Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com
BAGI Fira Basuki, menulis bukan sekadar tanggung jawab profesi, melainkan sebuah kebutuhan. Ibu satu anak ini menempatkan menulis sederajat dengan kebutuhan biologis lain seperti makan, minum, bahkan bernapas. “Sehari saja nggak nulis aku bisa blingsatan,” kata perempuan kelahiran Surabaya ini ketika ditemui di Kidzania Pacific Place, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Untuk memperkaya khazanahnya sebagai penulis, penulis trilogi, Atap, Jendela, dan Pintu ini sengaja menuntut ilmu sampai ke Negeri Paman Sam. Sesekali ia juga mengajak putri tunggalnya untuk berlibur bersama guna menyegarkan pikiran sembari mencari inspirasi. Berikut petikan obrolannya dengan Jurnal Nasional.
1. Apa kesibukan Anda saat ini?
Sekarang saya sedang menggarap novel berjudul Kapitan Pedang Panjang. Novel ini berkisah mengenai kakek dan cucu yang banyak mengalami peristiwa serupa namun dalam dimensi waktu yang berbeda. Pengerjaan novel ini baru berjalan sekitar 20 persen, tapi alur maupun cerita utuhnya sudah ada dalam kepala saya. Novel ini rencananya akan diterbitkan bulan Maret mendatang.
Inspirasi novel Kapitan Pedang Panjang datang dari kakek saya yang memang seorang pelaut. Kemudian saya membalutnya dengan unsur budaya serta khayalan tingkat tinggi. Maka lahirlah novel tersebut.
Selain menulis novel, saya juga masih menjadi editor di Majalah Cosmopolitan. Sesekali saya masih suka turun ke lapangan untuk liputan. Dalam waktu dekat saya akan bertandang ke New York untuk mewawancarai Lady Gaga. Saya juga mengerjakan beberapa proyek sampingan yang masih berkaitan dengan dunia tulis-menulis.
2. Sejak kapan Anda menjatuhkan pilihan hidup sebagai penulis?
Sedari masih kanak-kanak saya sudah yakin kalau terlahir sebagai penulis. Pasalnya, saat anak-anak seusia saya benci bahkan menghindari pelajaran mengarang, saya justru kebalikannya. Saya senang menulis dan sudah memenangkan banyak lomba mengarang. Syukur alhamdullilah kedua orangtua saya peka terhadap bakat anaknya. Mereka sangat mendukung ketika saya berkata ingin menjadi penulis. Untuk mengasah bakat yang dimiliki, setamat dari SMA saya pun melanjutkan sekolah ke jurusan jurnalistik Pittsburgh State University, Amerika Serikat. Waktu itu saya satu-satunya orang Indonesia yang mengambil kuliah jurnalistik di Amerika.
3. Bagaimana membagi waktu antara pekerjaan kantor dan menulis novel?
Saya membuat komitmen dengan diri sendiri jam 9 pagi sampai jam 6 sore merupakan waktu untuk bekerja sebagai wartawan. Pekerjaan sebagai penulis atau proyek lainnya boleh dikerjakan setelah selesai deadline. Alhamdullilah keduanya bisa berjalan dengan lancar. Sejak kecil kedua orangtua saya memang sudah menanamkan disiplin yang keras pada anak-anaknya. Oleh karena itu, tidak sulit bagi saya untuk mengatur waktu. Saya juga tidak pernah bekerja berdasarkan mood melainkan didasari rasa tanggung jawab dan cinta terhadap profesi.
4. Darimana Anda mendapat inspirasi cerita?
Inspirasi tulisan saya bisa datang dari mana saja, entah itu obrolan dengan teman, mimpi atau khayalan. Misalnya ketika saya bermimpi terbang dan saat terbangun ingat semua detail ceritanya. Mimpi itu saya tuangkan dalam tulisan tentang karakter yang suka memandangi langit dari atas atap, kemudian lahirlah novel Atap.
Pernah juga suatu waktu saya makan rojak (bahasa Indonesianya rujak) di Singapura. Di sana terdapat bermacam-macam rujak. Ketika itu saya makan rujak model India dan teman saya orang Singapura nyeletuk bahwa rujak ini seperti orang Singapura yang beragam. Kemudian dia berkata, lucu juga kalau saya membuat novel berjudul Rojak ceritanya tentang keragaman masyarakat Singapura. Saat itu saya hanya tertawa dan sama sekali tidak berpikir menjadikannya novel. Namun, setelah berjalan agak lama saya baru sadar kalau bahan yang dimiliki cukup lengkap untuk dijadikan sebuah novel.
Dari dulu saya juga senang membaca. Buku apa saja pasti saya lahap, tetapi saya paling suka buku-buku tentang budaya. Ketertarikan mempelajari budaya membuat saya selalu memasukannya unsur tersebut dalam karya saya, sehingga meski dikemas dengan santai pembaca saya bisa mendapatkan informasi yang berguna.
5. Berapa lama Anda menyelesaikan sebuah cerita?
Nggak tentu. Paris Pandora yang jumlah halamannya banyak bisa saya kerjakan dalam jangka waktu kurang dari setahun, sementara Rojak yang lebih tipis memakan waktu pengerjaannya lebih panjang. Semuanya tergantung waktu, karena saya punya pekerjaan pokok. Untuk ide, alhamdullilah selalu mengalir di kepala saya, hanya kadang waktu untuk menuliskannya yang kurang. Nah, supaya ide yang muncul tidak hilang saya membiasakan diri untuk mencatatnya.
6. Apakah penulis merupakan profesi yang menjanjikan?
Paradigma itu masih tertanam di sebagian besar kepala orang Indonesia. Banyak orang bisa sukses dari menulis misalnya Arswendo Atmowiloto, Putu Wijaya, Pramoedya Ananta Toer dan masih banyak lagi. Saya pun bisa membuktikan kalau menulis bisa membiayai hidup dan mengantarkan saya berkeliling dunia. Semua profesi bila dijalankan dengan cinta dan kesungguhan pasti akan berbuah manis.
7. Apa Anda setuju dengan dikotomi tulisan sastra dan cerita populer?
Saya menyerahkan sepenuhnya pada pembaca. Saya pribadi tidak pernah membeda-bedakan karya yang saya buat, apakah dia populer atau sastra.
8. Apakah Anda keberatan karya Anda dikategorikan sastra wangi?
Saya tersanjung disebut sebagai sastra wangi, mending wangi kan daripada bau? Saya juga tidak keberatan bila penulis saat ini dikategorikan sebagai selebritis, sehingga anak-anak tidak hanya mengidolakan penyanyi atau pemain film tetapi juga penulis. Hal tersebut akan memacu mereka untuk ikut berkarya.
9. Bagaimana porsi waktu untuk putri Anda?
Hampir setiap hari saya berolahraga bersama putri semata wayang saya. Jika waktu dia kecil kami senang berenang bersama, sekarang saya lebih suka fitness dan dia berenang. Kami juga baru saja menulis buku bersama berjudul Mandy and Mommy. Buku tersebut merupakan bentuk kepeduliannya terhadap anak-anak penderita kanker. Saya bahagia sekali karena dia memiliki bakat seni yang sangat besar.
***