pemandu yang baik. Di tiap situs, ia ceritakan siapa dan apa perannya, seakan itu kejaian baru saja berlangsung.
“Ini menarik ditulis. Bisa jadi banyak novel,” kata Sitok.
Diam-diam saya mengangankan sayalah yang menulis salah satu dari banyak novel itu. Saya bayangkan, petikan Tuhfat di atas menjadi bab pembuka novel saya itu. Ini penggalan adegan yang sangat dramatis. Seorang Sultan menghadiahkan sebuah pulau dan di sana ada istana, ada tata kota yang sempurna, ada masjid, ada rancangan jalan yang melingkari pulau, untuk permaisurinya. Ah, betapa romantisnya. Sang Sultan kemudian mempertahankan keputusan itu, ia membela keputusannya itu. Ah, betapa heroiknya.
Saya bayangkan novel saya itu kemudian dijadikan film. Saya bayangkan, di film itu para pelakonnya berbicara amat fasih dalam logat melayu yang molek itu. Saya bayangkan adegan lucu cerita konon tentang nelayan singgah yang Pulau Penyengat dan dikejar penyengat maka bernamalah pulau itu sebagai Pulau Penyengat. Saya bayangkan?.
Sesungguhnya, Tuhfat adalah kitab besar yang memang inspiratif. Dalam bahasa yang kacau saya ingin menyebutnya sebagai Inspirat Al-Nafis, inspirasi yang berharga. Ia bisa dan mungkin sudah menjadi inspirasi bagi banyak karya lain. Bila belum, maka inilah saatnya untuk kita mulai membacanya. Mungkin perlu ada klub membaca Tuhfat. Seperti di Swiss, kata kawan saya penulis pengelana di Eropa sana, ada sebuah perpustakaan yang menggelar acara membaca Ullyses-nya James Joyce, setiap hari.
***
Ah, kolom pendek ini, kali ini banyak sekali maunya. Tumpang tindih plotnya. Tidak jelas apa yang mau disampaikan, Ini sebuah contoh cara menulis kolom yang buruk. Jangan ditiru, seperti film? Ah, sudahlah.
***
*) Pemimpin Redaksi Batam Pos.