Judul Buku : Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan
Penulis : I Ketut Wisarja, M.Hum
Penerbit : Logung Pustaka, Yogyakarta
Edisi : 2009
Tebal : xii + 155 halaman
Peresensi : MG. Sungatno *
Batam Pos, 15 Feb 2009
Pada tanggal 13 Februari 1921, di Chauri Chaura (Provinsi Bersatu), India, terjadi kerusuhan yang mengakibatkan 22 polisi pemerintah Kolonial Inggris tewas. Peristiwa ini merupakan salah satu puncak dari kemarahan dan kekesalan rakyat India yang merasa selalu dihianati oleh Kolonial Inggris. Namun, meski sempat bangga akibat mampu meneror pemerintah, mereka tetap kecewa dan menyesal. Bahkan, kekecewaan dan kekesalan itu semakin bertambah ketika Gandhi mengeluarkan statement tentang kekecewaannya terhadap peristiwa itu.
Akibatnya, rakyat menjadi bingung diantara pilihan mengusir bangsa imprealis dengan tindakan revolusi yang terkesan radikal dan menjanjikan cepatnya keberhasilan atau tindakan evolusi yang lambat dan penuh penderitaan. Padahal, secara umum, rakyat menginginkan kemerdekaan secara cepat. Sementara, pemimpin pergerakan kemerdekaan sekaligus sosok yang paling disegani mereka, Mahatma Gandhi, memilih jalur lambat dan penuh penderitaan serta kesabaran. “Lebih baik dituduh sebagai pengecut dan lemah, daripada mengingkari sumpah kita dan berdosa di hadapan Tuhan. Jutaan kali lebih baik tampak tidak benar di hadapan dunia, daripada dihadapan diri sendiri”, ujar Gandhi waktu itu (Nicholson, 1994: 46). Banyak orang India merasa kecewa, terpukul, dan dihianati oleh pemerintah kolonial Inggris. Namun, Gandhi tidak siap mengorbankan prinsip perjuangan dengan jalan kekerasan.
Dengan mengkampanyekan pentingnya kasih sayang terhadap semua manusia, Gandhi selalu gigih melemparkan diskursus “masyarakat nir kekerasan”. Tentunya, dalam konsepsi masyarakat yang dianut waktu itu. Bagi Gandhi, setiap kekerasan dalam konstruksi sosial masyarakat, hanya akan selalu melahirkan kekerasan yang berkelanjutan dan berlarut-larut.
Sehingga, atas keyakinan ini, tak pelak Gandhi berusaha untuk membebaskan masyarakat dari lingkaran setan itu. Sebab, tanpa adanya gerakan untuk memutus ?tali setan? secara massif, keinginan hidup di dunia dengan penuh kedamaian (peacefull), keamanan (security), toleransi, kebajikan (beneviolence), dan rasa cinta kasih antara sesama, hanyalah utopis belaka.
Aksi Sosial
Berawal dari itu, Gandhi memutuskan untuk mengabdikan diri pada aksi-aksi sosial demi membela rakyat India yang tertindas. Dalam menjalankan aksi perlawanannya, ia selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis gerakan. Beberapa gerakan tersebut, antara lain; Ahimsa, Satyagraha, Swadesi dan Hartal.
Secara etimologi, ahimsa berarti “tidak menyakiti”. Namun bagi Gandhi, Ahimsa diartikan sebagai tindakan menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan memperalat dan mengorbankan orang lain. Menurut Gandhi, ahimsa dan kebenaran ibarat saudara kembar yang sangat erat. Namun, ia membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran sebagai tujuannya. Tindakan mengejar kebenaran dengan sarana ahimsa tanpa adanya kekerasan, merupakan wujud dari satyagraha. Sedangkan swadesi adalah cinta tanah air sendiri, dan hartal, merupakan semacam pemogokan nasional, toko-toko dan urusan dagang ditutup sebagai protes politik.
Dari aksi-aksi sosial yang dimotori oleh Gandhi inilah yang mampu menggerakkan rakyat India untuk tetap mengobarkan semangat terbebas dari jeratan penindas. Ini terbukti pada tanggal 15 Agustus 1947 mampu memperoleh kemerdekaannya dengan cara damai dan pantang kekerasan. Sayangnya, Gandhi akhirnya gugur sewaktu hendak memimpin doa sebagai upaya menyelesaikan konflik antar komunitas Muslim dan Hindu. Seorang Hindu militan, Naturam Godes, meluncurkan tembakan ke arah pejuang yang telah menapaki usia senja itu. Dengan bersimbah darah, Gandhi mengiringi nafas terakhirnya dengan berbisik “hey Rama”(Oh, Tuhan)?
Impian dan gerakan Gandhi demi mewujudkan masyarakat tanpa kekerasan (society non-violence) itulah yang terdapat dalam buku ini. Pesan moral dan perdamaian yang terdapat dalam buku ini, terasa selalu relevan untuk dipakai sampai kapan pun. Terlebih, terhadap realitas perkembangan kekerasan di berbagai belahan dunia, semisal perang antara Israil dan Palestina yang kini masih terasa memanas. Selain itu, kehadiran buku ini terasa lebih cocok ketika dunia sedang memperingati kematian Gandhi yang jatuh pada 30 Januari 2009 kemarin.***
*) Ketua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta.