Orde Mutu

D. Zawawi Imron *
jawapos.com

Tidak dapat dimungkiri, pada masa Orde Baru yang disebut Orde Pembangunan banyak sekali gedung yang dibangun untuk rakyat. Di antara gedung-gedung itu pasti banyak yang kualitasnya nomor satu. Buktinya, meski dibangun beberapa puluh tahun lalu, tetap gedung-gedung itu kukuh bertahan hingga kini.

Ada terminal, dermaga, gedung sekolah, dan lain-lain. Bangunan-bangunan tersebut bertahan lama seperti itu karena ada upaya menjamin mutu. Harga dan kualitas barangnya berimbang.

Tapi, ada juga bangunan yang tidak bermutu. Misalnya, gedung SD inpres belum berumur tiga tahun sudah ambruk karena dalam bahan campuran tembok lebih banyak tanah daripada semen. Ada jalan beraspal yang belum berumur dua tahun sudah rusak, berlubang.

Seorang teman menduga, di balik bangunan gedung yang cepat rusak itu ada korupsi. Teman tersebut melanjutkan, dengan tindakan tidak menjaga mutu itu, artinya telah terjadi pengkhianatan terhadap negara dan rakyat.

Pada era reformasi, idealnya seluruh bangsa ini dituntut untuk kembali berorientasi pada mutu. Sebab, setelah dikaji mendalam, di balik orientasi terhadap mutu tersebut ternyata ada komitmen terhadap hati nurani yang kemudian menjadi integritas moral.

Sikap ideal itu perlu dirawat sebagai roh kebudayaan. Perawatan itu tentu disertai penanaman nilai-nilai mulia yang disambut oleh seluruh jiwa sebagai kenikmatan. Bersikap kreatif, jujur, santun, serta menjaga nama baik dan selalu damai dengan orang lain adalah jalan utama untuk menemukan madu hidup yang sangat nikmat. Itulah ciri yang indah dalam memaknai kemerdekaan.

Untuk mendapatkan atmosfer kehidupan seperti itu, diperlukan perjuangan batin, pencerdasan rohani, dan perjuangan untuk memberikan ruang yang luas bagi spiritualitas, yang membuat setiap orang senang berpikir positif. Orang Bugis mengatakan, “Ati macinnong.” Artinya hati yang jernih.

Jiwa indah seperti itulah yang punya rasa “malu” mendalam. Malu untuk berbuat buruk yang mencemari nama sekaligus mempermalukan anak dan istri. Malu yang baik dimulai dengan malu kepada diri sendiri, kemudian kepada Tuhan. Orang yang punya malu kepada diri sendiri meskipun tidak dilihat orang tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur. Dia akan merasa bersalah kepada diri sendiri untuk berbuat tidak senonoh atau merugikan orang lain. Bahkan, tidak akan pernah tebersit pikiran jelek dalam benaknya untuk merugikan sesama manusia. Itulah jiwa yang mulia.

Disiplin diri seperti itu bakal selalu berusaha menghasilkan karya-karya yang baik dan bermutu. Hidup hanya satu kali, tidak boleh berkhianat terhadap diri sendiri. Kata Rendra, “Gadis-gadis jangan mencuri perawannya sendiri.” Maksudnya, kehormatan dan kemuliaan jangan ditukar dengan kesenangan yang sebentar. Kasihanilah diri sendiri dengan mengerti bahaya yang menghadang.

Dari sikap seperti itulah akan muncul tanggung jawab yang indah untuk diri, Tuhan, serta bangsa dan negara. Orang seperti itu akan selalu berusaha optimal untuk menciptakan sesuatu yang baik dan bermutu bagi orang lain.

Karya-karya yang bermutu, seperti Borobudur, Taj Mahal, dan Tembok Raksasa di Tiongkok, telah terbukti menjadi kebanggaan sepanjang zaman. Lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci, Hamlet karya Shakespeare, dan lain-lain menunjukkan agungnya kebudayaan yang diciptakan oleh manusia-manusia yang berorientasi pada mutu. Orientasi terhadap mutu harus menjadi karakter bangsa yang merdeka.

Paham kebudayaan yang berorientasi terhadap mutu akan sangat menguntungkan bagi bangsa yang ingin membuat sejarah gilang-gemilang. Termasuk dalam mengemas sekolah dan perguruan tinggi yang bermutu dengan menampilkan dosen-dosen yang bermutu dengan iktikad baik untuk mencerdaskan para mahasiswa. Pendidikan yang tidak berorientasi pada mutu bisa menghasilkan sarjana yang tidak bermutu, yang tidak akan menjadi pendukung bagi kegemilangan sejarah masa depan bangsa.
***

*) D. Zawawi Imron, penyair si Celurit Mas, tinggal di Sumenep.