Imam Muhtarom *
jawapos.com
Novel tidak memiliki aturan baku agar pembaca mengikuti jalannya cerita mulai awal hingga akhir. Aturan baku tersebut, antara lain, terlihat pada semua novel yang beredar di masyarakat pembaca, yakni dengan alur pembuka-konflik-penyelesaian. Juga, alur tersebut tidak saja menjadi acuan utama dalam novel, tetapi juga di dalam film. Terutama dalam film produksi Hollywood, alur itu mendapat kedudukan penting bagaimana sebuah materi cerita disusun seolah-olah alur tersebut satu-satunya strategi agar sebuah film bisa dibuat dan dinikmati. Dalam novel, alur semacam itu nyaris tidak dipertanyakan lagi, baik di kalangan penulis sastra maupun pembacanya. Sejauh dapat mengetengahkan konflik secara menarik kemudian pembaca bisa mengapresiasinya, novel dipandang telah menjalankan tugasnya.
Salah satu kelemahan dari tiadanya pertanyaan itu terletak pada alur dalam sebuah novel tidak sebatas pembuka-konflik-penyelesaian. Alur semacam itu hanya satu pilihan di antara berbagai banyak kemungkinan dalam penulisan novel. Alur yang hadir dalam novel tidak bersifat tetap dan pasti, namun alur bergantung juga pada bagaimana novel diharapkan diterima pembacanya. Alur dalam novel adalah metafiksi yang mendasari sebuah cerita yang terbaca. Lantaran alur lebih merupakan cara berpikir novel itu, salah satu penyebab utama keberterimaan umum atas jalannya cerita, baik di novel maupun film, selama ini kurang lebih pada tidak adanya daya kritis terhadap bangunan cerita itu sendiri. Ketika tidak ada daya kritis terhadap cerita yang disampaikan lewat novel, itu berarti juga tidak ada daya kritis terhadap bagaimana ia -pembaca dan penulis- menerima isi novel tersebut. Ironisnya, sebelum apa yang hendak disampaikan lewat novel, pertanyaan bagaimana sebuah cerita dibangun sehingga dampaknya bisa dibayangkan adalah sesuatu yang sangat penting. Sebab, itu menyangkut bagaimana sebuah cerita mampu menjelaskan kepada dirinya maupun pembacanya.
Salah satu contoh konsekuensi kekritisan atas cara bercerita novel yang sudah konvensional itu ditunjukkan novel Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab karya Julian Barnes. Novel tersebut jelas memosisikan dirinya menyangkal sekaligus menunjukkan bahwa novel bisa menjadi sesuatu yang menarik tanpa harus menggunakan alur pembuka-konflik-penyelesaian. Novel itu juga tidak canggung untuk tidak peduli pada sebuah keutuhan adegan dengan harapan menguasai konsentrasi pembaca. Sebagaimana dicontohkan novel-novel kanon Inggris, secara khusus tempat tradisi sastra Julian Barnes berada, novel tak ubahnya usaha membangun dunia yang benar-benar mandiri lewat kekuatan tekstual. Implikasi yang di-kandung novel kanon tersebut menguatkan apa yang ditolaknya atas dunia sehari-hari, justru obsesinya atas kesempurnaan lewat dunia tekstual. Itu bisa dilihat dari analisis-analisis yang ditulis oleh Edward W. Said dalam World, Critic, Text. Said dengan cerdas dan indah mengaitkan imperialisme Inggris atas koloni di Karibia abad ke-18 dengan bertumpu pada novel karya Bronte bersaudara.
Sementara itu, karya Julian Barnes ini meragukan pandangan-pandangan yang sudah melekat perihal representasi, sejarah, kebenaran, dan cinta. Salah satu poin utama karya Barnes sehingga novelnya berupa sebuah cerita acak, mirip mozaik yang tidak saling melengkapi namun memberi terobosan atas cara bercerita, ada pada kecurigaannya terhadap masalah representasi. Representasi bukan sebuah hasil sempurna ketika apa yang disebut realitas hanyalah sebuah anggapan dan bukan realitas dalam dirinya sendiri. Representasi itu meliputi penggunaan dalam bahasa verbal dan visual, baik rupa maupun film. Menganggap sebuah representasi lewat berbagai medium merupakan suatu kenyataan tak terbantah adalah fatal dan menyimpan kelemahan yang sifatnya laten. Sebab, tidak ada yang sempurna dari tindak representasi itu, baik di bidang hukum, sejarah, keyakinan agama, politik, kesenian, maupun kehidupan sehari-hari.
Barnes dalam novelnya memperlakukan apa yang menjadi keyakinan umum atas sejarah dunia dengan cara memberi komentar ironis. Ironi tersebut berlatar pada bahwa dasar keniscayaan yang telah terbangun pada sejarah dunia (Barat) itu sudah keropos oleh alasan representasi. Sebaliknya, keniscayaan itu tetap mengakar kuat dalam pandangan publik dunia sehingga menganggapnya sebagai kebenaran.
Contoh tentang keniscayaan yang sudah telanjur populer mengenai nasib kapal Titanic. Diceritakan satu sumber hidup dari korban Titanic adalah lelaki (atau banci?) yang menyamar sebagai perempuan. Dengan penyamaran tersebut, dia diselamatkan. Kemudian segera setelah selamat, dia menulis buku yang mengisahkan pengalamannya. Dengan dasar satu orang itu, dia dijadikan sumber utama berbagai kalangan, termasuk wartawan, ahli hukum, ahli tentang spionase, sutradara film, dan berbagai lainnya yang serius maupun iseng. Dari seorang itu kemudian dijadikan film Titanic.
Dalam novel ini, Barnes menyampaikan tidak lebih berupa esai panjang yang mengomentari banyak kekurangan dari salah seorang saksi hidup yang tak ubahnya sebagai banci karena menyerobot satu jatah perempuan atau satu jatah anak-anak untuk diselamatkan dari kapal Titanic. Dari satu narasumber tersebut, sebuah kenyataan tidak mungkin dihadirkan sebagaimana adanya secara sempurna. Terlebih, kredibilitas seseorang itu tidak lain adalah seorang pengecut.
Ironisnya, dalam sebuah pembuatan film, si narasumber hidup menyamarkan dirinya untuk menjadi salah seorang pemain dalam film Titanic sekalipun dia dilarang keras terlibat masuk main film kecuali sebatas narasumber. Oleh pengalamannya menyamar, dia berhasil menyelinap dengan busana persis saat menyamar agar diselamatkan dalam musibah kapal Titanic sesungguhnya. Si tokoh ingin merasakan bagaimana mengalami sensasi melalui sebuah kepura-puraan yang ingin dimainkannya. Ironisnya, penyamarannya diketahui sang sutradara film sehingga dia, persis dalam kejadian nyata, lolos dari maut oleh tenggelamnya kapal Titanic.
Cara Barnes memperlakukan ironi atas peristiwa sejarah dunia (Barat) itu meliputi berbagai peristiwa, mulai kisah Bahtera Nuh, Nabi Yunus ditelan Paus, misionaris pertama di Suku Indian abad ke-16, lukisan karamnya Kapal Medusa di abad ke-19, teroris, kisah cinta, dan surga. Sikap ironis dalam novel itu pada dasarnya ketidakpercayaan Barnes sendiri atas semua representasi yang dilakukan Barat terhadap dirinya sehingga sejarah Barat laiknya sejarah besar, penuh keagungan, dan sempurna. Atas dasar itu, kemudian Barat menjadi satu-satunya simbol atas berbagai kebenaran dan keagungan dalam ranah kebudayaan dan secara khusus atas perannya dalam bidang seni rupa dan film.
Kritik atas berbagai keagungan yang dilekatkan pada ranah kebudayaan dan seni Barat itu oleh Barnes dituliskan dalam sebuah novel yang juga menentang penulisan novel konvensional. Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab ini terbagi dalam 10 bab. Satu dan lain bab memiliki topik tersendiri yang sama sekali tidak berhubungan dengan lainnya. Bab demi bab tidak dirangkai dalam jalinan alur pembuka-konflik-penyelesaian, tetapi pengertian ironis atas sejarah dunia yang sesungguhnya sejarah Barat yang dipenuhi berbagai kekurangan. Kekurangan itu ada pada pengetahuan atas terma representasi di satu sisi dan pengunggulan Barat secara politis dengan menafikan budaya di luar Barat. Bukan sebuah keunggulan Barat ketika membaca novel ini, tetapi rangkaian ironi dari apa yang selama ini kita percayai tanpa kita periksa dengan serius bagaimana anggapan itu terbentuk.
Judul Buku: Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab
Penulis: Julian Barnes
Penerjemah: Arif Bagus Prasetyo
Penerbit: KPG & Dewan Kesenian Jakarta
Cetakan I, 2009
Tebal 411 halaman.
*) Penulis sastra, tinggal di Jakarta.