Arkoun Kembangkan Pluralisme Islam

Adhitya Cahya Utama
jurnalnasional.com

Pemikiran Arkoun dipengaruhi berbagai tradisi dan kebudayaan.

TOKOH Islam postmodern, Mohammed Arkoun lahir 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Ia salah satu cendikiawan yang mengaplikasikan ayat-ayat Al Quran secara konsepsional dalam kehidupan keumatan.

Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak muda, Arkoun biasa berkomunikasi dengan tiga bahasa, yakni Kabilia, Prancis dan Arab. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.

Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Alger. Dia berhasil menggondol gelar doktor Sastra pada 1969 di Universitas Sorbonne Paris.

Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam. Dengan pengetahuannya tersebut, Arkoun sering diundang menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Prancis, seperti University of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia.

Pengalaman yang beragam membuat Arkoun berpendapat sekularisasi akan membebaskan kaum muslim dari kekangan ideologis. Menurutnya, Islam akan meraih kejayaan jika umatnya membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan.

Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun. Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis.

“Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam,” kata pria yang menjadikan pakar linguistik Prancis, De Sausure, sebagai referensi utamanya itu.

Dia menganggap, meski kolonialisme secara fisik telah berakhir, pemikiran umat Islam masih terjajah. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.

Arkoun memang ingin mengubah cara pandang umat. Salah satunya terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la Raison Islamique, (Menuju Kritik Akal Islam).

Dia bermimpi, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama. “Di mana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada manusia.” =berbagai sumber.
***

Leave a Reply

Bahasa ยป