jurnalnasional.com
Tak Kusebut Bunga
tak bisa kusebut ini bunga ketika kau petik tangkainya lalu kau buang
dalam nyala api. kurasakan kini aroma sangit dari wajah kuyup oleh
air mata. juga sedu dan sendu;–masih tinggal sebutir peluru lagi
yang belum kaucabut dari tubuhku–tapi aroma bunga tak sesedap
senyap, bau asap, amis tubuh, anyep wajah-wajah yang menunduk
mengelilingi pembaringan.
“ah, wajah Tuhan seperti membayang. wajah lain yang selalu
menggoda, merayu agar meninggalkan pembaringan yang amat
kukasihi. terbang. tapi, ke mana sedang sayap aku tak punya.
sedang jalan sudah lama membelokkan aku jadi sasap,” aku mengadu,
jangan sedih lalu merajuk. “tiga dara yang berdiri menatapmu dari
balik jendela di lantai dua itu, tak akan pernah beranjak sebelum
kau berlagak. daun-daun kelapa sebagai rumbai, mengarakmu pergi.”
kita memang tak pernah akan sama. di pembaringan ini saja, kau menatapku
layaknya bukan sebagai teman kencan. hanya seteru, dan kau akan
membunuhku!
“maka tujahlah aku, hisaplah darahku jika kau haus karena air
sudah habis dari sumur-sumur bor ataupun minyak yang kian kering
sebab dialirkan ke tangki-tangki bendera lain negeri!”
aku sudah lupakan kau
maka izinkan aku lelap di pembaringan ini
tanpa lagi mengingatmu, meski suatu kali
kau pernah duduk di sebelahku?
2009
Kini Kau Memanggil-manggil Aku
berilah ucap atau sekadar maaf, apabila aku pernah membiarkanmu
terdiam di bangkumu. atau, entah di suatu hari kapan, aku telah
menyakitimu: sebentar lagi aku akan pergi, dengan kenderaan
paling akhir, di saat jam terakhir; kala orang-orang sudah sepi,
dan waku semakin menepi.
hanya malam juga lampu-lampu jalan, selalu akan mencatat
kepergian atau kebersamaan. setelah itu, seperti juga lampu
yang akan padam, aku pun akan sampai
tapi tak perlu lambai.
sebab setiap tangan yang telah
letih, tentu terkulai. -aku pun menghirup wangi nyiur,
harum bunga malam- tapi, tak ada bau kematian,
bahkan anyir darah dari sebuah lubang karena sebutir peluru
tak juga memberi kenangan;
aku tak boleh pergi?
–kini kau memanggil-manggil aku?
2009
Sebentar lagi Bersua
ini orang tak juga mau pergi!
sudah berapa waktu kita bersitegang, dan beberapa kali
waktu pecah; kursi retak, pembaringan patah, kasur
dan bantal amatlah kusut
aku ruwet sekali, katamu
biarkan aku sergap sakit hatimu, biarkan aku lumpuhkan
kepalamu yang penuh tanah, -ah, jangan asingkan aku
pada kesetiaan yang membetahkan hingga berlama-lama
di meja ini (bukan, pembaringan!)-
ini orang tak juga mau mengalah!
lembar-lembar namamu sudah kuhapus dari pohon-pohon,
dari tiang-tiang listrik, tembok-tembok di kota;
sebentar lagi kita akan bersua?
2009
Dayung
Jika kau tak bisa lelap hanya karena tiada belaiku,
Aku akan datang membawakan perahu
Saat laut pasang, angin menegang
Aku tak pernah akan lupa memanggul dayung
2009
Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang. Menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di sejumlah media massa daerah dan Jakarta. Lebih dari 15 buku cerpen dan puisi diterbitkan, dan baru terbit buku puisi Anjing Dini Hari (Rumah Aspirasi, Februari 2010).